Hakim Tegur Saksi Kasus Truk Basarnas: Jawab yang Tegas, Kok Kayak Tempe!

Hakim Tegur Saksi Kasus Truk Basarnas: Jawab yang Tegas, Kok Kayak Tempe!

Hakim menegur Pejabat Fungsional Pengelola Pengadaan Barang dan Jasa pada Basarnas, Aris Gunawan, lantaran tak memberikan keterangan dengan lantang. Hakim menegur Aris karena dinilai lembek di ruang persidangan.

Teguran itu disampaikan hakim ke Aris yang dihadirkan sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan truk pengangkut personel dan rescue carrier vehicle (RSV). Terdakwa dalam sidang ini adalah mantan Sekretaris Utama (Sestama) Basarnas Max Ruland Boseke, mantan Kasubdit Pengawakan & Perbekalan Direktorat Sarana dan Prasarana Badan SAR sekaligus pejabat pembuat komitmen (PPK) Basarnas tahun anggaran 2014 Anjar Sulistiyono, serta Direktur CV Delima Mandiri sekaligus penerima manfaat PT Trikarya Abadi Prima, William Widarta.

Mulanya, hakim anggota Alfis Setyawan mengambil alih persidangan dan menanyakan soal pembuatan harga perkiraan sendiri (HPS) pada dua paket pengadaan truk tersebut. Hakim meminta Aris menjawab dengan tegas.

"Empirisnya pada saat itu untuk dua paket ini yang menyusun HPS itu Pokja atau dari PPK? Jawab Pak, biar cepet. Tak bantu ya Pak Penasihat Hukum. Saksi yang tegas ya," kata hakim anggota Alfis Setyawan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (5/12/2024).

"Siap, Yang Mulia," jawab Aris.

"Saudara geblek-geblek nggak jelas itu, ya kan. Yang tegas," pinta hakim.

"Siap, Yang Mulia," timpal Aris.

Hakim menanyakan apa yang ditakuti Aris sehingga tak lantang saat menjawab pertanyaan di sidang tersebut. Namun, Aris mengaku tak takut pada pihak siapapun.

"Kek orang ketakutan. Takut sama siapa? Takut sama siapa Saudara?" tanya hakim.

"Tidak ada, Yang Mulia," jawab Aris.

Hakim kembali menanyakan soal penyusunan HPS dua paket pengadaan truk tersebut. Aris mengakui menyusun HPS tersebut, padahal ia merupakan anggota Pokja bukan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

"Yang tegas, cowok, laki-laki kok geblek-geblek nggak jelas. Jawab pertanyaan Pak Penasihat hukum itu, yang tegas. Terkait tadi dengan HPS, dikatakan Pak Penasihat Hukum tadi bahwa HPS itu adalah kewajiban PPK untuk menyusunnya. Saudara sebagai Pokja menyusunnya atau tidak? Atau diminta tidak menyusun HPS?" tanya hakim.

"Diminta menyusun HPS," jawab Aris.

Hakim meminta Aris menjawab lebih tegas, keras, dan lantang. Hakim menyindir Aris yang seolah-olah menjadi lembek seperti tempe di ruang persidangan.

"Diminta menyusun HPS. Yang keras suaranya yang tegas, laki-laki, kerja di Basarnas kalau ngomong siap, siap, kayak tentara. Nyampai di ruang sidang kok kayak tempe gini," tegur hakim.

"Siap, Yang Mulia," timpal Aris.

"Iya, nggak usah takut. Sama siapa Saudara takut? apa yang Saudara lihat, apa yang Saudara alami, itu Saudara sampaikan. Lantang ngomongnya," pinta hakim.

"Siap, Yang Mulia," jawab Aris.

Aris mengatakan penyusunan HPS itu dilakukannya atas permintaan PPK. Dia mengatakan pejabat PPK saat itu yang memintanya membuat HPS tersebut adalah terdakwa Anjar Sulistiyono.

"Polisi sama tentara siap nggak begitu siapnya, nggak lembek kayak gitu. Kalau nggak, nggak usah pakai kata-kata siap kalau lembek kayak gitu. Siapa yang mintakan Saudara bikin HPS itu?" cecar hakim.

"PPK, Yang Mulia," jawab Aris.

"Siapa yang memerintahkan?" cecar hakim.

"Pak Anjar, Yang Mulia," jawab Aris.

"Lebih keras, siapa?" tanya hakim.

"Pak Anjar, Yang Mulia," jawab Aris.

"Terdakwa ini?" tanya hakim.

"Siap, Yang Mulia," jawab Aris.

Hakim mendalami ucapan yang disampaikan Anjar ke Aris soal penyusunan HPS tersebut. Aris mengatakan Anjar memintanya berkoordinasi dengan Riki Hansyah selaku staf marketing CV Delima Mandiri.

"Apa yang disampaikan kepada Saudara waktu itu? bagaimana penyampaiannya?" tanya hakim.

"Untuk menyusun HPS silakan berkoordinasi dengan Pak Riki," jawab Aris

"Terus apa yang Saudara lakukan setelah itu?" tanya hakim.

"Berkoordinasi untuk membuat HPS-nya, Pak," jawab Aris.

Sebelumnya, Max Ruland Boseke, Anjar Sulistiyono, dan William Widarta didakwa merugikan keuangan negara Rp 20,4 miliar. Max dkk didakwa melakukan korupsi terkait pengadaan truk pengangkut personel dan rescue carrier vehicle pada 2014 di Basarnas.

"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, secara melawan hukum," kata jaksa KPK Richard Marpaung di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (14/11).

Perbuatan ini dilakukan pada Maret 2013-2014. Jaksa mengatakan kasus ini memperkaya Max Ruland sebesar Rp 2,5 miliar dan William sebesar Rp 17,9 miliar.

"Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya William Widarta sebesar Rp 17.944.580.000,00 (Rp 17,9 miliar) dan memperkaya Terdakwa Max Ruland Boseke sebesar Rp 2.500.000.000,00 (Rp 2,5 miliar), yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian," ujarnya.

Sumber