Harvey Moeis Geleng-Geleng Disebut Hakim Tak Bisa Bedakan Harta Halal dan Haram

Harvey Moeis Geleng-Geleng Disebut Hakim Tak Bisa Bedakan Harta Halal dan Haram

JAKARTA, KOMPAS.com - Terdakwa dugaan korupsi pada tata niaga komoditas timah, Harvey Moeis geleng-geleng ketika Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menyebut ia tidak lagi bisa membedakan harta bendanya yang halal dengan hasil korupsi lantaran sudah tercampur.

Dalam persidangan, anggota majelis hakim, Jaini Basir menguraikan bahwa perbuatan Harvey memenuhi unsur mengetahui secara patut bahwa harta yang diperoleh dalam bisnis timah merupakan hasil tindak pidana.

Hakim Jaini mengatakan, dalam persidangan Harvey Moeis tidak pernah membuktikan bahwa harta kekayaannya maupun uang yang digunakan untuk membeli berbagai aset bersumber dari penghasilan yang sah.

“Karena terdakwa sendiri tidak bisa lagi membedakan atau memilah-milah mana harta benda miliknya yang merupakan harta benda yang halal karena sudah terjadi percampuran dengan uang yang telah diperoleh,” kata Hakim Jaini di ruang sidang, Senin (23/12/2024).

Mendengar uraian ini, Harvey yang duduk di kursi terdakwa di depan meja hakim menggeleng-gelengkan kepalanya hingga beberapa kali.

Hakim Jaini kemudian menyebut, karena sudah tercampur, maka harta benda, aset, atau uang Harvey yang diperoleh dalam kurun waktu terjadinya tindak pidana harus dianggap dari tindak pidana korupsi.

Oleh karena itu, majelis hakim berkeyakinan bahwa harta benda, aset, maupun uang yang ditempatkan dalam rekening keluarga atau dibayarkan merupakan harta yang bersumber dari tindak pidana korupsi.

“Menimbang berdasarkan uraian tersebut di atas majelis hakim berpendapat unsur ketiga yang patut diketahui diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) telah terpenuhi pada perbuatan terdakwa,” kata Hakim Jaini.

Dalam uraiannya itu, Hakim Jaini menyebut, Harvey Moeis mengetahui bahwa pemilik money changer PT Quantum Exchange (QSE) Helena Lim berkomunikasi dengan bos-bos smelter timah yang bekerja sama dengan PT Timah Tbk.

Mereka telah dibantu Harvey Moeis mendapatkan kontrak kerja sama pelogaman dengan PT Timah namun dilakukan secara melawan hukum. 

Petinggi empat perusahaan smelter itu kemudian menyetorkan uang kepada Helena untuk ditukar menjadi valuta asing sebagaimana permintaan Harvey Moeis.

Uang yang disetorkan itu merupakan biaya pengamanan dengan nominal 500-700 dollar AS per ton kerja sama peleburan yang diklaim sebagai dana corporate social responsibility (CSR).

“Menimbang bahwa keseluruhan dana yang terkumpul melalui Helena melalui PT Quantum kurang lebih 30 juta dollar As atau Rp 420 miliar,” kata Hakim Jaini.

Uang itu kemudian diserahkan kepada Harvey melalui transfer maupun tunai di rumah di Jalan Gunawarman, Jakarta Selatan.

Dalam persidangan, kata Hakim Jaini, Helena tidak mencatat bukti transaksi penukaran valas tersebut.

Helena juga tidak melaporkan transaksi ke Bank Indonesia dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Transaksi juga tidak dilengkapi dengan data kartu tanda penduduk (KTP) meskipun nilainya sangat besar.

Dari transaksi ini, Helena meraup Rp 30 rupiah dikali 30 juta dollar AS atau total Rp 900 juta.

“Menimbang bahwa berdasarkan fakta persidangan bukti transaksi tidak dilakukan pencatatan, transaksi tersebut juga tidak dilaporkan ke Bank Indonesia dan PPATK maka keuntungan transaksi valas tidak dapat dihitung sebagai transaksi normal,” tutur Hakim Jaini.

Dalam perkara ini, Harvey divonis 6 tahun dan 6 bulan penjara, denda Rp 1 miliar subidair 6 bulan kurungan, serta uang pengganti Rp 210 miliar subsidair 2 tahun kurungan.

Hukuman ini jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa yakni, hukuman 12 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan, dan denda Rp 210 miliar.

Sumber