Indonesia Belum Ambil Sikap Terkait Pemerintahan Baru Suriah

Indonesia Belum Ambil Sikap Terkait Pemerintahan Baru Suriah

 

JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Roy Soemirat menyatakan bahwa Indonesia belum mengambil sikap resmi terkait pemerintahan baru Suriah yang saat ini dikuasai oleh kelompok Hayat Tahrir Al Sham (HTS).

Roy menjelaskan bahwa peralihan pemerintahan di Suriah masih dalam proses setelah berakhirnya konflik terbuka yang berkepanjangan.

"Itu kan tidak serta-merta semuanya selesai begitu saja. Kita juga tetap harus melihat bagaimana penerimaan dari seluruh masyarakat internasional dan seluruh stakeholder yang ada di Suriah mengenai perkembangan dinamika saat ini," ujarnya dalam konferensi pers di kantor Kemenlu RI, Jakarta Pusat, pada Senin (16/12/2024).

Dia menegaskan bahwa Indonesia akan terus aktif membahas isu-isu terkait Suriah, termasuk dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan tidak akan terburu-buru dalam memberikan pengakuan kepada pemerintahan baru Suriah.

"Karena untuk masyarakat internasional yang penting bukan itu, tapi bagaimana Suriah dapat kembali normal. Seluruh masyarakat dan stakeholder Suriah harus sepakat mengenai langkah ke depan sebagai sebuah negara," imbuh Roy.

Roy juga menekankan bahwa masih banyak resolusi Dewan Keamanan PBB yang perlu dijalankan terkait situasi di Suriah.

Sehingga kewajiban resolusi DK-PBB menjadi prioritas utama dalam konflik di Suriah.

"Jadi, tidak bisa dipandang sebelah mata kewajiban-kewajiban resolusi DK-PBB ini. Harus dilihat lagi nantinya bagaimana implementasi lebih lanjut," ujarnya.

Sebagai informasi, peralihan kekuasaan di Suriah dari rezim Bashar Al-Assad kepada kelompok pemberontak HTS, yang dipimpin oleh Abu Mohammed Al Julani, terjadi pada Minggu (8/12/2024).

Kelompok pemberontak berhasil menguasai dua kota besar, Aleppo dan Damaskus, sementara Assad dilaporkan melarikan diri ke Rusia.

Transisi kepemimpinan kini berada di tangan Julani dengan pemerintahan sementara hingga 1 Maret 2025, sebelum pemilihan kepala negara yang baru dilaksanakan.

Sumber