Harvey Moeis Bingung dari Mana Negara Rugi Rp 300 T di Kasus Timah
Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan timah Harvey Moeis mengaku bingung dengan hitungan kerugian negara senilai Rp 300 triliun. Harvey mempertanyakan dari mana kerugian negara itu.
Mulanya, Harvey menyampaikan kesaksian ahli yang menghitung kerugian negara tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dia mengatakan ahli hanya mengambil sampel 40 hektare dari luas ratusan ribu hektare lahan tambang timah di Bangka Belitung.
"Pengalaman saya di tambang batu bara, Yang Mulia, untuk pit, satu pit seluas 10 hektare, kalau kita mau melakukan eksplorasi kemudian mau kita gali, ada yang namanya pengaburan rapat setiap 5 sampai 10 meter untuk 10 hektare kita minimal itu 100 titik, Yang Mulia, 10 hektare dan itu kita lakukan mungkin jangka waktunya 6 bulan sampai 1 tahun. Itu saja masih salah, Yang Mulia, sering salah," kata Harvey saat membacakan pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (18/12/2024).
Seharusnya, kata dia, seorang ahli menghitung kerugian negara mengacu terhadap fakta sejarah. Menurutnya, fakta sejarah penting dalam menghitung kerugian.
"Ketika kami semuanya, terdakwa, penasihat hukum, masyarakat Indonesia, majelis hakim ingin menggali keterangan ahli di persidangan, dijawab dengan gampangnya, ‘Saya malas jawab’," ujarnya.
"Ditambah lagi, Yang Mulia, ketika kami memohon hasil perhitungannya untuk lebih diteliti, permohonan kami ditolak mentah-mentah," sambung dia.
Harvey mengatakan saksi ahli BPKP pun melakukan audit khusus dengan mengumpulkan BAP saksi. Harvey menyebut auditor itu memakai tabel yang dibuat oleh staf PT Timah pada Mei 2024, di mana saat itu ada 24 orang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Harvey mengatakan tabel Excel itu tidak pernah ditemukan di laporan keuangan mana pun di PT Timah. Namun, kata dia, hal itu justru malah dijadikan acuan untuk jika harga sewa kerja sama dinyatakan kemahalan.
"Sampai dengan detik pembacaan pleidoi ini, saya masih sangat bingung Rp 300 triliun ini datangnya dari mana, Yang Mulia. Saya yakin Yang Mulia juga sama (bingung)," ungkapnya.
Harvey menilai kesalahan hitungan ahli membuat perhitungan auditor, jaksa, hingga majelis hakim menjadi tidak benar. Harvey juga menuding ahli membuat masyarakat Bangka Belitung menjadi sengsara.
"Faktanya, kita semua sudah kena prank sama ahli, Yang Mulia. Auditor kena prank, Jaksa kena prank, masyarakat Indonesia kena prank. Tapi saya yakin Majelis tidak akan bisa di-prank oleh ahli," tuturnya.
"Cukup saya saja yang terakhir, Yang Mulia, yang menjadi korban kemalasan dan kesembarangan penghitungan ahli seperti ini, yang bisa saya lakukan hanyalah mendoakan semoga saudara ahli jadi rajin dan tidak malas lagi," imbuh dia.
Harvey menegaskan tidak pernah menikmati uang Rp 300 triliun. Harvey meminta majelis hakim dapat mempertimbangkan nota pembelaan yang disampaikannya.
"Keluarga saya, bahkan mungkin terdakwa lainnya tidak pernah punya, tidak pernah melihat, apalagi menikmati uang Rp 300 triliun Itu 10 persen dari APBN negara kita mungkin. Kalau mau dicari, mohon tanyakan ke saksi ahli yang menghitung angka tersebut," jelasnya.
Dalam kasus ini, Harvey Moeis dituntut 12 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 210 miliar. Jaksa meyakini Harvey bersalah dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan timah yang merugikan negara Rp 300 triliun.
Jaksa mengatakan harta benda Harvey dapat dirampas dan dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut. Jika tak mencukupi, akan diganti dengan hukuman kurungan.
Jaksa meyakini Harvey Moeis melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 55 ke-1 KUHP.