Gugat Larangan Pimpinan KPK Bertemu Pihak Beperkara, Alex Marwata: Alat untuk Kriminalisasi
JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menggugat larangan pimpinan dan pegawai KPK bertemu dengan pihak yang beperkara ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Larangan itu tertuang dalam Pasal 36 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Alex mengatakan, pasal tersebut dapat dijadikan sebagai alat untuk mengkriminalisasi pimpinan dan pegawai KPK. Sebab, kata dia, rumusan pasal tersebut tidak jelas.
"Apa urgensinya? Pasal itu bagi kami (pimpinan dan pegawai) bisa dijadikan alat untuk mengriminalisasi pimpinan dan pegawai KPK. Rumusan pasal itu tidak jelas, sekali pun dalam penjelasan UU KPK dinyatakan cukup jelas," kata Alex saat dihubungi, Kamis (7/11/2024).
Alex mengatakan, ketidakjelasan pasal tersebut terkait larangan pimpinan KPK bertemu dengan pihak lain yang ada hubungannya dengan perkara. Ia juga mempertanyakan tahapan batasan perkara dalam pasal tersebut.
"Kalau dengan tersangka sudah jelas perkara sudah ditahap penyidikan dan tersangka sudah ada. Tapi pihak lain itu siapa? Batasan perkara itu di tahap apa? Dengan alasan apa pun itu apa maknanya?," ujarnya.
Alex mengatakan, jika tidak ada penjelasan, penerapannya di lapangan akan menjadi semaunya penegak hukum.
Ia mempertanyakan apakah laporan masyarakat yang belum masuk tahap penyelidikan disebut perkara.
Alex juga mengatakan, frasa "pihak lain" harus diperjelas batas relasinya dengan tersangka. Misalnya, penasihat hukum, atasan, dan sopirnya. Apabila dimaknai terpisah, bisa juga sepanjang ada hubungannya dengan perkara.
"Rumusannya dikembalikan ke pemaknaan perkara itu apa? Kapan suatu peristiwa sudah bisa dimaknai sebagai perkara?, Kemudian frasa dengan ‘alasan apa pun’. Bagaimana kalau dalam rangka melaksanakan tugas? Bagaimana kalau tanpa pengecualian berarti bertemu di kondangan pun bermasalah," tuturnya.
Alex megatakan, inti dari Pasal 36 dan Pasal 37 UU KPK untuk menjaga insan KPK terhindar dari konflik kepentingan dan terganggunya penanganan perkara korupsi.
Ia mempertanyakan, jika pertemuan atau komunikasi tidak mengganggu integritas insan KPK dan perkara yang ditangani juga lancar tanpa gangguan/hambatan, apakah layak untuk dijatuhi sanksi etik dan dipidanakan.
"Saya kira hanya aparat penegak hukum yang tidak memahami esensi dari pasal 36 dan 37 saja yang menganggap setiap hubungan/komunikasi dengan setiap orang yang berurusan dengan KPK merupakan perbuatan pidana," kata dia.
Lebih lanjut, Alex mengatakan, uji materi Pasal 36 dan Pasal 37 UU KPK tersebut mewakili pimpinan KPK sekarang maupun yang akan datang serta kepentingan insan KPK secara keseluruhan.
"Jangan ada keraguan sedikit pun dalam memaknai pasal undang-undang oleh penegak etik maupun penegak hukum. Selain itu juga supaya ada perlakuan yang sama antar penegak hukum," ucap dia.
Permohonan Alex tersebut telah diregistrasi MK pada Rabu (6/11/2024) dengan nomor registrasi 158/PUU-XXII/2024.
Dalam gugatannya, Alexander merasa ada kerugian konstitusional akibat larangan mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak yang beperkara dengan KPK dengan alasan apa pun.
Padahal, pertemuannya dengan pihak beperkara adalah untuk menjalankan tugas sebagai pimpinan KPK.
Selain itu, larangan tak boleh bertemu dengan pihak beperkara ini juga disebut merugikan para pegawai KPK yang sering dipanggil karena dinilai melanggar norma Pasal 36 huruf a tersebut.
"Oleh karena itu, akibat ketidakpastian dan diskriminasinya ketentuan Pasal 36 Huruf a UU KPK telah juga merugikan Pemohon 2 dan Pemohon 3 sebagai pegawai KPK," tulis Alex.
Dalam petitumnya, Alexander Marwata meminta MK menyatakan Pasal 36 huruf a UU KPK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Alexander menggugat beleid tersebut bersama dua pegawai KPK lainnya, yakni Auditor Muda KPK Lies Kartika Sari dan Pelaksana Unit Sekretaris Pimpinan KPK Maria Fransiska.