Indonesia Re Ungkap Tantangan dan Peluang Industri Asuransi Reasuransi pada 2025
Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan reasuransi PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re memandang tahun 2025 sebagai tahun penuh tantangan sekaligus peluang bagi industri asuransi dan reasuransi di Indonesia.
Direktur Teknik Operasi Indonesia Re Delil Khairat menguraikan sejumlah poin penting terkait dinamika yang akan dihadapi industri serta strategi yang perlu diambil, termasuk implementasi regulasi baru hingga peluang dari asuransi wajib. Menurut Delil, Indonesia memiliki karakteristik unik di industri reasuransi global.
“Indonesia punya pemain reasuransi lokal terbanyak di dunia, yaitu delapan. Sebagian besar program reasuransi di Indonesia menggunakan skema proporsional, di mana premi, risiko, dan klaim dibagi secara proporsional antara perusahaan asuransi dan reasuransi lokal,” kata Delil kepada Bisnis, pada Rabu (11/12/2024).
Namun, Delil menjelaskan bahwa model reasuransi yang digunakan di Indonesia membawa risiko konsentrasi pada neraca perusahaan reasuransi lokal. Sebagian besar risiko yang dialihkan ke reasuransi luar negeri hanya mencakup risiko tingkat atas melalui program non-proporsional.
Kondisi ini membuat kualitas portofolio reasuransi lokal sangat bergantung pada kualitas portofolio asuransi langsung. Oleh karena itu, perusahaan reasuransi lokal harus memastikan bisnis asuransi langsung memiliki tarif yang memadai dan persyaratan yang prudent.
Selain itu, Delil juga menyoroti tekanan yang muncul dari penerapan IFRS 17 mulai 2025. “Pengelolaan risiko di industri asuransi harus lebih granular, lebih detail, dan lebih rigid,” katanya.
Dampaknya akan terasa pada kebutuhan kapital dan ekuitas perusahaan, menuntut pengelolaan data serta risiko yang lebih matang. Namun, Delil melihat ini sebagai peluang untuk pertumbuhan.
“Dengan adanya mandat UU P2SK, ada potensi besar dari asuransi wajib seperti third party liability (TPL) dan asuransi rumah tinggal,” imbuhnya.
Delil menyoroti potensi besar pada segmen asuransi kendaraan bermotor, yang saat ini menjadi lini bisnis terbesar kedua di industri. Menurutnya, penerapan asuransi wajib, meskipun hanya mencakup third party liability, dapat secara signifikan meningkatkan penetrasi bisnis asuransi.
Dia juga menekankan pentingnya kolaborasi ekosistem, seperti yang berhasil dilakukan di negara-negara lain, dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk perusahaan asuransi, bengkel, dealer, perbankan, hingga otoritas kepolisian.
Selain itu, Delil menggarisbawahi perlunya pendekatan strategis dalam mengembangkan skema asuransi ini. Menurutnya, industri harus memastikan adanya skema nasional yang kuat dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, sehingga dapat mendorong peningkatan volume bisnis secara otomatis.
Untuk segmen asuransi jiwa, Delil melihat potensi pertumbuhan yang lebih baik dibanding asuransi umum. “Penetrasi dan literasi asuransi jiwa lebih baik. Namun, ada tantangan besar dari klaim asuransi kesehatan pascaCovid-19,” katanya.