Ini Kata Warga Gaza, Tepi Barat, dan Lebanon soal Pilpres Amerika 2024, Pilih Trump atau Harris?
GAZA, KOMPAS.com - Pilpres Amerika 2024 akan dihelat pada Selasa (5/11/2024) waktu setempat atau Rabu (6/11/2024) pagi waktu Indonesia.
Di sana, banyak warga Arab dan Muslim Amerika, serta kaum progresif pro-Palestina lainnya, menganggap pemerintahan Presiden Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris, yang menjadi calon presiden dari Partai Demokrat, ikut bertanggung jawab atas perang Israel di Gaza karena tidak melakukan lebih banyak hal untuk menghentikan pertumpahan darah.
Banyak dari mereka yang mengaku tidak dapat memilih kandidat tersebut dalam Pilpres AS 2024.
Tapi di sisi lain, capres dari Partai Republik, Donald Trump, juga secara jelas berada di kubu pro-Israel.
Hal ini telah menimbulkan perdebatan sengit mengenai tindakan terbaik apa yang harus dilakukan oleh mereka di AS yang ingin Israel dipaksa untuk menghentikan serangan terhadap Palestina dan Lebanon.
Lantas, apa kata warga Gaza, Tepi Barat, dan Lebanon mengenai Pilpres AS 2024? Mereka adalah orang-orang yang terdampak langsung oleh operasi militer Israel yang didukung oleh Amerika.
Ammar Joudeh, dari Jabalia, menyebut jika Trump menang dalam Pilpres Amerika, itu menjadi bencana bagi warga Palestina.
"Kepresidenan Trump adalah bencana bagi perjuangan Palestina. Dia mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan normalisasi dengan negara-negara Arab meningkat. Jika Trump menang, kami bisa jadi akan dipindahkan ke Semenanjung Sinai (di Mesir). Israel telah memberlakukan sebagian besar rencana Trump untuk menggusur kami dari Gaza utara. Jika Trump menjabat lagi, dia akan menyelesaikan rencana tersebut," ucapnya, sebagaimana dilansir Al Jazeera pada Senin (4/11/2024).
Ia kemudian menceritakan kondisi Gaza sekarang setelah terus dihujani serangan Israel sejak Oktober 2023.
“Lebih dari satu tahun telah berlalu, dan kami masih terjebak. Tidak ada pekerjaan, tidak ada air, tidak ada tempat yang aman, tidak ada makanan. Kesedihan kami sangat mendalam,” katanya.
Tahani Arafat, dari Kota Gaza, mengaku pesimistis dengan penyelenggaraan Pilpres AS 2024.
“Tidak ada ruang untuk optimisme, karena diskusi saat ini hanya tentang mengakhiri konflik Lebanon, seolah-olah kami tidak ada. Namun saya berharap Trump dapat mengakhiri perang atau menemukan solusi yang cepat," jelasnya.
Menurut Tahani, konflik ini dimulai di bawah pemerintahan Biden dan telah berkecamuk selama delapan bulan tanpa adanya intervensi.
"Jika AS benar-benar menekan untuk menghentikannya, konflik ini akan berakhir lebih awal. Sebaliknya, kita menanggung perang, pemusnahan di depan mata, dan Israel menerima dukungan militer yang tak tergoyahkan. Partai Demokrat berbicara tentang perdamaian tetapi nihil. Masa jabatan Biden adalah yang terburuk bagi kami. Mungkin Trump akan lebih tegas," ucapnya.
Namun, ia berucap, pada dasarnya tidak ada presiden Amerika yang akan mendukung warga Gaza.
Imad al-Dayah, dari kamp pengungsi Shati, meminta kepada rakyat AS untuk memilih capres yang mendukung segera berakhirnya perang Gaza.
“Harapan terbesar kami di Gaza adalah agar perang ini berakhir. Kepada rakyat Amerika, saya akan mengatakan, dukunglah untuk segera mengakhiri perang ini, siapa pun yang menang dalam pemilu nanti. Masa jabatan Trump adalah bencana bagi kami. Saya berharap dia tidak akan pernah kembali, karena dia hanya akan memenuhi tuntutan Israel," beber Dayah.
"Sungguh tragis bahwa menghentikan genosida dan mengakhiri perang yang telah berlangsung selama setahun di Gaza bergantung pada perubahan politik. Bagi dunia, penderitaan kami tidak terlihat, tetapi setiap hari dipenuhi dengan darah, air mata, dan pemakaman. Ini adalah sebuah kebenaran yang harus diingat oleh semua orang," tambahnya.
Khaled Omran, dari el-Bireh, menegaskan tidak akan mendukung siapa pun dalam Pilpres AS 2024 ini.
"Jika saya memiliki hak untuk memilih, saya tidak akan memilih siapa pun. Pilihannya di sini adalah antara yang buruk dan yang lebih buruk. Apapun hasilnya, presiden berikutnya akan mendukung Israel," ucapnya.
Senada, Wafaa Abdel Rahman, dari Ramallah, menyebut kedua kandidat dalam Pilpres AS adalah pilihan buruk bagi warga Palestina.
“Sebagai orang Palestina, kedua pilihan itu lebih buruk dari satu sama lain," ucapnya kepada Al Jazeera.
Menurutnya, baik Trump maupun Harris yang terpilih dalam Pilpres AS, serangan Israel ke Gaza akan terus berlanjut dan mematikan.
“Jika Trump menang, saya percaya perang akan diselesaikan dengan cepat dan lebih kejam. Kebijakan Trump sudah jelas dan diketahui oleh kami sebagai warga Palestina. Namun, Harris akan menyelesaikan apa yang telah dimulai oleh penggantinya dan mengambil posisi yang sama dengan partainya. Ini berarti kami akan tetap berada dalam perang jangka panjang tanpa resolusi. Dalam kedua kasus tersebut, hasilnya adalah kematian bagi Gaza. Namun, dalam kasus kedua, akan ada kematian yang lambat dan lebih menyakitkan," kata Rahman.
Ia berpendapat, jika Trump menang Pilpres AS 2024, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akan lebih kuat dan dapat memaksakan kehendak."Netanyahu tahu betul bahwa dia memiliki lampu hijau untuk melenyapkan Gaza (jika Trump menang)," ujar warga yang tadinya bekerja di Gaza dan sebagian keluarganya tinggal di Gaza itu.
Joy Slim, dari Beirut, juga memberikan pandangan serupa bahwa dua kandidat dalam Pilpres AS adalah pilihan yang sama-sama buruk kaitannya dengan penghentian konflik di Timur Tengah.
“Saya pikir akhir-akhir ini, kita sebagai orang Arab, sebagai orang Lebanon atau Palestina, dihadapkan pada pilihan antara yang buruk dan yang lebih buruk. Hal itu selalu terjadi dalam hal kebijakan Barat (di Timur Tengah) dan khususnya, kebijakan Amerika," jelasnya.
Meski begitu, jika harus memilih, ia akan mempertimbangkan Trump alih-alih Kamala Harris.
"Secara pribadi, sebelum perang, saya sangat kritis terhadap Donald Trump dan apa yang diwakilinya.. Namun setelah tahun ini, setelah apa yang telah dilakukan oleh pemerintahan Biden dengan semua dukungan tanpa syarat kepada Israel, saya berpikir bahwa mungkin lebih baik jika Trump yang menang," kata perempuan itu.
"Trump masih mewakili harapan untuk menghentikan perang (di Gaza dan Lebanon). Dia mungkin akan menarik dukungan penuh AS untuk Israel dan saya rasa dia lebih berpikir sebagai seorang pebisnis dan dia ingin menghemat uang (AS). Saya pikir itu sudah cukup bagi saya sekarang," pendapatnya.
Sedangkan, Sharif Khailee, dari Beirut, melihat kebijakan AS untuk mendukung Israel tidak akan banyak berubah siapa pun presidennya nanti.
“Apa yang saya percayai secara pribadi adalah bahwa kebijakan luar negeri Amerika tidak akan pernah berubah, dan apa pun yang terjadi, mereka akan mendukung Israel. Trump mungkin akan melakukan lebih banyak hal secara finansial dan Harris secara militer, namun pada akhirnya, kebijakan luar negeri Amerika tidak akan berubah," jelasnya.
Khailee menyadari, warga Lebanon lain mungkin punya pendapat berbeda soal siapa yang lebih baik menjabat sebagai presiden baru AS. Beberapa orang, kata dia, bisa jadi mengatakan Harris akan melanjutkan perang dan beberapa lainnya menyebut Trump mungkin akan mencoba untuk mengakhirinya.
"Pada akhirnya, Anda dapat mengatakan bahwa Israel adalah miniatur kecil AS di Timur Tengah dan AS tidak akan menyingkirkannya. Itu adalah satu-satunya cara mereka untuk berada di Timur Tengah, tanpa benar-benar berada di sini," ucap Khailee.