Industri Media Minta Pemerintah Atur Regulasi Perusahaan AI
JAKARTA, KOMPAS.com - Pelaku industri media massa mendorong pemerintah membuat regulasi untuk perusahaan penyedia layanan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Sebab, perusahaan AI saat ini masih leluasa mengambil keuntungan dari media massa tanpa memberikan kontribusi yang jelas.
Salah satunya mengeruk data dan informasi dari pemberitaan, untuk kepentingan data base mereka.
Chief Content Officer Kapanlagi Youniverse, Wenseslaus Manggut mengatakan, Indonesia belum memiliki regulasi yang komprehensif terkait perusahaan AI. Ia membandingkan situasi ini dengan Eropa yang sudah lebih maju dalam menerapkan regulasi melalui AI Act.
“Kalau di Eropa sudah ada AI Act yang mengatur perusahaan AI dari hulunya, termasuk dalam etika menyusun algoritma. Tapi di kita, regulasi seperti itu belum ada. Bahkan publisher right juga belum jelas jadi. Barang seperti ini memang sulit karena ekosistemnya belum tertata,” ujar Wens dalam sebuah diskusi, Senin (11/12/2024).
Wens pun menyinggung langkah Dewan Pers yang hendak menerbitkan panduan penggunaan AI di newsroom.
Namun, dia menilai aturan itu belum bersifat mengikat dan baru sebatas mengatur penggunaan AI untuk kerja-kerja jurnalistik.
“Panduan itu sifatnya masih panduan, belum regulasi. Isinya juga belum terlalu rinci, lebih ke arah do and don’ts. Kalau di kita, regulasi yang ada lebih banyak mengatur di hilir, sementara barangnya diproduksi di hulu,” katanya.
Sementara itu, CEO KG Media Andy Budiman berpandangan, saat ini perusahaan AI masih berlomba-lomba mendapatkan model terbaik, tak terkecuali untuk kerja-kerja jurnalistik. Kondisi ini membuat perusahaan AI terus berupaya mengambil konten-konten dari media massa.
“Sekarang perusahaan AI itu berlomba-lomba, masih berlomba-lomba untuk menghasilkan model yang paling cakep, model yang paling bagus. Nah, untuk dapetin model AI yang bagus, perusahaan AI ini butuh data, butuh konten, untuk men-training model AI mereka,” kata Andy.
Meski begitu, dia mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki landasan hukum yang cukup untuk mengatur perusahaan AI melalui Perpres Nomor 32 Tahun 2004 tentang layanan platform digital.
Namun, implementasi peraturan tersebut masih menghadapi tantangan besar.
“Jadi sebenarnya kita punya publisher right itu sudah cukup ya untuk meng-cover urusan AI, kalau saya baca dari definisi ini. Tinggal kemudian bagaimana meng-enforce,” kata Andy.
“Tapi bagaimana perusahaan AI sendiri, seperti Open AI? menurut saya, kalau interpretasi saya dari perpres publisher right, ini harusnya berlaku untuk mereka. Tinggal kita gimana untuk meng-enforce mereka, itu artinya ada PR dari regulator,” sambungnya.