Hakim MK Sebut Pengacara Bodoh karena Ngotot Perbaiki Permohonan Sengketa Pilkada
JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim konstitusi Arief Hidayat memarahi pengacara calon bupati dan wakil bupati Bondowoso nomor urut 2, Bambang Soekwanto-Moh Baqir, karena menyisipkan berkas perbaikan permohonan.
Peristiwa ini terjadi ketika Arief memimpin sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) dengan Nomor Perkara 184/PHPU.BUP-XXIII/2025, dengan agenda tanggapan dari para termohon di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI.
Dalam persidangan itu, Mahkamah mengonfirmasi tambahan barang bukti dari para pihak.
Kuasa hukum Bambang-Gus Baqir kemudian mengatakan terdapat kejadian khusus yang tidak disampaikan Bawaslu setempat, sehingga berniat mengajukan perbaikan permohonan.
“Kejadian-kejadian khusus tidak, yang terakhir pun tidak disampaikan oleh Bawaslu Yang Mulia,” ujar pengacara di ruang sidang MK, Jumat (17/1/2025).
Mendengar ini, Arief menangkap maksud kuasa hukum Bambang-Gus Baqir.
“Sekarang begini, sengketa ini saudara sudah mengajukan permohonan? Kalau nanti satu tahun lagi kemudian ditemukan, masih bisa diperkarakan?” tanya Arief.
Pengacara kemudian menyebut, selama sidang perkara MK masih menyidangkan perkara nomor 184, maka pihaknya masih memiliki hak mengajukan tambahan bukti dan lainnya.
Mendengar ini, Arief menuturkan bahwa MK mempersilakan para pihak menambahkan bukti apapun, dengan catatan persidangan dilanjutkan ke tahap pembuktian.
Namun, jika dalam putusan sela Mahkamah memutuskan perkara terkait tidak dilanjutkan, tidak ada lagi hak untuk menambahkan barang bukti.
“Kalau dilanjutkan ke pembuktian, maka para pihak masih dapat menambahkan bukti atau apapun,” ujar Arief.
“Termasuk perbaikan permohonan Yang Mulia?” tanya pengacara.
“Lah kalau perbaikan permohonan ya sudah enggak ada,” timpal Arief.
Pengacara berdalih dalam aplikasi MK terdapat opsi untuk memasukkan perbaikan permohonan, tetapi dibantah oleh Arief.
Hakim konstitusi itu pun mempertanyakan apakah pengacara Bambang-Gus Baqir sudah membaca Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK).
Dalam PMK itu ditentukan, perbaikan permohonan bisa diajukan paling lambat 3 hari kerja.
“Lah kalau sekarang ini, kayak gini menyisipkan ya enggak dinilai kan. Anda menyisipkan perbaikan permohonan, kan aneh,” ujar Arief.
Namun, pengacara tetap bersikukuh dan berpegang pada sistem aplikasi yang masih menyediakan tools untuk menambahkan perbaikan permohonan.
Mendengar ini, Hakim Arief memotong dan menyatakan ia masih berbicara.
Ia kemudian mengingatkan bahwa perbaikan permohonan tidak bisa disisipkan di tahap penambahan barang bukti.
Ketika mengonfirmasi barang bukti yang ditambahkan dari para pihak, Arief memerintahkan berkas perbaikan permohonan ditarik.
“Ini dibawa pulang ini perbaikan permohonannya,” kata Arief.
Namun, pengacara masih saja bersikukuh dan meminta kebijakan dari Mahkamah agar bisa menyampaikan perbaikan permohonan secara umum agar didengar bersama.
Mendengar permintaan ini, Arief marah karena agenda persidangan sudah menjadi hak bagi para termohon untuk menyampaikan tanggapan.
“Sudah pernah beracara di sini?” tanya Arief.
“Sering Yang Mulia,” jawab pengacara.
“Lah ya sering kok enggak jelas? Berarti bodoh kamu,” kata Arief marah.
Pengacara masih berkelit dan mencoba meminta kebijakan dari Mahkamah agar mendapat kesempatan menyampaikan perbaikan permohonan, namun ditolak.
“Kebijakan, enggak ada kebijakan dalam bidang hukum, enggak ada kebijakan,” ujar Arief.