Gas Melon di Nunukan Dijual Rp 70.000 per Tabung, Pemda Nunukan Buka Suara
NUNUKAN, KOMPAS.com – Kenaikan harga elpiji subsidi 3 kg (gas melon) di Nunukan, Kalimantan Utara, dari harga Rp 20.000 menjadi Rp 30.000 per tabung di awal 2025 menuai reaksi penolakan masyarakat.
Pasalnya, pada 2024 saat harga eceran tertinggi (HET) Rp 20.000 per tabung, para pengecer menjualnya Rp 60.000-70.000 per tabung.
Saat HET tabung melon Rp 30.000, masyarakat menyebut tidak menutup kemungkinan ada yang menjual Rp 100.000 per tabung.
Salah satu warga, Bacco, mengungkapkan kekhawatirannya. “Yang tadinya Rp 20.000 saja banyak yang jual Rp 70.000. Sekarang naik Rp 30.000. Apa nggak dijual Rp 100.000 itu per tabung," kata Baco, Senin (13/1/2025).
Merespons keluhan masyarakat, Kepala Bagian (Kabag) Ekonomi Sekretariat Daerah (Setda) Nunukan, Rohadiansyah, meminta warga melapor ketika membeli gas melon di atas HET yang ditetapkan, yakni Rp 30.000.
"Ada yang bilang, (gas melon) dijual Rp 50.000, Rp 70.000. Tapi saya tanya lokasinya, tidak mau kasih tahu, gimana kita mau cek. Saya kuatir mereka melempar bola saja. Maksud saya, kalau ada seperti itu, infokan ke kami, laporkan, biar kita cek langsung," ujarnya, saat dihubungi, Senin (13/1/2025).
Rohadi mengakui, harga gas melon yang dijual tidak sesuai dengan HET dijual oleh pengecer, bukan di pangkalan atau agen LPG.
Dia menyampaikan, saat ini Pemda Nunukan masih fokus melakukan pengawasan di pangkalan LPG. Sebab, kenaikan harga elpiji subsidi baru disepakati Gubernur Kaltara, dua hari terakhir.
"Jadi, kita minta tunjukkan di mana pengecernya (yang jual mahal). Kita akan datangi, bersama aparat penegak hukum (APH). Apakah sanksinya, kita pastikan dulu lokasinya," tegasnya.
Dari jawaban Rohadi dalam berita yang telah tayang sebelumnya, tokoh masyarakat dan ketua forum masyarakat adat lintas etnis (Formaline) Nunukan bernama Sumari angkat bicara.
"Mohon maaf Pak Rohadiansyah, Kabag Ekonomi Pemkab Nunukan, tanpa laporan dari masyarakatpun, saya yakin bahwa bagian pengawasan sudah tahu dimana tabung 3 Kg dijual tidak sesuai aturan," kata Sumari melalui pesan tertulis, Rabu (15/1/2025).
Sumari mengatakan, setiap hari ada tim dari bagian pengawan melewati tempat usaha yang menjual tabung gas melon tidak sesuai aturan.
Pelanggan tabung LPG melon, kata Sumari, bukan hanya masyarakat tidak mampu, para pejabat dengan mobil pelat merah sekalipun, ikut menikmati barang subsidi dengan tulisan untuk warga miskin itu.
Jika fakta tersebut dibantah, Sumari menantang Pemda Nunukan untuk memeriksa rumah rumah pemakai tabung LPG melon, bahkan ke café café/rumah makan besar yang ada di Nunukan.
Pemda bisa menanyakan langsung, dari mana mereka membeli LPG subsidi dengan harga jauh di atas HET.
"Ayo pak, lakukan operasi di lapangan. Saya mendukung ikut turun ke lapangan," kata Sumari lagi.
Usai mendapat jawaban dari Sumari, Kompas.com menghubungi Rohadi lagi. DIa pun tidak membantah apa yang dijelaskan Sumari.
Untuk carut marut masalah LPG melon, ia juga sudah dipanggil DPRD Nunukan, untuk menjelaskan secara gamblang, mengapa kuota 60.000 hingga 70.000 tabung LPG untuk Nunukan dalam sebulan, selalu kurang di lapangan.
"Dulu, kuota LPG subsidi untuk warga Nunukan itu hanya 20.000 tong (tabung) per bulan. Semua tahu LPG subsidi merupakan barang terbatas dan sudah ditentukan kuotanya. Kalau diusulkan penambahan kuota, dasarnya tentu jumlah warga miskin," jelas Rohadiansyah, Rabu (15/1/2025).
Untuk meminta tambahan kuota ke Pertamina, Pemda Nunukan menjabarkan eksitensi LPG Malaysia, dimana nyaris semua produk negeri tetangga, menguasai pasar di wilayah perbatasan.
Selain itu, pengiriman LPG ke Nunukan yang hanya bisa melalui jalur laut, berpotensi keterlambatan ketika cuaca tidak mendukung.
Alhasil, keterlambatan distrisbusi LPG melon, membuat banyak masyarakat miskin menjual tabung gas kosong mereka, dan tetap mengandalkan LPG Malaysia ukuran 14 Kg, yang biasanya dibanderol Rp 250.000-Rp 300.000 per tabung.
Atas dasar tersebut, ditambah misi untuk sosialiasi cinta produk Indonesia, Pertamina akhirnya menyetujui penambahan kuota 40.000 tabung lebih, untuk Nunukan.
Sehingga, Kabupaten Nunukan mendapat distribusi 60.000 sampai 70.000-an tabung.
"Tapi kendalanya, karena semua butuh, akhirnya distribusi tersebut tidak hanya dinikmati warga miskin. Harganya yang murah, membuat yang tidak berhakpun ikut menikmati, sehingga arah subsidi, menjadi semrawut," keluhnya.
Dengan banyaknya tabung LPG kosong yang dijual sebelumnya, banyak warga memiliki tabung LPG lebih dari satu, dan membuka usaha jual beli gas.
Pada akhirnya, tabung LPG melon tersebar tanpa kontrol, dan menjadikan harganya bervariasi, bahkan jauh di atas HET.
Keadaan tak terkendali tersebut, belakangan menjadi celah bagi pengecer ilegal menjual gas Melon hampir Rp 100.000.
"Memang kita memiliki kendala dalam penertiban. Merujuk komentar Bapak Ketua Formaline Nunukan, ya tidak bisa seekstreme itu kita masuk rumah rumah penduduk, mengecek ada apa tidak LPG melon. Tidak sampai seperti itu penindakannya saya rasa,’’ kata Rohadiansyah.
Saat ini, Pemda Nunukan kembali memetakan para penerima LPG subsidi dengan harapan arah subsidi bisa tepat sasaran.
Agen dan pangkalan, juga diminta mendata ulang, demi suksesnya penertiban yang sedang diprogramkan.
‘’Jadi bukan kuotanya yang kurang. Tapi siapa yang menggunakan, ini yang perlu disaring, diseleksi lagi. Kita sudah jabarkan rencana ini ke DPRD Nunukan, mohon dukungannya agar carut marut LPG subsidi segera teratasi,’’ kata Rohadiansyah.