Indonesia, Proyek yang Terus Dibentuk
Mengapa, selalu ada begitu banyak orang mengeluh di Indonesia ini? Tentu banyak jawaban yang bisa diberikan, karena di Indonesia memang banyak permasalahan. Namun saya kuat menduga, bahwa banyaknya orang mengeluh, karena berpandangan bahwa Indonesia adalah bentuk yang sudah jadi. Atau dengan kata lain Indonesia dipahami sebagai proyek yang sudah selesai. Oleh karena itu, banyak orang berpikir bahwa mereka hanya tinggal menikmati saja.
Sesungguhnya Indonesia adalah proyek bersama yang terus dibentuk dan membentuk. Artinya tiap-tiap orang yang menjadi warga Indonesia punya andil untuk bisa membentuk Indonesia dan dibentuk oleh proyek Indonesia ini.
Maka dari itu slogan Bhinneka Tunggal Ika, adalah slogan yang mengandaikan bahwa Indonesia dibentuk dari berbagai unsur yang terkandung di dalamnya. Relasi antarunsur itu penuh ketegangan dan sekaligus berupaya untuk saling menyesuaikan diri. Maka dari itu ia menjadi dinamis. Sayangnya kebanyakanorang memahami slogan itu sebagai suatu pernyataan persatuan dan keharmonisan semata.
Slogan Bhinneka Tunggal Ika sesungguhnya adalah upaya untuk menenangkan diri, sekaligus upaya untuk mengambil jarak dari realitas yang sangat mengkhawatirkan. Karena realitas Indonesia baru yang lolos dari penjajahan itu begitu plural, membentang seluas nusantara, yang merupakan mosaik aneka warna dari etnis, ras, agama, golongan politik, dan tentu saja kepentingan. Hamparan mosaik itu tidak pernah bersatu sebelum. Bayangan tentang persatuan sebelumnya, hanya lah fatamorgana saja. Simak lah kisah kerajaan-kerajaan di nusantara itu, penuh konflik dan ketegangan, bahkan berdarah.
Jika kita mau merenungkan sejenak saja, maka akan tampak dinamika dan ketegangan dari unsur-unsur yang ada dalam Indonesia itu. Kadang-kadang gerakannya sentripental dan kadang-kadang sentrifugal. Kalau dirumuskan dengan rasa yang agak kasar, maka antar unsur dalam Indonesia ini terjadi saling tarik dan sekaligus saling tolak. Realitas nyatanya adalah selalu ada ketegangan Jawa dengan luar Jawa, Islam yang terus mencari titik tumpu hubungannya dengan negara, kecemburuan yang terbentuk di Indonesia barat dengan Indonesia Timur. Bahkan ada saling curiga antara umat Islam denganKristen yang terus dibiarkan oleh sekelompok elite.
Jadi, kuncinya adalah integrasi politik. Baik secara horizontal, mau pun vertikal. Integrasi politik bukan lah persatuan dan kesatuan, melainkan buah darimeningkatnya kesejahteraan warga, serta terpenuhi dan terlindungi hak asasi manusia. Namun, kini integrasi politik itu pula yang sedang demam tinggi. Penyebabnya adalah masih rendahnya kesejahteraan banyak orang, tetapi sejumput orang mengangkang sebagian besar kekayaan nasional. Serta begitu tipisnya perlindungan akan hak asasi manusia. Ketipisan perlindungan itu tampak begitu telanjang dalam peristiwa aparat polisi yang begitu mudah menembak seorang bocah di Semarang tanpa sebab yang jelas. Komandan si polisi itu bahkan berkelit sekedar untuk melindungi anak buahnya darikesalahan.
Contoh rapuhnya integrasi politik saat ini tampak di Papua. Di Papua semua hal bisa menjadi masalah. Bahkan persoalan kecil, bisa meruyak menjadi problem besar. Oleh karena itu tidak ada jalan lain untuk memperkuat integrasi politik di Papua, selain pemenuhan dan perlindungan HAM dan peningkatankesejahteraan. Dua hal itu hanya bisa dicapai dengan mengendalikan perilaku aparat di satu sisi, dan di sisi lain membenahi konstruksi bernegara. Sebab diPapua yang bermasalah adalah integrasi politiknya, bukan integrasi teritorial.
Selama ini kita hanya sibuk pada integrasi teritorialnya. Maka dari itu Indonesia bukanlah sekedar hamparan daratan dan lautan, melainkan harus dilihat sebagai proyek politik yang belum selesai. Indonesia terus bergerak dan masih terus berproses membentuk. Itu pun bisa gagal, jika pemimpinnya medioker.
Amiruddin Al RahabWakil Ketua Komnas HAM, 2020-2022Wakil Ketua Perkumpulan ELSAM, Jakarta.