Gilo-Gilo, Gerobak Kuliner Unik Khas Semarang
KOMPAS.com - Kota Semarang yang dikenal sebagai Kota Lumpia ternyata juga memiliki kuliner unik yang bernama gilo-gilo.
Keberadaan pedagang gilo-gilo dapat ditemukan di sekitar perkampungan atau di tepi jalan protokol di sekitar Kota Semarang.
Namun jangan sampai salah, gilo-gilo bukanlah nama makanan atau cemilan namun sebutan untuk gaya berjualan.
Gilo-gilo di Kota Semarang bisa disebut serupa dengan angkringan di Yogyakarta atau HIK di Solo.
Penjual gilo-gilo sama-sama menjajakan kuliner dengan gaya kaki lima, menggunakan gerobak sederhana dengan berbagai pilihan makanan dengan harga terjangkau.
Namun berbeda dengan angkringan atau HIK, gilo-gilo biasanya tidak menjajakan sajian minuman.
Gilo-gilo adalah sebutan masyarakat Semarang bagi penjual beraneka makanan dengan menggunakan gerobak dorong yang menjajakan berbagai makanan secara berkeliling.
Makanan yang dijajakan gilo-gilo sangat beragam, mulai dari gorengan, buah-buahan, sate-satean, keripik, kue tradisional, hingga nasi bungkus atau nasi kucing.
Harga yang dipatok juga sangat murah, biasanya ada makanan yang dijual dengan harga mulai dari seribu rupiah saja.
Seiring berjalannya waktu, penjual gilo-gilo ada yang masih menjajakan dagangannya dengan cara berkeliling mendorong gerobaknya dan ada juga yang berhenti di beberapa titik untuk membuka lapaknya di tepi jalan.
Pembeli biasanya akan memilih sendiri jenis makanan yang diinginkan dan memakannya langsung di tempat atau dibungkus untuk dibawa pulang
Sehingga pada waktu-waktu tertentu akan terlihat pembeli yang berkerumun di sekitar penjual gilo-gilo sambil memilih dan menyantap makanan yang dibelinya.
Dalam penelitian mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Negeri Semarang, Pradipta Mahatma Nandi Wardhana (2021) yang berjudul Survivalitas Pedagang Gilo-Gilo Semarang Tahun 1960-2000, dijelaskan beberapa versi asal-usul sebutan gilo-gilo.
Versi pertama, ada yang mengatakan bahwa gilo-gilo diambil dari perilaku penjual saat membawa pikulan yang kerap menggeleng-gelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri mengikuti irama langkahnya.
Sikap berjalan sambil menggelengkan kepala dalam Bahasa Jawa disebut gela-gelo, sehingga tercetuslah nama gilo-gilo.
Versi kedua adalah yang paling umum didengar, di mana penamaan gilo-gilo berasal dari transformasi kata “iki lho” yang artinya “ini lho”.
Konon dahulu kata-kata ini kerap dilontarkan oleh sang pedagang, dalam artian sang pedagang untuk menunjukkan makanan yang dicari pembeli di antara banyaknya sajian yang dijajakan.
Versi ketiga menafsirkan nama gilo-gilo berasal dari bahasa Jawa khas Klaten yaitu “Segilo” yang berarti 1 (satu) rupiah.
semarangkota.go.id Warga membeli makanan di gilo-gilo yang ada di Festival Semarang Rumah Kita, di Taman Gedung Pandanaran Semarang, Minggu (22/1/2023).
Dalam penelitian yang sama, dijelaskan sejarah dan perkembangan gilo-gilo di Semarang.
Gilo-gilo diperkirakan hadir di Semarang sekitar tahun 1950-an yang dipengaruhi oleh kedatangan kaum boro, sebutan bagi kaum urban.
Kedatangan mereka yang berasal dari Klaten, Sukoharjo, dan daerah sekitarnya membawa pengaruh konsep HIK dalam gaya berjualannya.
Pedagang yang awalnya membawa dagangannya berkeliling dengan pikulan kemudian perlahan berubah menggunakan gerobak dorong.
Pada sekitar tahun 1960, gilo-gilo mulai banyak bermunculan dan memantapkan eksistensinya di Semarang.
Para kaum urban yang menjadi pedagang gilo-gilo ini umumnya tinggal di Kampung Gabahan dan Kampung Kulitan.
Harga yang murah dan variasi makanan yang beragam membuat gilo-gilo semakin populer dan bisa diterima masyarakat.
Tahun 1970-an sampai 1980 menjadi awal masa kejayaan gilo-gilo dengan banyaknya pedagang dari daerah lain seperti Boyolali dan Sukoharjo yang ikut berdagang.
Baru pada tahun 1985 terjadi perubahan cara berdagang gilo-gilo yang semula dipikul menjadi menggunakan gerobak dorong.
Hal ini dipengaruhi oleh pembangunan jalan yang mulai bagus dan beraspal, sehingga gerobak dianggap lebih memudahkan untuk membawa barang dagangan.
Masa kejayaan kemudian terjadi pada sekitar tahun 1980 sampai 1990-an, di mana gilo-gilo semakin mudah ditemukan di sekitar keramaian dan wilayah yang terbilang strategis.
Sementara dari menu, sebenarnya pada awal kemunculan gilo-gilo memiliki kuliner khas yaitu sego iwak atau nasi ikan.
Sebagai pendamping, penjual lalu menambahkan berbagai jenis makanan lokal dan gorengan.
Seiring berjalannya waktu, gilo-gilo memiliki banyak variasi pilihan makanan karena banyak pedagang yang menitipkan makanan di gerobak jualan.
Beberapa penjual gilo-gilo pun sudah mulai jarang membuat sendiri seluruh makanan yang menjadi dagangannya.
Namun saat itu, buah masih belum dijajakan gilo-gilo seperti yang banyak ditemukan sekarang.
Seiring waktu, pedagang gilo-gilo memanfaatkan kondisi Semarang yang merupakan daerah pesisir dengan menyajikan pilihan kudapan yang segar dan murah.
Baru kemudian ide sajian buah di gilo-gilo mulai muncul dengan menjual buah potong seperti semangka, pepaya, bengkuang, nanas, dan pisang.
Sementara dari strategi berjualan, penjual gilo-gilo juga memiliki cara untuk menghindari persaingan yaitu dengan mengatur daerah atau lokasi antar pedagang.
Semenjak tahun 1990-an, kejayaan gilo-gilo pun mulai meredup setelah terkena pengaruh krisis ekonomi dan modernisasi.
Mulai tahun 2000, pedagang gilo-gilo tidak lagi didominasi kaum boro melainkan lebih banyak warga yang sudah lama tinggal di Semarang maupun masyarakat asli Semarang.
Sementara beberapa pedagang yang merantau memilih pensiun danpulang ke kampung halamannya karena dirasa keuntungan sebagai penjual gilo-gilo dirasa kurang bisa mencukupi.
Selain itu, generasi penerusnya lebih memilih mencari pekerjaan lain daripada menjadi penjual gilo-gilo.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA Pedagang gilo-gilo duduk di dekat gerobaknya di Jalan Tanjung, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (29/7/2020).
Sampai saat ini, gilo-gilo masih dikenal sebagai kuliner Semarang yang diburu masyarakat.
Harganya yang murah dan variasi makanan yang beragam masih menjadi keunggulan dari gilo-gilo di tengah naiknya harga berbagai bahan pokok.
Dilansir dari laman Kompas.id, pedagang gilo-gilo menyiasati dengan mengurangi porsi atau memperkecil potongan buah agar dagangan yang dijajakan tetap murah meriah.
Sehingga tidak heran jika sampai saat ini gilo-gilo masih menjadi andalan masyarakat kelas menengah, pekerja kantoran, dan mahasiswa ketika ingin mencari kudapan atau buah segar.
Di sisi lain, Pemerintah Kota Semarang ingin mengangkat kuliner gilo-gilo sebagai potensi wisata dan ciri khas dari Kota Lumpia.
"Kami ingatkan lagu salah satu potensi budaya kuliner gilo-gilo gerobakan tradisional," ucap Wing Wiyarso, Minggu (22/1/2023), seperti dikutip dari laman resmi Pemkot Semarang.
Sumber journal.unnes.ac.id semarangkota.go.id tribunjatengwiki.tribunnews.com kompas.id