Harvey Moeis Sebut Sandra Dewi Paling Dimanfaatkan untuk Publisitas Kasus Timah
JAKARTA, KOMPAS.com - Saat membacakan pleidoi atau nota pembelaannya, terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah Harvey Moeis mengatakan bahwa sang istri Sandra Dewi merupakan pihak yang paling dimanfaatkan untuk pencitraan dan paling dirugikan dalam kasus yang menjeratnya.
Menurut Harvey, Sandra Dewi telah difitnah, dihujat, dicaci maki, kehilangan nama baik, kehilangan karir, dan pekerjaan hingga "diparadekan" untuk kepentingan publisitas kasus timah.
Namun, dia menyebut bahwa Sandra Dewi tidak melawan dan memilih diam.
"Dia sebetulnya punya akses langsung berbicara ke publik untuk melawan, tetapi dia memilih untuk diam," kata Harvey dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (18/12/2024), dikutip dari Antaranews.
Dia mengatakan, diamnya Sandra Dewi sepanjang kasus timah berlangsung didasarkan pada ajaran agama yang menekankan apabila terdapat kekuatan besar yang sedang menindas maka yang harus dilakukan adalah diam.
"Karena firman Tuhan berkata, Tuhan akan berperang untuk kamu dan kamu akan diam saja. Dan bahwa pembalasan adalah hak-Ku," ujar Harvey.
Dalam kesempatan itu, Harvey juga mengungkapkan bahwa Sandra Dewi tidak pernah bimbang, tidak pernah kenal lelah, selalu tabah, setia, serta bersinar memberi harapan, dan kekuatan bagi dirinya sepanjang persidangan berjalan.
Dia mengatakan, hal itu yang memberikan kekuatan kepadanya sehingga membuatnya bersyukur memiliki istri seperti Sandra Dewi.
"Saya menjadi sadar bahwa anugerah terbesar dalam hidup saya itu adalah istri saya. Wanita paling kuat yang pernah saya tahu," katanya.
Sebagaimana diketahui, Jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung (Kejagung) menuntut Harvey dipenjara selama 12 tahun dan dijatuhi denda sebesar Rp 1 miliar subsidair 1 tahun bui.
Jaksa menilai, suami Sandra Dewi itu terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara sah dan meyakinkan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan kesatu primair.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Harvey Moeis dengan pidana penjara selama 12 tahun,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin 9 Desember 2024.
Tidak hanya itu, jaksa juga menuntut Harvey untuk membayar uang pengganti senilai Rp 210 miliar dikurangi nilai aset yang telah disita penyidik.
Namun, jika harta benda milik Harvey tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka diganti pidana kurungan selama enam tahun.
Dalam perkara pengelolaan tata niaga komoditas timah ini negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun.
Berdasarkan surat tuntutan, Harvey yang merupakan perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) bersama eks Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.
Harvey menghubungi Mochtar dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.
Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut di-cover dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.
Selanjutnya, dia menghubungi beberapa smelter, yaitu PT Stanindo Inti Perkasa, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, dan PT Tinindo Internusa untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.
Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan. Keuntungan tersebut kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Manager PT QSE, Helena Lim.
Dari perbuatan melawan hukum ini, Harvey Moeis bersama Helena Lim disebut menikmati uang negara Rp 420 miliar.
Atas perbuatannya, Harvey dianggap telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).