Hidup dan Kebocoran-Kebocoran yang Tak Pernah Selesai

Hidup dan Kebocoran-Kebocoran yang Tak Pernah Selesai

Hujan turun sore itu tanpa isyarat, merembes ke tanah seperti ingatan lama yang tak kunjung pudar. Di rumah kecil di pinggir desa, bunyi tetesannya berpadu dengan suara panci yang bergoyang di atas tungku. Di sudut ruangan, ember-ember berdiri menadah air dari langit-langit yang bocor, saksi bisu waktu yang tak lagi dapat dilawan.

Aku, seorang anak kecil dengan pandangan yang belum ternoda oleh kompromi hidup, duduk di lantai, memperhatikan aliran air yang lambat membentuk jalur menuju pintu belakang. "Kenapa nggak diperbaiki saja?" tanyaku, menunjuk langit-langit yang merembes. Bagi pikiranku yang sederhana, kebocoran adalah kesalahan, sebuah anomali yang seharusnya dibereskan.

Orang tua di hadapanku, tubuhnya melambangkan perjalanan waktu, mengangkat bahu dengan senyum samar. "Hujan nggak bisa kita suruh berhenti," katanya, sambil memindahkan ember yang hampir penuh. "Air itu nggak pernah menyerah. Kalau jalannya tertutup, dia cari celah. Kalau celah nggak ada, dia buat jalur baru."

Aku tak menjawab. Dalam diamku, ada ketidakpuasan mengapa membiarkan sesuatu yang rusak tetap ada? Mengapa tidak melawan, memaksakan kesempurnaan? Namun, dalam wajahnya, tak ada tanda bahwa kebocoran ini mengganggunya. Ia melanjutkan pekerjaannya, seolah hidup telah mengajarinya bahwa hujan, seperti kesedihan atau kebahagiaan, tak butuh izin untuk hadir.


Bertahun-tahun kemudian, aku hidup di kota yang jauh dari rumah itu. Hujan di sini bukan sekadar air yang jatuh dari langit; ia adalah beban. Ia datang dalam bentuk tagihan yang menumpuk, pekerjaan yang tak pernah selesai, atau percakapan yang terasa kosong di tengah keramaian. Semua itu mengalir seperti air, mencari celah di antara retakan-retakan rutinitas yang tak pernah utuh.

Di kota ini, hidup terasa seperti pertempuran tanpa akhir. Setiap kebocoran harus segera ditambal, setiap retakan harus diperbaiki sebelum menjadi besar. Kita diajari bahwa hidup adalah soal melawan, soal menang. Tapi semakin keras aku berusaha, semakin banyak celah baru yang muncul. Kebocoran-kebocoran ini tak pernah benar-benar selesai. Dalam kelelahan itu, pikiranku sering kembali ke rumah tua di pinggir desa, pada langit-langit yang bocor dan ember-ember yang tak pernah penuh.


Salah satu kenangan yang melekat dalam pikiranku adalah tentang hari ketika semua ayam di rumah itu mati mendadak. Penyakit datang tanpa tanda, menyerang tanpa jeda, meninggalkan kandang yang kosong dalam hitungan hari. Sebagai seorang anak, aku menganggap semua itu adalah sebuah bencana. Pagi-pagi menjadi sunyi tanpa suara kokok yang biasa menyapa matahari.

"Semua ayam mati," kataku dengan suara hampir menangis. Aku menunggu reaksi—kesedihan, kemarahan, atau setidaknya keluhan.

Tapi orang tua itu hanya mengambil cangkul, berjalan ke kebun, dan mulai menggali. Satu per satu, ayam-ayam itu dikuburkan di tanah yang gembur. Tanpa air mata, tanpa upacara yang rumit. "Tanah ini jadi lebih subur," katanya, sambil menghela napas. "Kita nanti bisa tanam cabai di sini."

Aku terdiam, bingung. Apakah kehilangan sebesar itu tidak pantas untuk diratapi? Aku tak tahu harus berkata apa. Tapi beberapa bulan kemudian, ketika cabai mulai tumbuh subur di tanah itu, aku mengerti bahwa kehilangan bukanlah akhir. Ia hanyalah bentuk lain dari perubahan.


Pelajaran itu, bagiku, tidak datang dengan mudah. Ketika dewasa, aku selalu percaya bahwa hidup adalah tentang melawan melawan kekurangan diri, melawan keadaan, melawan semua yang terasa salah. Setiap masalah harus diselesaikan, setiap luka harus sembuh, setiap kebocoran harus ditutup. Tapi semakin keras aku berusaha, semakin sering aku merasa terjebak. Hidup serasa dipenuhi kebocoran-kebocoran yang tak pernah selesai. Perjuangan itu melelahkan, dan setiap kali aku mencoba lebih keras, aku semakin kehilangan arah.

Di tengah kelelahan itu, aku mulai mengingat kata-kata tentang air yang mengalir. Aku mulai melihat kebocoran itu bukan sebagai cacat yang harus diperbaiki, tetapi sebagai bagian dari sesuatu yang lebih besar untuk diterima. Seperti air, hidup tak pernah sepenuhnya utuh. Ia mengalir melalui celah-celah yang ada, mencari jalannya sendiri.


Ketika orang itu akhirnya meninggal, aku kembali ke rumah tua itu. Langit-langitnya masih bocor. Ember-ember tua masih berdiri di tempat yang sama, menadah tetesan yang jatuh tanpa henti. Hujan turun deras hari itu, mengetuk atap seng dengan ritme yang akrab, seolah sedang mengulang sebuah cerita lama yang tak pernah benar-benar selesai.

Aku duduk di bangku kecil, mendengarkan suara tetesan air yang jatuh ke dalam ember. Untuk pertama kalinya, aku tak merasa perlu menambal kebocoran itu. Aku hanya duduk, membiarkan air mengalir, membiarkan pikiranku mengalir bersamanya.

Di saat itu, aku sadar bahwa hujan bukan hanya tetesan air dari langit. Ia adalah pengingat, pelajaran bahwa hidup tetap bergerak meski dipenuhi kehilangan dan kerusakan yang tak bisa kita hindari. Hidup, seperti air, mencari jalannya sendiri. Ia tak butuh peta atau perintah, ia hanya perlu celah untuk mengalir.


Di pengujung tahun, kita sering menoleh ke belakang, menghitung apa yang kita capai, dan mencatat apa yang gagal. Kita membuat resolusi, menulis target, bertekad untuk menambal semua kebocoran dalam hidup kita. Tapi sering kali, resolusi-resolusi itu berubah menjadi beban. Kita terjebak dalam ilusi bahwa hidup harus sempurna, bahwa segala sesuatu yang salah harus diperbaiki.

Namun, hidup tak pernah meminta kesempurnaan. Hidup, seperti air, hanya meminta kita mengalir bersamanya. Menerima apa yang datang, apa yang hilang, dan apa yang tinggal. Kebocoran-kebocoran itu, kehilangan-kehilangan itu, bukanlah musuh. Mereka adalah bagian dari arus yang membawa kita maju, entah ke mana.

Kini, setiap kali hujan turun, aku teringat pada rumah tua itu. Ember-ember yang setia menadah tetesan, kebun cabai yang tumbuh di atas kehilangan, dan bunyi air yang tak pernah lelah mencari jalan. Aku belajar bahwa hidup bukan tentang menghentikan hujan, melainkan tentang mendengarkan bunyinya. Tentang membiarkannya mengalir, tentang menemukan kedamaian di tengah ketidaksempurnaan.

Selamat Tahun Baru. Semoga kita menemukan celah, seperti air yang tak pernah berhenti mencari jalan.Adib Abadi kolumnis

Sumber