Hitam Putih Industri Padat Karya, Tinggalkan atau Tetap Jadi Tumpuan?
Bisnis.com, JAKARTA — Belakangan, banyak mata tertuju ke industri padat karya. Pemantiknya, keputusan Pengadilan Negeri Niaga Semarang yang menyatakan perusahan tekstil terbesar di Asia Tenggara PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) alias Sritex pailit.
Kebangkrutan Sritex tersebut seakan menumpuk permasalahan industri padat karya di Indonesia beberapa waktu belakangan. Sebelumnya, badai PHK juga melanda subsektor tersebut.
Data dari BPJS Ketenagakerjaan misalnya, yang mengungkapkan sebanyak 46.001 peserta dari sektor industri pakaian jadi dan tekstil tercatat tidak lagi menjadi peserta akibat adanya PHK massal.
Padahal, industri padat karya menjadi subsektor yang paling memungkinkan menyerap tenaga kerja secara gelondongan. Di sisi lain, pemerintah kini fokus melakukan hilirisasi sehingga industri teknologi tinggi bisa berkembang dan menyerap banyak tenaga kerja.
Di tengah ambisi hilirisasi tersebut, sektor industri padat karya seakan terlupakan. Pertanyaannya untuk menyerap tenaga kerja, apakah sebaiknya Indonesia tetap bertumpu kepada industri padat karya atau malah ditinggal agar mempercepat transformasi ke sektor industri teknologi tinggi?
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, industri padat karya memang memiliki sisi positif sekaligus negatif. Bagi negara berkembang, sambungnya, industri padat karya memiliki peran penting untuk mengurai tingkat pengangguran secara signifikan.
Bahkan, industri padat karya bisa menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi sesuatu negara. Yusuf mencontohkan Vietnam, yang menjadi salah satu eksportir garmen terbesar di dunia.
"[Vietnam] selama periode waktu 20 tahun terakhir bisa mencapai rata-rata pertumbuhan 6%. Saya kira beberapa di antara pencapaian pertumbuhan ekonomi itu salah satunya disumbang dari pertumbuhan industri tekstil Vietnam," jelasnya kepada Bisnis, Kamis (31/10/2024).
Di samping itu, dia mengakui industri padat karya juga memiliki kelemahan mendasar seperti upah yang rendah dan membuat ketergantungan kepada tenaga kerja kurang terampil sehingga memperparah ketimpangan ekonomi dalam jangka panjang.
"Bagi negara-negara berkembang, ketergantungan pada industri padat karya sering kali menahan mereka di sektor ekonomi yang kurang produktif dan rentan terhadap persaingan internasional," ujar Yusuf.
Oleh sebab itu, dalam konteks Indonesia, Yusuf menekankan pentingnya memitigasi dampak negatif dari peralihan dari industri padat karya ke industri teknologi tinggi. Dia menyarankan penyediaan pelatihan dan peningkatan keterampilan bagi pekerja yang terlibat dalam industri padat karya agar mereka bisa beradaptasi dengan kebutuhan teknologi tinggi.
Caranya, lewat kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta termasuk peningkatan kualitas sekolah kejuruan dan politeknik untuk menyiapkan generasi yang lebih kompeten dalam keterampilan teknologi.
Selain itu, lanjut Yusuf, kebijakan transisi yang adil harus dikembangkan untuk mendukung pekerja yang terdampak seperti bantuan keuangan, pelatihan ulang, serta dukungan bagi usaha kecil sebagai alternatif pekerjaan.
"Dengan pendekatan ini, peralihan ke industri berteknologi tinggi dapat membawa manfaat yang lebih luas tanpa menimbulkan ketidakstabilan sosial yang signifikan," tutupnya.