Imparsial Anggap Ribuan Pasukan Dikirim ke Papua Selama 2024 Ilegal
JAKARTA, KOMPAS.com - Imparsial menyebut bahwa pemerintah mengirim ribuan pasukan ilegal ke Tanah Papua sepanjang 2024.
Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menegaskan bahwa status Daerah Operasi Militer (DOM) Papua resmi dicabut setelah Reformasi.
"Kami mencatat sepanjang tahun 2024 ini Pemerintah setidaknya telah mengirimkan 3.187 pasukan non-organik ke tanah Papua. Hal ini belum ditambah dengan jumlah pasukan yang tidak diketahui jumlah pastinya," ujar Ardi pada Selasa (10/12/2024).
"Penting diingat, pengiriman pasukan ini merupakan tindakan ilegal yang bertentangan dengan Pasal 7 ayat (3) UU TNI," lanjut dia.
Dalam beleid itu, ditegaskan bahwa operasi militer selain perang hanya dapat dilakukan setelah adanya kebijakan dan keputusan politik negara, yaitu kebijakan politik pemerintah bersama dengan DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR.
Sementara ini, selama ini tidak ada satu pun kebijakan atau keputusan politik untuk mengirimkan pasukan TNI ke Tanah Papua.
Imparsial menilai, pengiriman pasukan secara ilegal dan penebalan personel merupakan bukti nyata ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Papua.
Memperkuat pengaruh militer di wilayah yang rentan konflik dianggap tak selaras dengan janji mengutamakan dialog dan pendekatan damai.
"Akibatnya korban terus berjatuhan karena kontak senjata selalu terjadi di pemukiman warga," ujar Ardi.
"Berdasarkan hasil pemantauan Imparsial sepanjang tahun 2024 setidaknya telah terjadi 18 peristiwa kekerasan konflik bersenjata di Papua," imbuhnya.
Kontak senjata ini sedikitnya telah menewaskan 9 orang anggota TNI dan Polri serta 4 masyarakat sipil.
Sejumlah anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat/Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) dan warga setempat juga luka-luka.
Imparsial juga menyoroti potensi konflik di Papua yang semakin mengkhawatirkan akibat pemekaran wilayah dan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti program Food Estate di Merauke.
"Imparsial memandang program Food Estate yang diikuti dengan penambahan dan pembentukan lima batalyon Infanteri Penyangga Daerah Rawan (Yonif PDR) di tanah Papua tidak hanya penyimpangan peran TNI tetapi juga berpotensi memperparah spiral kekerasan," jelas Ardi.
"Konflik antara TNI dengan masyarakat yang menimbulkan pelanggaran HAM sangat mungkin terjadi, apalagi berdasarkan keterangan Menteri Pertanian yang menyatakan bahwa pembukaan lahan sejuta hektar dikendalikan langsung oleh Pangdam XVII/Cenderawasih," lanjutnya.