IDI: Selain Dokter, Tidak Boleh Praktik Medical Aesthetic
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Purna Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Daeng M Faqih mengatakan, seseorang yang tidak berlatar belakang seorang dokter tidak boleh memberikan pelayanan selayaknya tenaga medis itu.
Pernyataan ini terkait kasus klinik kecantikan Ria Beauty yang diduga menjalankan praktik tanpa keahlian medis.
“Nah, kalau dia dokter, dokter kecantikan atau dokter kulit kecantikan, dia boleh berpraktik sebagai medical aesthetic,” kata Faqih saat dihubungi Kompas.com, Selasa (10/12/2024).
“Tapi kalau bukan dokter dan bukan dokter kulit kecantikan, dia enggak boleh memberikan pelayanan seperti dokter. Kalau bukan dokter berarti dia memberikan pelayanan kecantikan seperti salon,” tegas dia melanjutkan.
Faqih menjelaskan, setidaknya masyarakat bisa membedakan antara salon kecantikan dan medical aesthetic.
Menurut dia, salon kecantikan merupakan sebuah tempat yang memberikan pelayanan sebatas merias wajah, memotong rambut, hingga perawatan tubuh lainnya.
Sementara, medical aesthetic merupakan sebuah tempat yang memberikan pelayanan atau tindakan medis terhadap konsumen dengan menggunakan obat-obatan dan bahan farmasi.
“Kalau sudah pakai metode tertentu, tindakan tertentu, obat-obatan tertentu, apalagi yang invasif, nah itu harus hati-hati. Itu perlu keterampilan selevel dokter supaya orang yang dilayani itu aman,” ujar dia.
Agar lebih jelas, Faqih juga membeberkan ciri-ciri tindakan medis pada medical aesthetic yang seharusnya haram dilakukan oleh salon kecantikan.
“Misalnya, tindakan medis itu ada tindakan menyuntik, injeksi, ada tindakan pemberian obat tertentu, ada tindakan invasif, misalnya. Nah, itu biasanya masuk ke medis, kalau itu,” kata Faqih.
“Kalau anestesi itu tindakan medis. Itu perlu belajar betul. Karena yang dipelajari, kalau medis itu bukan hanya cara pemberiannya. Tapi termasuk risikonya bagaimana kalau terjadi sesuatu? Harus melakukan tindakan seperti apa kalau terjadi efek alergi atau apa? Itu dipelajari kalau medis,” imbuh dia.
Diberitakan sebelumnya, Penyidik Subdit Renakta Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya menangkap pemilik Ria Beauty, Ria Agustina (33), Minggu (1/12/2024).
Tidak sendiri, Ria ditangkap bersama karyawannya, DN (58), saat melayani treatment derma roller tujuh pelanggan di kamar hotel wilayah Kuningan Timur, Setiabudi, Jakarta Selatan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan penyidik, Ria menggunakan alat derma roller yang tidak mempunyai izin edar.
“Membuka jasa menghilangkan bopeng pada wajah dengan cara digosok menggunakan alat GTS roller yang belum memiliki izin edar, hingga jaringan kulit menjadi luka,” ujar Wira.
Selain itu, Ria menggunakan krim anestesi dan serum yang tidak terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Masih berdasarkan hasil pemeriksaan, keduanya bukan tenaga kesehatan. Diketahui, Ria merupakan sarjana perikanan.
Hanya saja, Ria menjalani praktik dengan didukung sejumlah sertifikat ahli kecantikan yang dia miliki.
Dari kasus ini, polisi menyita barang bukti berupa 4 underpads, 1 alat pelindung diri (APD), 13 handuk, 7 head band, 31 suntikan kecil, 4 suntikan besar, 4 krim anestesi merek Forte Pro, dan 10 derma roller.
Ada juga 1 derma pen, 1 serum jerawat, 1 toples krim anestesi, 15 ampoul obat jerawat, 1 anestesi, 1 ponsel, 27 roller, uang tunai Rp 10,7 juta, dan kartu ATM BCA berisi Rp 57 juta.
RA dan DN dijerat Pasal 435 juncto Pasal 138 ayat (2) dan/atau ayat (3) dan/atau Pasal 439 juncto Pasal 441 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Kesehatan
Ancaman hukuman terhadap dua tersangka maksimal selama 12 tahun atau denda paling banyak sebesar Rp 5 miliar.