Industri Tekstil dan Farmasi Dihantui Impor China Imbas Kebijakan Trump
Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom mewanti-wanti dampak dari kebijakan perdagangan Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang akan mempengaruhi industri manufaktur tekstil dan farmasi.
Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal mengatakan kebijakan pembatasan perdagangan yang dilakukan Trump terhadap China sejatinya untuk mendorong industri domestik AS, kendati dampaknya akan dirasakan secara global, termasuk Indonesia.
"Khusus ke tekstil yang perlu kita perhatikan juga adalah dampak dari kebijakan Trump itu bukan hanya hambatan ekspor, tapi ketika China dijadikan sasaran utama untuk tidak boleh masuk, maka dia akan mencari pasar alternatif, apalagi kondisi sekarang sudah oversupply," kata Faisal dalam Outlook Sektor Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Tahun 2025, Selasa (17/12/2024).
Faisal menilai Indonesia dengan instrumen trade measures yang minim maka tak heran menjadi sasaran pasar dari pasokan produk manufaktur China yang berlebih. Terlebih, RI saat ini memiliki kebijakan relaksasi impor untuk sejumlah komoditas lewat aturan Permendag 8/2024.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Perindustrian Indonesia memiliki 207 jenis instrumen ini untuk menahan laju impor masuk ke pasar domestik, sementara anggota WTO lain seperti RRT dan Amerika berturut-turut memiliki 1.569 dan 4.597 jenis instrumen trade measures.
"Kombinasi dari masih lemahnya konsumsi domestik dan potensi kebijakan proteksionis AS berpotensi semakin mendorong peningkatan impor barang-barang murah, termasuk tekstil dan produk tekstil, khususnya dari China," ujarnya.
Untuk diketahui, kebijakan ekonomi perdagangan yang diberlakukan Trump yaitu berupa pemangkasan pajak operasional produksi industri hingga tarif impor yang dinaikkan 10%, khusus China naik menjadi 60%, tarif impor khusus untuk Meksiko, serta penggunaan anggaran pemerintah.
"Ini ke depan berarti ada potensi, terutama kita prediksikan di semester kedua 2025, itu sudah mulai kelihatan efek dari pada, atau sudah mulai dijalankan kebijakan-kebijakan Trumpnya, karena kami prediksikan di semester pertama ini masih harus ada proses yang diselesaikan dengan Senat," tuturnya.
Lebih lanjut, kebijakan ekonomi Trump juga berpotensi akan memperkuat nilai tukar US Dolar terhadap Rupiah, yang akan meningkatkan biaya impor, sehingga menekan industri manufaktur yang memiliki ketergantungan impor tinggi, seperti industri farmasi.
"Masuk ke moneter itu dalam kondisi di mana harus modal naik masuk ke Amerika karena kebijakan Trump maka ada potensi nanti kelemahan dan sisi nilai tukar juga, kalau ingin ide intervensi lebih kuat. Nah kalau grup yang lemah berarti industri-industri yang punya ketergantungan impor yang besar seperti farmasi akan terkena dampak," pungkasnya.