Hakim Perintahkan Aset Helena Lim Dikembalikan, MA: Pasti Tak Ada Kaitannya dengan Tindak Pidana

Hakim Perintahkan Aset Helena Lim Dikembalikan, MA: Pasti Tak Ada Kaitannya dengan Tindak Pidana

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Agung (MA) mengatakan, hakim pasti memiliki pertimbangan dalam memerintahkan jaksa penuntut umum untuk mengembalikan seluruh aset yang disita dari Helena Lim, terdakwa kasus korupsi tata niaga timah.

Juru Bicara MA, Yanto, mengatakan, hakim biasanya akan meminta pengembalian aset yang tidak berhubungan dengan tindak pidana yang dilakukan terdakwa.

"Pasti begitu, kalau yang (aset) dikembalikan berarti tidak ada kaitannya dengan tindak pidana," kata Yanto di Media Center MA, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Yanto juga mengatakan, hakim pasti menyita seluruh aset yang berhubungan dengan kejahatan yang dilakukan.

"Kalau yang disita berdasarkan keterangan Pasal 392 (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pasti ada kaitannya (tindak pidana). Apakah itu digunakan untuk melakukan? Apa itu hasil kejahatan? Seperti itu," ujar dia.

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat memerintahkan jaksa penuntut umum mengembalikan seluruh aset yang disita dari crazy rich PIK, Helena Lim.

Helena Lim merupakan pemilik perusahaan money changer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) yang terlibat dalam mengelola uang hasil korupsi pada tata niaga komoditas timah terdakwa Harvest dan kawan-kawan.

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rianto Adam Pontoh, mengatakan, pihaknya mempertimbangkan pembelaan Helena dan kuasa hukumnya bahwa aset yang disita itu diperoleh sebelum atau di luar waktu terjadinya tindak pidana korupsi.

"Aset yang tidak terkait dugaan tindak pidana haruslah dikembalikan kepada terdakwa Helena,” kata hakim Pontoh di ruang sidang, Senin (30/12/2024).

Majelis hakim menyimpulkan, upaya paksa penyidik Kejaksaan Agung menyita aset-aset Helena tidak memenuhi satupun syarat penyitaan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Selain itu, majelis hakim mempertimbangkan argumentasi Helena dan tim kuasa hukumnya yang menyatakan bahwa sejumlah aset itu sudah diikutsertakan dalam program pengampunan pajak atau tax amnesty pada 2016 dan ada program pengungkapan sukarela (PPS) 2022.

Sementara itu, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 37 Tahun 2016 menyatakan harta yang diungkap melalui program tax amnesty dan PPS berkekuatan hukum mengikat.

Oleh karena itu, harta yang sudah termasuk dalam program tax amnesty dan PPS sudah bisa dibuktikan validitas dan eksistensinya.

“Dengan demikian, sudah sepatutnya aset tersebut dinyatakan demi hukum tidak dapat disita dan dijadikan sebagai dasar penyidikan, penyelidikan, dan atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak,” tutur hakim Pontoh.

Dalam perkara ini, Helena dihukum 5 tahun penjara, denda Rp 750 juta subsidair 6 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp 900 juta subsidair 1 tahun kurungan.

Helena dinilai terbukti membantu Harvey Moeis dan kawan-kawan melakukan tindak pidana korupsi.

Sumber