Hakim Ungkap Kerugian Negara Rp 26,6 Triliun Akibat PT Timah Beli Bijih dari Penambang Ilegal di IUP Milik Sendiri

Hakim Ungkap Kerugian Negara Rp 26,6 Triliun Akibat PT Timah Beli Bijih dari Penambang Ilegal di IUP Milik Sendiri

JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menyebut, tindakan PT Timah Tbk membeli bijih timah dari penambang ilegal mengakibatkan kerugian negara mencapai hingga sekitar Rp 26,6 triliun.

Adapun para penambang ilegal itu mengambil bijih dari wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk.

Rincian kerugian negara akibat PT Timah Tbk membeli bijih dari IUP sendiri itu terungkap dalam pertimbangan hakim ketika memutus perkara dugaan korupsi pada tata niaga komoditas timah dengan terdakwa tiga.

Mereka adalah eks Kepala Dinas Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Amir Syahbana, Suranto Wibowo, dan Rusbani.

Rp 5,1 Triliun dari Minta Bagian 5 Persen

Anggota Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Sukartono mengungkapkan, dari Rp 26,6 triliun itu, sebanyak Rp 5,1 triliun di antaranya timbul karena PT Timah membeli bijih timah sebanyak 5 persen dari lima smelter swasta dan afiliasinya.

Kelima perusahaan itu adalah PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Sariwiguna Bina Sentosa, PT Tinindo Internusa, CV Venus Inti Perkasa, dan PT Stanindo Inti Perkasa.

“Padahal para smelter dan afiliasi pemilik IUP mengetahui bahwa penambangan di wilayah IUP PT Timah di luar IUP nya sendiri adalah ilegal. tidak diperbolehkan. namun PT Timah Tbk menyepakati untuk membeli timah hasil penambangan ilegal tersebut,” kata Hakim Sukartono di ruang sidang, Rabu (11/12/2024).

PT Timah yang kesulitan mendapatkan bijih kemudian melakukan kerja sama dengan meminta 5 persen bijih dari kuota ekspor smelter swasta yang kemudian disebut sebagai program pengamanan aset.

Hakim menyebut program ini sebagai rekayasa PT Timah untuk memenuhi realisasi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).

“Pembayarannya didasarkan tonase timah mengakibatkan terjadinya pengeluaran semestinya PT Timah yang tidak seharusnya yaitu sebesar Rp 5.153.498.451.086 (Rp 5,1 triliun),” kata Hakim Sukartono.

Kerugian Rp 10,3 T Karena Beli Bijih 

Kerugian negara berikutnya timbul akibat pembelian bijih timah dari wilayah IUP PT Timah Tbk sendiri senilai Rp 10.387.091.224.913 (Rp 10,3 triliun).

Pembelian dilakukan dari beberapa mitra jasa penambangan yang memiliki Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP).

Adapun PT Timah sejak 2015 sama sekali tidak menambang di IUP wilayah darat. Penambangan di darat dilakukan oleh perusahaan mitra yang mengantongi IUJP.

Namun, perusahaan pemilik IUJP tidak menjual konsentrat bijih timah berkadar tinggi ke PT Timah melainkan kolektor (pengepul).

Pengepul ini kemudian menjualnya ke smelter swasta yakni, PT RBT, PT Sariwiguna Bina Sentosa, PT Tinindo Internusa, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Menara Cipta Mulia.

Dalam pelaksanaannya, PT Timah membolehkan pemilik IUJP membeli bijih dari penambang ilegal di IUP mereka sendiri.  Kemudian, PT Timah membeli bijih timah itu dari perusahaan pemegang IUJP.

“Mengakibatkan terjadinya pengeluaran PT Timah Tbk yang tidak seharusnya sebesar Rp 10.387.091.224.913 (Rp 10,3 triliun),” kata Hakim Sukartono.

Kerugian Rp 11,1 Triliun

Kerugian berikutnya timbul akibat pembayaran  63.160.827,42 kilogram crude tin (logam timah) kepada lima perusahaan smelter swasta di atas.

Padahal, logam timah itu bersalah dari bijih timah yang dikumpulkan dari para pengepul yang terafiliasi dengan lima smelter dan beberapa perusahaan cangkang.

Perusahaan cangkang ini mengantongi surat perintah kerja (SPK) dari PT Timah untuk membeli bijih dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah.

“Selanjutnya crude tin sebanyak 63 dan seterusnya sebesar Rp 11.128.036.025.519,” tutur Hakim Sukartono.

Total kerugian negara akibat pembayaran bijih timah ini mencapai Rp 26,6 triliun.

Kerugian itu menjadi bagian dari jumlah total kerugian negara Rp 300 triliun dalam kasus dugaan korupsi pada tata niaga komoditas timah.

Sumber