HUT Ke-52 PDI-P dan Kado Butet
Luka itu bara,bisa menyalaLuka itu energi,bisa berdaya
Aku lahir dari luka-luka sejarah, yang berdarahdari rahim yang dicabik-cabik kejahatan penguasaAsupan giziku campuran nanah dan amarah, tapiAku menjadi dewasa dan perkasa
Luka itu api, bisa membakarLuka itu pelita, bisa bercahaya…
SAYA kutip bagian awal sajak berjudul “Dibakar Luka” yang dibaca penulisnya, Butet Kartaredjasa, di panggung perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-52 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), 10 Januari 2025. Di panggung kecil di halaman Sekolah Partai Lenteng Agung, Jakarta.
“Dibakar Luka” disebut Butet sebagai kado untuk PDI-P yang ulang tahun ke-52. Ditulis di awal 2025, sebagai renungan penulisnya terhadap situasi sejarah sepanjang 2024.
Butet menyebut 2024 sebagai tahun yang gelap. Penuh akal-akalan kejahatan yang merusak demokrasi dan konstitusi di Indonesia.
Saya membaca, “Dibakar Luka” sangat tepat diberikan Butet sebagai kado buat partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu.
Luka itu bukan hanya milik Butet Kartaredjasa. Luka itu milik bangsa Indonesia. Luka itu terkhusus dirasakan PDI-P, terlebih sang ketua umumnya.
Dan, luka itu terekspresikan pula melalui cara PDI-P merayakan HUT ke-52. Sederhana sekali, hanya untuk internal partai.
Di halaman Sekolah Partai Lenteng Agung hanya ada panggung kecil. Di depan panggung terdapat area VIP dengan belasan kursi. Tampak sang ketua umum didampingi beberapa elite partai menyimak Butet membaca puisinya.
Acara inti dilaksanakan di dalam gedung Sekolah Partai Lenteng Agung. Tak ada rangkaian sambutan. Hanya diisi pidato tunggal Megawati Soekarnoputri, yang dengan gaya khasnya menghabiskan waktu tiga jam lebih.
Ibarat roda yang berputar, “cokro manggilingan” kata orang Jawa. Selama 8 tahun HUT PDI-P senantiasa dirayakan dengan megah dan meriah. Dihadiri Presiden Republik Indonesia saat itu, yang tak lain kadernya sendiri, Joko Widodo (Jokowi).
Jokowi sering disebut kader terbaik PDI-P. Ia memang sangat populer. Mengundang decak kagum banyak kalangan.
Karakter dan gaya komunikasinya sederhana, merakyat. Meminjam kategorisasi Robert Redfield, karakter dan gaya Jokowi dibentuk oleh “tradisi kecil” (little tradition), bukan “tradisi besar” (great tradition). Jokowi bentukan tradisi rakyat (warga kebanyakan), bukan tradisi elite (warga istimewa).
Jokowi memang bukan siapa-siapa. Ia rakyat biasa yang sukses menerobos tradisi kepemimpinan politik Indonesia berkat sistem demokrasi.
Tanpa sistem politik yang demokratis, rakyat biasa mustahil mencapai puncak jabatan politik sebagai presiden.
Karena itu, banyak kalangan terkesima. Butet pun mengidolakan Jokowi sebagai “role model”. Dan, PDI-P menyebutnya kader terbaik.
Namun, sejak HUT ke-51 pada 10 Januari 2024, tak ada lagi sambutan presiden. Kader terbaik PDI-P itu tak hadir. Meski ada alasan resmi (karena sedang kunjungan luar negeri), ketidakhadiran tersebut menegaskan posisi politik mutakhir Jokowi saat itu.
HUT ke-51 hanya diisi pidato Megawati. Tampak sekali merefleksikan keprihatinan mendalam keluarga besar “Partai Banteng”.
Pada HUT ke-51, Jokowi masih merupakan kader “Partai Banteng”. Dalam pidatonya, Sang Ibu prihatin dan mengecam keras tindak-tanduk kadernya itu. Megawati sempat mengingatkan dengan mengatakan bahwa Orde Baru akhirnya jatuh juga.
Namun, pada HUT ke-52 pada 10 Januari 2025, kader yang diklaim terbaik itu telah dipecat dari keanggotaan partai. Jokowi dipecat bersama putra sulungnya, Gibran Rakabuming dan menantunya, Bobby Nasution.
Relasi Megawati-Jokowi yang sering disebut relasi “ibu-anak” benar-benar patah. Sang anak telah diusir dari rumah besar yang membesarkannya.
Sungguh tragis. Kader terbaik itu dinilai telah melakukan pelanggaran serius AD/ART partai, kode etik dan disiplin partai.
Bahkan, tak hanya telah melakukan pelanggaran internal partai, Jokowi dinilai telah menyalahgunakan kekuasaan untuk mengintervensi Mahkamah Konstitusi (MK).
Tindakan Jokowi dinilai telah menimbulkan kerusakan sistem demokrasi, sistem hukum, dan moral-etika kehidupan berbangsa dan bernegara. Pelanggaran yang dilakukan dikategorikan sebagai pelanggaran berat.
Jokowi dibesarkan melalui jalan demokrasi, tapi tragis dan ironis jalan itu dinilai dirusak sendiri oleh orang yang terbukti sukses melalui jalan itu.
Menurut saya, kado Butet sangat layak diterima dan diamini oleh PDI-P pada HUT ke-52 itu. Kata Butet, “Luka itu bara, bisa menyala. Luka itu energi, bisa berdaya.”
Selama 3 jam lebih, Megawati bukan sekadar pidato formal yang normatif, melainkan menyemangati, membangkitkan, menyadarkan dan meyakinkan kader-kadernya tentang masa depan bangsa Indonesia yang diformulasikan oleh WR Soepratman dengan sebutan “Indonesia Raya”.
Sang ketua umum bukan omong kosong. Ia menjelaskan, mengingatkan, dan menyadarkan berdasarkan pengalamannya sendiri dan para tokoh besar terutama para pendiri bangsa.
Bukan sekadar kritik, tapi sekaligus petuah penting dari hasil refleksi yang sublim atas dinamika politik dan kekuasaan, yang ternyata kader terbaiknya di ujung kekuasaannya justru menggoreskan luka.
Dan, Megawati menghadirkan luka masa lalunya, baik sehubungan dengan ayahandanya, Bung Karno, maupun tatkala dirinya dimusuhi rezim Orde Baru.
Luka itu membara dan menjadi energi yang membuat Megawati tetap sanggup berdiri kokoh memimpin PDI-P. Meski harus merasakan luka kembali justru oleh kader terbaiknya. Kata Butet, luka itu menjadikannya dewasa dan perkasa.
PDI-P membuktikannya. Jagonya pada pemilihan presiden memang kalah. Namun, PDI-P masih menjadi partai peraih kursi terbanyak di parlemen.
PDI-P memang kalah pada pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah yang selama ini menjadi basis kekuatannya, seperti Jawa Tengah. Namun, di sejumlah daerah lain dan terutama di Jakarta, PDI-P unggul.
Di pidato pada HUT ke-52, Megawati memberi isyarat politik kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Saya menduga, PDI-P di bawah kepemimpinan Megawati akan tetap berada di luar pemerintahan. Namun, tak akan menganggu jalannya pemerintahan.
Isyarat itu di antaranya dinyatakan oleh Megawati sendiri yang tetap berhubungan baik dengan Presiden Prabowo, bahkan dengan sapaan khas “Mas Bowo”.
Saya kira, formulasinya secara politik di lapangan membutuhkan tafsir yang cerdas dari kader-kader PDI-P, baik dari sudut kepentingan partai maupun rakyat Indonesia, yang berkali-kali ditegaskan oleh sang ketua umum. Politik PDI-P tak lain adalah politik kerakyatan untuk kemaslahatan rakyat.
Luka itu api, bisa membakar, kata Butet, dan luka itu pelita, bisa bercahaya. Semestinya PDI-P makin bercahaya dalam menerangi jalan masa depan Indonesia.