Imparsial Temukan 23 Pelanggaran Kebebasan Beragama Selama 2024

Imparsial Temukan 23 Pelanggaran Kebebasan Beragama Selama 2024

JAKARTA, KOMPAS.com - Imparsial mencatat setidaknya 23 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi di Indonesia sepanjang 2024.

Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra menilai, agenda pemajuan dan perlindungan kebebasan beragama hanya sebatas retorika.

"Temuan-temuan pelanggaran yang menonjol adalah di antaranya; pemerintah daerah masih menerbitkan regulasi dan kebijakan yang bersifat diskriminatif, penolakan pendirian rumah ibadah, dan pelarangan beribadah baik secara individu maupun berkelompok," kata Ardi dalam keterangan resmi Imparsial pada Selasa (10/12/2024).

Kasus-kasus pelanggaran tersebut terjadi di berbagai provinsi, termasuk Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Timur, Aceh, Kepulauan Riau, Bengkulu, Sulawesi Selatan, hingga Papua.

Pelaku pelanggaran berasal dari aktor negara dan non-negara, termasuk tokoh agama, warga, dan organisasi kemasyarakatan.

Sementara itu, korban dari pelanggaran ini umumnya adalah anggota kelompok minoritas agama atau keyakinan di daerah tersebut.

"Dari semua peristiwa yang ada, jenis pelanggaran terhadap hak untuk melaksanakan ibadah menjadi yang paling dominan dilanggar, disusul pelanggaran terhadap hak untuk mendirikan rumah ibadah dan hak untuk menyiarkan ajaran agama atau ekspresi keagamaan," jelas Ardi.

Dalam 23 peristiwa tersebut, Imparsial menemukan bahwa intoleransi cenderung dibiarkan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum.

Salah satu contohnya adalah pelarangan kegiatan Jalsah Salanah yang hendak diselenggarakan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Desa Manislor, Kabupaten Kuningan.

Pada kasus ini, penjabat Bupati Kuningan menerbitkan surat larangan untuk kegiatan Jalsah Salanah.

Akibatnya, jemaat Ahmadiyah dari berbagai daerah yang ingin mengikuti kegiatan tersebut mengalami persekusi dari pihak kepolisian dan warga setempat, serta terpaksa terdampar dalam perjalanan karena akses menuju lokasi Jalsah Salanah ditutup.

"Alih-alih memberikan perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, kepolisian malah menjadi pelaku pelanggaran HAM," ungkap Ardi.

Ia menambahkan bahwa saat ini, perspektif pemerintah dan aparat penegak hukum belum berpihak kepada korban pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Sikap yang ditunjukkan, ujarnya, cenderung permisif terhadap kelompok-kelompok intoleran dan memilih untuk membiarkan hingga terjadinya kekerasan.

"Imparsial menilai, penanganan aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, dalam banyak kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan masih bias favoritisme dan mayoritarianisme," jelas Ardi.

Sumber