Ilusi Inovasi Pelayanan Publik
Pemaknaan inovasi oleh pemerintah seringkali keliru. Inovasi masih dimaknai sebatas penggunaan teknologi canggih atau kerap disebut digitalisasi. Tidak jarang kita mendengar pemerintah membuat berbagai macam aplikasi untuk pelayanan publik. Tercatat ada 27 ribu aplikasi yang dikelola oleh kurang lebih 500 Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah (K/L/D).
Berbagai aplikasi tersebut diakui masih tumpang tindih dan tidak terintegrasi. Aplikasi yang seharusnya menjadi inovasi untuk mempermudah justru mempersulit masyarakat dalam mengakses pelayanan publik. Kondisi ini menjadi indikasi pemerintah hanya berorientasi pada kepentingan ‘proyek’ tanpa memikirkan lebih jauh manfaatnya untuk kepentingan publik.
Parahnya, replikasi ‘inovasi’ ini tidak diikuti dengan kapasitas infrastruktur dan sumber daya manusia yang memadai. K/L/D terkesan ‘FOMO’ untuk menyediakan suatu inovasi digital tanpa mempertimbangkan relevansi solusi dengan kebutuhan masyarakat. Banyak instansi pemerintah yang terjebak pada keinginan untuk ’tampil inovatif’ semata. Pola pikir seperti ini yang membuat pelayanan dan kebijakan publik yang berbasis pada bukti sulit tercapai.
Situasi ini sejalan dengan Global Innovation Index (GII) 2024 yang dirilis oleh World Intellectual Property Organization (WIPO), Indonesia memiliki skor 30,6 dan menduduki peringkat ke-54 dari 133 negara. Berdasarkan GII 2024, Indonesia masih memiliki kinerja inovasi yang rendah terutama pada indikator sumber daya manusia dan penelitian, output pengetahuan dan teknologi, infrastruktur, dan output kreativitas. Hasil tersebut menggambarkan masih lemahnya ekosistem inovasi di Indonesia sehingga tidak mengherankan masih banyak ‘ilusi inovasi’ di sektor publik
Homogenitas InovasiEsensi inovasi pada sektor publik dapat dimaknai sebagai setiap praktik baru atau ditingkatkan secara signifikan termasuk produk, proses, metode, layanan, atau kebijakan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja organisasi dan manfaat bagi masyarakat (OECD, 2016). Tidak ada yang salah bila pemerintah menganggap aplikasi digital sebagai sebuah inovasi, tetapi alangkah baiknya pemerintah dapat menyesuaikan bentuk inovasinya sesuai dengan masalah spesifik yang dihadapi.
Keterbatasan bentuk inovasi pemerintah disebabkan oleh beberapa faktor (Qiyamullaily et al, 2023; Sakawati, et al, 2024). Pertama, kompleksitas prosedur dan regulasi yang menghambat instansi pemerintah untuk merespons perubahan. Kedua, belum ada kebijakan yang mengatur insentif dan fleksibilitas organisasi dan individu dalam berinovasi. Ketiga, kurangnya pemimpin visioner yang dapat mendukung keberlanjutan inovasi.
Keempat, belum ada unit organisasi spesifik yang berfungsi menjalankan proses inovasi di organisasi. Kelima, belum terbentuknya budaya inovasi yang berakibat pada rendahnya komitmen. Keenam, rendahnya kesadaran dan kemampuan individu untuk berinovasi. Ketujuh, keterbatasan anggaran untuk inovasi. Terakhir, belum adanya target dan evaluasi khusus untuk proses inovasi di setiap instansi pemerintah.
Tidak mengejutkan apabila di berbagai instansi pemerintah belum memiliki ekosistem inovasi yang kondusif. Meskipun pemerintah telah menyelenggarakan kompetisi inovasi pelayanan publik maupun Innovative Government Award (IGA) untuk meningkatkan motivasi pemerintah pusat maupun daerah agar berinovasi, tetapi ajang penghargaan tersebut seringkali hanya berfokus pada output saja tanpa memperhatikan outcome bagi masyarakat dan keberlanjutan inovasi tersebut. Inovasi harus dipandang sebagai suatu proses perubahan jangka panjang bukan sebatas proyek jangka pendek yang minim manfaat. Pemerintah harus mulai berfokus pada aspek substansial dalam memperbaiki ekosistem inovasi untuk menciptakan inovasi yang beragam.
Marwah InovasiPemerintah harus mengembalikan marwah inovasi sebagaimana mestinya. Terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengembangkan ekosistem inovasi. Pertama, deregulasi kebijakan yang menghambat pertumbuhan inovasi. Kedua, membuat kebijakan ekosistem inovasi nasional yang mengatur proses, pengelolaan, diseminasi, dan insentif inovasi sektor publik. ketiga, membentuk budaya inovasi melalui penciptaan lingkungan kerja yang terbuka, kreatif, dan egaliter. Keempat, mengembangkan kapasitas pemimpin organisasi terkait manajemen inovasi dan perubahan. Kelima, memperkuat basis manajemen pengetahuan di lingkungan instansi pemerintah untuk memperluas kesempatan belajar individu. Keenam, pembentukan dana abadi inovasi untuk pembiayaan program inovasi secara berkelanjutan. Ketujuh, meningkatkan kolaborasi dengan aktor non pemerintah seperti perusahaan swasta, akademis, maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Terakhir, pemerintah membuat target, evaluasi, dan asistensi khusus terkait implementasi ekosistem inovasi nasional yang berorientasi pada kepentingan publik.
Pemerintah harus merestrukturisasi ekosistem inovasi untuk menghasilkan program/kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tentunya perlu keseriusan pemerintah untuk memulai langkah untuk menata inovasi yang masih terfragmentasi demi mewujudkan Indonesia Emas 2045.Muhammad Rafli Gebrena mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Indonesia
Simak juga video Perang Siber Bisa Lumpuhkan Fungsi Pertahanan dan Pelayanan Publik
[Gambas Video 20detik]