HUT PDI-P, Said Abdullah Paparkan 2 Pesan Megawati Soekarnoputri

HUT PDI-P, Said Abdullah Paparkan 2 Pesan Megawati Soekarnoputri

KOMPAS.com - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) merayakan hari ulang tahun (HUT) ke-52 yang diperingati hari ini, Jumat (10/1/2025).

Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P Said Abdullah mengatakan, peringatan hari lahir PDI-P kali ini digelar sederhana dan dipusatkan di Sekolah Partai PDI-P di Lenteng Agung, Jakarta.

Ia mengatakan, dalam puncak peringatan hari lahir PDI-P, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidato politiknya. 

“Saya selalu menyimak pidato Ibu Mega, mulai dari Kongres Luar Biasa PDI pada Desember 1993 sampai sekarang menjadi PDI-P, Ibu Mega selalu tersentuh hati saat berbicara dua hal,” ujar Said dalam siaran pers, Jumat.

Pidato menyentuh itu tentang cita-cita Indonesia Raya dan kisah perjuangan politik Bung Karno yang di akhir kekuasaannya diperlakukan bak pesakitan politik.

Hal itu terjadi setelah keluarnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) No XXXIII/MPR/1967 yang mencabut mandat Presiden Soekarno (Bung Karno), selaku mandataris MPR.

Melalui TAP MPR itu pula negara memberikan tuduhan bahwa Soekarno dianggap memberikan keuntungan atas Gerakan G 30 S 1965.

Soekarno juga dianggap melindungi tokoh-tokoh yang terlibat dalam gerakan tersebut. Atas pertimbangan tersebut, Soekarno dimakzulkan MPR.

Said mengatakan, setelah diberhentikan dari presiden, Bung Karno diperlakukan sebagai tahanan kota. 

“Beliau dijauhkan dari keluarganya dan tidak mendapatkan perawatan kesehatan sebagaimana selayaknya sebagai proklamator dan mantan presiden,” ungkapnya. 

Di akhir hayat, Bung Karno wafat dengan kondisi sangat menyedihkan. Dia merasakan kesakitan luar biasa akibat kerusakan ginjal dan sengaja tidak diberikan pertolongan medis yang semestinya.

Selain itu, anak-anak Bung Karno, termasuk Megawati, menghadapi berbagai tekanan dan pembatasan politik di masa Orde Baru. 

Said menjelaskan, Orde Baru juga melakukan de-Soekarnoisasi atau pelarangan atas penyebaran ajaran-ajarannya secara sistematis.

“Sejarah itu tersimpan kuat dalam memori Ibu Mega. Saking kuatnya ingatan itu, maka ketika MPR mencabut TAP MPR NoXXXIII/MPR/1967, rasa haru dan terima kasih itu beliau ucapkan kembali,” katanya. 

Sebab, dengan pencabutan TAP MPP tersebut, negara telah memulihkan nama baik Bung Karno.

Oleh karenanya, Megawati menyampaikan terima kasih kepada MPR dan Presiden Prabowo Subianto atas pemulihan nama baik sebagai presiden pertama.

“Tanpa andil Presiden Prabowo dan seluruh pimpinan MPR, serta dukungan seluruh elemen rakyat, mustahil TAP MPR yang menyangkutkan Bung Karno dengan G 30 S 1965 itu bisa dihapuskan,” ucapnya. 

Oleh karena itu, kata Said, pidato Mega memberikan kesan yang mendalam karena apresiasi kepada Prabowo, pimpinan MPR, dan seluruh rakyat.

“Saya menangkap pesan yang mendalam kenapa Ibu Mega menyampaikan rasa terima kasih yang tulus tersebut dengan penuh haru,” ujarnya.

Pencabutan TAP MPR No XXXIII/MPR/1967 yang memulihkan nama baik Bung Karno dapat Megawati perjuangkan dan didukung Prabowo yang notabene bukan kader PDI-P.

Kemudian, Said menangkap kesan bahwa Megawati ingin menghindari konflik kepentingan, khususnya saat dia menjabat sebagai presiden yang tidak sesegera mungkin memulihkan nama baik Bung Karno. 

“Apalagi, keadaan ekonomi dan keamanan nasional saat itu sedang tidak baik-baik saja. Sepertinya beliau ingin memberikan keteladanan, ‘jangan mementingkan keluarga meskipun itu penting dan saat negara sedang membutuhkan tanggung jawab lain yang lebih prioritas’,” ujarnya.

Said menyebutkan, kenegarawanan Prabowo dan Megawati patut dicontoh dan diteladani sebagai mata air dalam membangun peradaban politik yang kering akhir-akhir ini. 

“Kami juga menyaksikan, Orde Baru yang perkasa tidak bisa membungkam kebenaran. Kebenaran akan senantiasa mencari jalan keadilannya sendiri. Dirgahayu 52 tahun PDI-P,” katanya.

Sumber