Integritas Peradilan: Perlunya Evaluasi Peran PNS di Mahkamah Agung
“It is the spirit and not the form of law that keeps justice alive.” – Earl Warren (1954)
MAHKAMAH Agung Republik Indonesia (MA) memiliki visi sangat mulia mewujudkan peradilan yang agung. Visi ini bukan sekadar slogan, melainkan komitmen untuk menjamin tegaknya keadilan di seluruh pelosok negeri.
Namun, untuk mencapai visi tersebut, MA dihadapkan pada berbagai tantangan, terutama terkait struktur kepegawaiannya.
Kehadiran Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam lembaga peradilan, terutama di posisi-posisi strategis, menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai dampaknya terhadap independensi hakim. Pada gilirannya, terhadap integritas sistem peradilan di Indonesia.
Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi bagaimana struktur kepegawaian ini dapat memengaruhi pencapaian visi MA.
Sejak 1990-an, Mahkamah Agung telah melibatkan banyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) non-hakim dalam berbagai posisi strategis. PNS diharapkan dapat memperlancar proses administratif dan operasional di lembaga peradilan.
Keberadaan mereka dimaksudkan untuk mendukung efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan publik, yang merupakan salah satu tujuan utama reformasi birokrasi.
Namun, terdapat risiko yang tidak bisa diabaikan ketika PNS, yang tunduk pada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) serta Badan Kepegawaian Nasional (BKN), menempati posisi strategis di MA.
Kedua lembaga ini merupakan bagian dari eksekutif yang seharusnya tidak dapat ikut campur dalam urusan yudikatif.
Hal ini dapat membuka celah bagi intervensi eksternal yang mengancam independensi hakim dalam memutuskan perkara.
Sebagai contoh, dalam beberapa kasus, intervensi dari pihak luar telah mengganggu proses peradilan yang seharusnya bebas dari pengaruh politik.
Intervensi eksternal yang mungkin terjadi akibat pengisian jabatan strategis oleh PNS dapat mengancam independensi hakim.
Dalam beberapa kasus, terdapat indikasi bahwa tekanan dari pihak luar, baik dari pemerintah maupun aktor politik, telah mengganggu proses peradilan yang seharusnya bebas dari pengaruh tersebut.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan mengenai seberapa jauh keberadaan PNS di posisi strategis dapat memengaruhi integritas dan objektivitas keputusan yudisial.
Dengan demikian, penting untuk mengevaluasi struktur kepegawaian di MA dan memastikan jabatan-jabatan strategis diisi hakim yang memiliki pemahaman mendalam tentang kekuasaan kehakiman.
Hakim kompeten lebih mampu membuat keputusan yang bebas dari pengaruh luar. Jika posisi-posisi penting diisi oleh PNS, maka bukan tidak mungkin akan terjadi konflik kepentingan yang merugikan integritas peradilan.
Independensi hakim merupakan salah satu pilar utama dalam sistem peradilan. Sistem peradilan independen akan menghasilkan keputusan adil, objektif, dan bebas dari tekanan politik maupun kepentingan pribadi.
Jika jabatan-jabatan strategis di MA diisi oleh PNS, maka keputusan-keputusan yudisial yang diambil oleh hakim bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal.
Dengan kata lain, proses peradilan yang seharusnya bebas dan adil bisa terganggu oleh kepentingan birokrasi yang berpotensi merugikan keadilan.
Jabatan-jabatan strategis di MA idealnya diisi hakim yang memiliki pemahaman mendalam tentang kekuasaan kehakiman dan pengalaman yang memadai.
Hakim kompeten lebih mampu membuat keputusan yang bebas dari pengaruh luar. Jika posisi-posisi penting diisi oleh PNS, maka bukan tidak mungkin akan terjadi konflik kepentingan yang merugikan integritas peradilan.
Kriteria yang seharusnya dimiliki oleh hakim yang mengisi jabatan strategis meliputi integritas, pengetahuan hukum mendalam, dan pengalaman relevan dalam dunia peradilan.
Kita dapat mengambil pelajaran dari institusi lain yang telah sukses menjaga independensi mereka. Misalnya, dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI), PNS hanya menempati posisi administratif, sementara keputusan strategis diambil oleh anggota TNI yang memiliki kompetensi di bidangnya.
Pasal 46 Undang-Undang TNI dengan tegas melarang PNS terlibat dalam pengambilan keputusan strategis, menunjukkan keseriusan institusi tersebut dalam menjaga jarak antara fungsi administratif dan pengambilan keputusan inti.
Hal ini membuktikan bahwa pemisahan tanggung jawab antara PNS dan pengambil keputusan sangat penting untuk menjaga integritas lembaga.
Demikian pula di Kejaksaan Agung, PNS hanya diizinkan berperan sebagai tenaga ahli dan administratif. Jabatan-jabatan utama dipegang oleh jaksa yang memiliki pemahaman mendalam tentang hukum.
Pendekatan ini memastikan bahwa keputusan-keputusan penting diambil oleh mereka yang memiliki komitmen terhadap integritas peradilan. Dengan demikian, tidak ada pengaruh dari pihak luar yang dapat menggoyahkan integritas sistem peradilan.
Dalam konteks lebih luas, kita juga dapat melihat bagaimana Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengelola kepegawaian mereka. Kedua lembaga ini tidak menggunakan PNS dalam struktur kepegawaiannya.
Pegawai di BI dan OJK direkrut secara mandiri, memberikan fleksibilitas dalam manajemen sumber daya manusia yang memungkinkan kedua lembaga untuk fokus pada misi utama mereka.
Status pegawai BI dan OJK sebagai pegawai non-PNS memungkinkan mereka bekerja tanpa terpengaruh dinamika politik atau administrasi pemerintahan.
Ini adalah contoh tentang bagaimana independensi dalam struktur kepegawaian dapat berkontribusi pada efektivitas lembaga.
Mengingat berbagai contoh tersebut, jelas bahwa Mahkamah Agung perlu menata ulang struktur kepegawaiannya.
Pengisian jabatan strategis di MA seharusnya dilakukan secara selektif dengan melibatkan hakim kompeten, sementara PNS dibatasi pada posisi administratif yang tidak berpengaruh langsung terhadap proses pengambilan keputusan yudisial.
Langkah ini akan membantu MA menjaga keseimbangan antara efisiensi administratif dan independensi peradilan.
Reformasi kepegawaian juga harus mencakup pemisahan proses rekrutmen hakim dari sistem rekrutmen PNS.
Hal ini penting agar hakim dipilih berdasarkan kriteria integritas dan profesionalisme yang tinggi, tanpa campur tangan kepentingan birokrasi.
Proses rekrutmen yang transparan dan akuntabel akan memastikan para hakim yang terpilih benar-benar memiliki komitmen terhadap keadilan dan mampu menjalankan tugasnya dengan independen.
Untuk mencapai hal ini, MA bisa menerapkan sistem seleksi yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan penilaian calon hakim.
Selain itu, Mahkamah Agung perlu secara berkala melakukan evaluasi terhadap struktur kepegawaiannya untuk memastikan bahwa tidak ada pengaruh eksternal yang dapat melemahkan independensi peradilan.
Evaluasi ini penting untuk mendeteksi dan mencegah potensi intervensi dari pihak luar yang dapat mengganggu integritas keputusan peradilan.
Proses evaluasi ini bisa dilakukan setiap tahun, dengan melibatkan tim independen yang memiliki kompetensi di bidang hukum dan manajemen.
Mengoptimalkan struktur kepegawaian Mahkamah Agung bukanlah sekadar reformasi internal, melainkan juga langkah strategis untuk mewujudkan cita-cita peradilan yang agung dan adil bagi seluruh masyarakat.
Dengan menempatkan hakim yang kompeten di posisi strategis, MA dapat menegakkan hukum dengan lebih baik dan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Menurut survei terakhir, kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan di Indonesia masih berada di angka rendah, sehingga langkah-langkah ini sangat diperlukan untuk memulihkan kepercayaan tersebut.
Terakhir, penting untuk dicatat bahwa langkah-langkah ini harus dilakukan secara berkesinambungan. Mahkamah Agung harus terus memantau dan mengevaluasi dampak dari reformasi kepegawaian yang diambil.
Ini akan membantu MA untuk memastikan bahwa mereka tetap berada di jalur yang benar menuju visi peradilan yang agung dan menciptakan sistem peradilan yang tidak hanya efisien, tetapi juga adil dan merata untuk seluruh masyarakat.