Gerakan Sosial dan Pertumbuhan Kota yang Sehat
Pertumbuhan perkotaan tidak selalu membawa dampak positif. Hal ini karena pertumbuhan kota selalu diikuti oleh sejumlah permasalahan baru perkotaan, seperti polusi udara, penurunan tanah, penurunan kualitas air, kelebihan penduduk akibat urbanisasi, dan marginalisasi para penduduk lokal akibat bentrokan kepentingan lahan. Ditambah, keberadaan koalisi pertumbuhan (growth coalition) menyebabkan penggunaan sumber daya kota secara berlebihan (overuse). Oleh karena itu, diperlukan kontrol terhadap pertumbuhan perkotaan oleh warga kota melalui gerakan sosial yang berbasis pada kepentingan kolektif.
Secara umum, setiap orang memiliki bayangan dan impresinya sendiri terhadap kota. Hal tersebut menimbulkan lahirnya definisi yang beragam di antara akademisi yang mendalami studi tentang perkotaan. Castells (1979) dalam bukunya The Urban Question A Marxist Approach memandang kota sebagai unit spasial yang ditetapkan secara historis yang memiliki konsentrasi populasi dan sumber daya hasil dari proses sosial, ekonomi, dan politik. Dalam pemikirannya ini, Castells melihat kota sebagai suatu arena yang mencerminkan ketimpangan akibat perkembangan kapitalisme.
Berbeda dengan Lefebvre (1996) yang lebih memandang kota sebagai produk sosial yang tidak hanya secara fisik, tetapi ada dinamika dan pertarungan politik, budaya, serta ekonomi. Pandangan Lefebvre ini turut menyoroti perkembangan kapitalisme di perkotaan yang menimbulkan resistensi warga kota mengarah pada perjuangan hak atas kota.
Di Indonesia, definisi perkotaan dapat merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2022 tentang Perkotaan. Di Pasal 1 disebutkan bahwa perkotaan adalah "bentuk wilayah dengan batas-batas tertentu yang masyarakatnya mempunyai kegiatan utama di bidang industri, jasa, perdagangan, atau bukan pertanian." Artinya, secara administratif, suatu wilayah dianggap sebagai wilayah kota dan perkotaan dilihat dari aktivitas warganya yang lebih beragam, terutama untuk kegiatan industri dan jasa.
Secara fungsi, kota merupakan wilayah sentral dalam mendukung pertumbuhan ekonomi untuk daerah-daerah sekitarnya. Namun, sebenarnya bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga politik. Hal ini karena kota masih menjadi pusat pertarungan politik yang menjanjikan modal politik besar bagi para pemenangnya. Misalnya, Jakarta yang dianggap strategis dalam mendukung karir politik setiap individu. Hal tersebut didasarkan oleh beberapa nama Gubernur Jakarta yang selanjutnya berkontestasi dalam pemilu sebagai calon presiden maupun wakil presiden, seperti Joko Widodo, Anies Baswedan, Sandiaga Uno, dan Djarot Saiful Hidayat.
Dilema Pertumbuhan Perkotaan
Pertumbuhan perkotaan tidak dapat dilepaskan dari keberadaan korporasi di kota. Hal ini karena ekspansi korporasi ke kota-kota di Indonesia, terutama Jakarta, telah mempercepat pertumbuhan di kota secara ekonomi maupun populasi. Industri dan korporasi yang ada telah mendorong munculnya urbanisasi karena berkaitan dengan kebutuhan sumber daya di perkotaan. Ditambah, korporasi turut memberikan kontribusi cukup besar bagi keberlangsungan keuangan pemerintah kota melalui pajak, retribusi, cukai, dan perputaran transaksi ekonomi multi-sektor.
Pandangan terkait dampak positif dari pertumbuhan kota yang didukung oleh korporasi mendapatkan ‘sentimen’ dari Harvey Molotch (1976) dalam tulisannya The City as a Growth Machine Toward a Political Economy of Place. Molotch memandang bahwa pertumbuhan di kota menimbulkan suatu dilema karena di samping sejumlah keuntungan yang ditawarkan akan ada kerugian yang dirasakan, berupa sejumlah permasalahan baru perkotaan. Terutama, berkaitan dengan masalah polusi udara, air, kemacetan, beban kota berlebihan, dan hilangnya keseimbangan ekologi. Hal ini dikarenakan oleh aktivitas dan konsumsi korporasi yang cenderung berorientasi pada keuntungan (profit based).
Molotch menyoroti bahwa pertumbuhan pun menyebabkan munculnya ketimpangan di kota, kenaikan harga properti, dan biaya utilitas yang tinggi. Hal ini didasarkan oleh risetnya melihat beberapa kota di Amerika Serikat, seperti Boulder, Ann Arbor, dan Santa Barbara. Lebih lanjut, Molotch turut menyoroti bahwa klaim ketersediaan lapangan pekerjaan dari pertumbuhan seperti sebuah ‘ilusi’. Menurutnya, ketika terjadi pertumbuhan dan muncul beberapa lapangan pekerjaan, justru akan menarik semakin banyak pengangguran dari wilayah lain.
Oleh karena itu, pertumbuhan tidak selamanya mempengaruhi lapangan kerja secara agregat. Ditambah, klaim yang diberikan oleh pengembang (developer), pengusaha, pemilik lahan, politisi, dan elite-elite perkotaan, seperti "pertumbuhan menciptakan lapangan kerja", "memperbesar akses hunian layak", "peningkatan pendapatan", dan lain sebagainya merupakan bagian dari boosterisme untuk meningkatkan persepsi publik agar mendukung pengembangan dan investasi di kota. Dalam hal ini, elite-elite perkotaan berkoalisi untuk membentuk koalisi pertumbuhan yang terdiri dari politisi, pemerintah kota, pengusaha, pemilik lahan, dan pengembang.
Pandangan dari Molotch tersebut relevan dengan kasus yang dialami oleh Warga Kelurahan Marunda, Jakarta Utara untuk melawan korporasi, yakni PT Karya Citra Nusantara (KCN). PT KCN merupakan perusahaan bongkar muat komoditas curah, terutama batu bara dan pasir yang beroperasi di Pelabuhan Marunda. Lokasi operasi PT KCN ini persis berada di area pemukiman warga yang tinggal di Rumah Susun Sewa Sederhana (Rusunawa) Marunda.
Pada 2022, warga Marunda yang tergabung dalam Forum Masyarakat Rusunawa Marunda (FMRM) melakukan perlawanan kepada PT KCN karena aktivitasnya yang dinilai menyebabkan polusi udara di Jakarta Utara. Ditambah, warga menemukan debu batu bara di beberapa blok, terutama Blok D3 Rusunawa Marunda yang berdampingan dengan tempat penyimpanan batu bara (stockpile) milik PT KCN.
Dalam wawancara bersama Ketua RW 10 Kelurahan Marunda, Bapak Dompas menyampaikan bahwa lokasi stockpile milik KCN tepat berada di belakang SDN Marunda 05, SMP 290, dan SLBN 8. Akibatnya, di area-area sekolah tersebut pun sering ditemukan debu batubara yang membahayakan bagi kesehatan anak-anak dan Lansia. Utamanya, berdampak buruk pada saluran pernapasan sehingga bisa menyebabkan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Kondisi tersebut sangat meresahkan warga sehingga warga tergerak untuk melakukan perlawanan. Hal ini diwujudkan melalui audiensi kepada stakeholders terkait, seperti DPRD DKI Jakarta, Sudin Lingkungan Hidup Jakarta, sampai dengan perwakilan dari pihak perusahaan.
Dalam wawancara saya bersama perwakilan Greenpeace, warga turut berkoordinasi bersama sejumlah NGO dan organisasi masyarakat sipil untuk memperkuat gerakan. Di antaranya Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Greenpeace Indonesia, LBH Jakarta, dan Trend Asia. Namun, keberadaan NGO dan OMS lebih dominan berperan sebagai ‘suporter’. Misalnya, Greenpeace dan Trend Asia yang dominan dalam kegiatan kampanye untuk menaikkan isu ini ke publik, LBH Jakarta lebih banyak terlibat dalam advokasi dan audiensi, dan KASBI yang berperan sebagai konektor antara warga dengan kelompok eksternal.
Lebih lanjut, Greenpeace menilai bahwa gerakan warga Marunda dalam melawan PT KCN merupakan gerakan yang organik. Hal ini karena warga telah mengorganisasi dirinya sendiri dan memahami siapa yang menjadi lawan, serta pokok permasalahan. Hal ini mengindikasikan gerakan yang dilakukan oleh warga sudah sangat terarah sehingga berhasil memberikan tekanan kepada pemerintah maupun perusahaan sampai akhirnya izin operasional KCN ditutup pada Juli 2022.
Pasca penutupan operasional KCN, saya meminta Pak Dompas untuk menceritakan respons warga. Menurutnya, penutupan KCN menimbulkan suatu dilema. Di satu sisi, perlu diakui bahwa KCN memberikan lapangan pekerjaan dan menyerap beberapa tenaga dari rusun, serta ada dana CSR yang dialokasikan untuk kegiatan maupun fasilitas rusun. Ditambah, setelah penutupan, Pak Dompas mendengar pengaduan adanya PHK yang dilakukan oleh KCN secara besar-besaran.
Berkaitan dengan dilema tersebut, rembuk warga menghasilkan jalan tengah, yaitu PT KCN dapat beroperasi kembali dengan catatan harus memiliki dokumen AMDAL. Hal ini karena dalam temuan awal, PT KCN tidak memiliki AMDAL, tetapi hanya mengantongi dokumen UKL-UPL.
Kembali ke pandangan Molotch, perlawanan warga pada KCN ini menunjukkan bahwa tidak selamanya pertumbuhan di kota memberikan dampak positif. Namun, selalu ada konsekuensi dari pertumbuhan, salah satunya adalah masalah polusi udara yang ditimbulkan dari aktivitas industri. Selanjutnya, berbagai upaya yang dilakukan oleh perusahaan untuk meyakinkan warga Marunda agar mendukung aktivitas industri merupakan bagian dari boosterisme.
Gerakan Sosial sebagai Penyeimbang
Sejatinya, peran warga kota diperlukan dalam mengontrol pertumbuhan di perkotaan untuk menutup celah transaksional elit perkotaan yang tergabung dalam koalisi pertumbuhan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengontrol dan menjaga keseimbangan mesin pertumbuhan di kota adalah dengan merawat gerakan sosial perkotaan, seperti yang dilakukan oleh Warga Marunda. Perwujudan dari gerakan sosial perkotaan dapat dilakukan melalui aksi protes, petisi, kampanye digital, dan pemanfaatan media untuk menggalang dukungan publik agar dapat memberikan ’tekanan’.
Gerakan sosial ini linear dengan pandangan Feinstein dan Hirst (1995) bahwa gerakan sosial perkotaan harus dilakukan secara kolektif sebagai bagian dari memperjuangkan hak-hak kehidupan di perkotaan. Selanjutnya, Castells (1984) turut merumuskan tujuan dari gerakan perkotaan, yaitu 1) mewujudkan permintaan kolektif; 2) memperkuat identitas budaya dan komunikasi dua arah, bukan top-down; dan (3) mendorong pengelolaan masyarakat lokal secara mandiri dan otonomi.
Dalam melakukan penyeimbang terhadap pertumbuhan kota melalui gerakan sosial, tentu tidak harus membentuk ‘anti-growth coalition’ atau kelompok yang menentang pertumbuhan. Namun, pola resistensi yang harus dibentuk adalah melalui cara pandang terhadap perkotaan bahwa kota bukan hanya sebagai mesin pertumbuhan. Kota merupakan bagian dari use value interest atau tempat yang memang bukan sekedar untuk dieksploitasi, tetapi merupakan tempat ‘hidup’ sehingga tidak semua sumber daya kota harus dikapitalisasi.
Nurul Intan peneliti kota; peserta Mata Kuliah ‘Politik Perkotaan’ di Jurusan Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia