Iran dan Israel, dari Sekutu Jadi Musuh Bebuyutan
IRAN dan Israel terjebak dalam ketegangan yang semakin meningkat dan mencemaskan. Sabtu (26/10/2024) lalu, Israel mengerahkan 100 jet tempur untuk menggempur sejumlah pangkalan militer Iran. Serangan itu sebagai balasan atas aksi Iran yang meluncurkan sekitar 200 rudal balistik ke Israel pada 1 Oktober.
Serangan pada Sabtu itu merupakan putaran kedua dari aksi saling serang secara terbuka dan langsung antara Israel dan Iran dalam beberapa bulan terakhir. Pada 14 April lalu, Iran meluncurkan sekitar 300 drone dan rudal ke wilayah Israel. Serangan terbuka dan langsung semacam itu belum pernah ada presedennya. Israel membalas serangan itu dengan menembakan rudal ke pangkalan militer Iran di kota Isfahan pada 19 April.
Sebelum terjadi serangan secara terbuka semacam itu, kedua negara selama beberapa dekade hanya terlibat dalam perang proksi.
Sejak pecah perang di Jalur Gaza antara Hamas dan Israel setahun lalu, Iran menjadi salah satu negara yang paling vokal menentang pengeboman Israel di Gaza. Kebijakan luar negeri Iran memang anti-Israel.
Masalah Palestina telah menjadi pusat konflik Iran dan Israel selama beberapa dekade. Pemimpin Iran saat ini, Ayatollah Ali Khamenei, yang memegang keputusan akhir dalam segala hal, tetap bersikap antagonis terhadap Israel seperti para pendahulunya. Ali Khamenei menyebut Israel sebagai “tumor kanker” yang “pasti akan dicabut dan dihancurkan”.
Namun hubungan Iran - Israel tidak selalu tegang. Kedua negara itu pernah bersekutu. Iran pernah menjadi rumah bagi komunitas Yahudi terbesar kedua di luar Israel. Pada puncaknya pernah ada sekitar 100 ribu orang Yahudi di Iran. Namun, setelah Revolusi Islam tahun 1979, banyak orang Yahudi meninggalkan negara itu. Ada yang memperkirakan, saat ini hanya tersisa sekitar 20.000 orang Yahudi di Iran.
Saat Iran berada di bawah Dinasti Pahlavi, yang memerintah dari tahun 1925 hingga digulingkan pada revolusi tahun 1979, hubungan negara itu dengan Israel sama sekali tidak bermusuhan.
Iran merupakan negara mayoritas muslim kedua yang mengakui Israel setelah Israel didirikan tahun 1948. Negara mayoritas muslim pertama yang mengakui Israel adalah Turki.
Iran menjadi salah satu dari 11 anggota komite khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dibentuk tahun 1947 untuk merancang solusi bagi Palestina setelah kendali Inggris atas wilayah itu berakhir. Iran termasuk di antara tiga negara yang menentang rencana pembagian Palestina oleh PBB, karena khawatir pembagian itu akan memicu kekerasan berkepanjangan di wilayah tersebut.
“Iran, bersama India dan Yugoslavia, mengajukan sebuah rencana alternatif, yaitu solusi federatif dengan mempertahankan Palestina sebagai satu negara dengan satu parlemen tetapi dibagi menjadi wilayah Arab dan Yahudi,” kata sejarawan Universitas Oxford, Eirik Kvindesland, sebagaimana dikutip Al Jazeera.
“Itu adalah kompromi Iran untuk mencoba menjaga hubungan positif dengan negara-negara Barat yang pro-zionis dan gerakan zionis itu sendiri, dan juga dengan negara-negara tetangga Arab dan muslim,” lanjut Kvindesland.
Namun dua tahun setelah Israel berhasil merebut lebih banyak wilayah ketimbang yang disetujui PBB, setelah dimulainya Perang Arab-Israel pertama tahun 1948, Iran menjadi negara mayoritas muslim kedua yang secara resmi mengakui Israel. Saat itu, Iran berada di bawah kepemimpinan Mohammad Reza Pahlavi, raja atau syah kedua Pahlavi.
Perlu dicatat bahwa menjelang berdirinya negara Israel tahun 1948, lebih dari 700.000 warga Palestina diusir dari rumah-rumah mereka oleh milisi Zionis. Orang Palestina menyebut pemindahan paksa dan perampasan harta milik mereka sebagai nakba, yang berarti bencana dalam bahasa Arab.
Menurut Kvindesland, saat nakba terjadi, langkah Teheran berfokus pada bagaimana mengelola aset-aset Iran di Palestina, karena sekitar 2.000 warga Iran tinggal di sana dan properti mereka turut disita tentara Israel selama perang.
Namun langkah Iran itu terjadi dalam konteks apa yang disebut sebagai “doktrin pinggiran” Israel.
“Untuk mengakhiri isolasinya di Timur Tengah, Perdana Menteri Israel saat itu, David Ben-Gurion, menjalin hubungan dengan negara-negara non-Arab di ‘pinggiran’ Timur Tengah, yang kemudian dikenal sebagai doktrin pinggiran. Termasuk dalam cakupan itu adalah Ethiopia, tetapi saat itu Iran dan Turki merupakan contoh paling berhasil dari pendekatan tersebut,” kata Kvindesland kepada Al Jazeera.
Israel menganggap Iran sebagai sekutu saat melawan negara-negara Arab. Sementara itu, Iran menyambut baik Israel yang didukung AS sebagai penyeimbang terhadap negara-negara Arab di kawasan itu.
Namun begitu Mohammad Mosaddegh menjadi perdana menteri Iran tahun 1951, semuanya berubah. Mosaddegh memelopori nasionalisasi industri minyak Iran, yang sebelumnya dimonopoli Inggris. Mosaddegh memutuskan hubungan dengan Israel, yang menurutnya hanya melayani kepentingan Barat di kawasan tersebut.
Menurut Kvindesland, upaya Mosaddegh dan organisasi politik Front Nasional yang dipimpinnya untuk menasionalisasi minyak, mengusir kekuasaan kolonial Inggris, dan melemahkan monarki merupakan narasi utama Iran saat itu. Masih menurut dia, soal hubungan Iran dengan Israel hanya “kerusakan tambahan” (collateral damage).
“Ada mobilisasi anti-Zionis di Iran. Ada (ulama Syiah berpengaruh) Navvab Safavi, salah satu tokoh terkenal yang melakukan propaganda gigih menentang zionisme dan pendirian Israel. Namun bagi Mosaddegh, tujuan utamanya adalah mendapatkan dukungan dari negara-negara Arab di sekitarnya untuk memerangi kendali Inggris atas industri minyak,” ujar Kvindesland kepada Al Jazeera.
Zionisme muncul sebagai ideologi politik pada akhir abad ke-19 yang menyerukan pembentukan tanah air bagi orang-orang Yahudi yang menghadapi persekusi di Eropa.
Namun situasi kembali berubah secara dramatis ketika pemerintahan Mosaddegh digulingkan dalam kudeta yang diorganisir badan intelijen Inggris dan Amerika Serikat tahun 1953. Kudeta itu mengangkat kembali Syah Pahlavi yang menjadi sekutu setia Barat di Timur Tengah.
Israel kemudian mendirikan kedutaan de facto di Teheran, dan akhirnya mereka bertukar duta besar pada tahun 1970-an.
Hubungan perdagangan tumbuh. Israel melatih para ahli pertanian Iran, memberikan pengetahuan teknis dan membantu membangun dan melatih angkatan bersenjata Iran. Kedua negara memiliki kerja sama militer dan keamanan yang luas, tetapi sebagian besar dirahasiakan agar tidak memprovokasi negara-negara Arab di kawasan.
Sebagai imbalan, Iran segera menjadi penyedia minyak utama bagi Israel, dengan keduanya membangun jaringan pipa yang bertujuan mengirim minyak Iran ke Israel dan kemudian Eropa.
“Israel lebih membutuhkan Iran ketimbang Iran membutuhkan Israel. Israel selalu menjadi pihak yang proaktif, namun Syah juga menginginkan cara untuk meningkatkan hubungan (Iran) dengan AS, dan pada saat itu Israel dipandang sebagai cara yang baik untuk mencapai tujuan tersebut,” kata Kvindesland.
“Ada juga prospek pengembangan sistem keamanan, dan SAVAK (dinas keamanan dan intelijen Iran) sebagian dilatih Mossad, badan intelijen Israel. Iran sebenarnya bisa mendapatkan hal-hal tersebut dari sumber lain, tetapi Israel ingin menyediakannya karena membutuhkan mitra di Timur Tengah, yang umumnya bersikap anti-Zionis dan anti-Israel."
Dia menambahkan, pertimbangan Shah terutama didorong oleh kebutuhan akan aliansi, keamanan dan perdagangan, dan “tidak menunjukkan kepedulian terhadap Palestina dalam hubungannya dengan Israel.”
Tahun 1979, Syah digulingkan dalam sebuah revolusi, dan lahirlah Republik Islam Iran yang baru.
Ayatollah Ruhollah Khomeini, pemimpin revolusi, memperkenalkan pandangan dunia baru yang sebagian besar memperjuangkan Islam dan menyerukan perlawanan terhadap kekuatan dunia (AS) yang “arogan” dan sekutu regionalnya (Israel), yang menindas negara lain – termasuk Palestina – demi kepentingan mereka sendiri. Israel kemudian dicap sebagai sebagai “Setan Kecil” dan AS sebagai “Setan Besar".
Salah satu ideologi utama rezim baru itu adalah menentang Israel. Iran pasca Revolusi Islam tidak lagi mengakui eksistensi Israel dan berupaya melenyapkannya. Iran kemudian membatalkan semua kesepakan sebelumnya dengan Israel. Teheran memutuskan semua hubungan dengan Israel, kedutaan Israel di Teheran diubah menjadi kedutaan Palestina.
Khomeini juga menyatakan bahwa hari Jumat terakhir pada Ramadhan sebagai hari Quds, dan sejak itu demonstrasi besar-besaran diadakan di seluruh Iran pada hari Quds untuk mendukung warga Palestina. Yerusalem dikenal sebagai al-Quds dalam bahasa Arab.
Iran mengadopsi retorika yang semakin keras terhadap Israel dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara Arab di kawasan, atau setidaknya dari warganya sendiri. Rezim Iran sangat ingin memperluas pengaruh di kawasan Timur Tengah.
Ketika Israel mengirim pasukan ke Lebanon selatan tahun 1982 untuk mengintervensi perang saudara di negara itu, Khomeini mengirim Garda Revolusi Iran ke ibu kota Lebanon, Beirut, untuk mendukung milisi Syiah setempat yang dikenal dengan nama Hizbullah. Milisi Hizbullah, yang tumbuh dari dukungan Iran itu, saat ini dianggap sebagai proksi langsung Iran di Lebanon.
Trita Parsi, wakil presiden eksekutif Quincy Institute for Responsible Statecraft, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Khomeini berusaha untuk tidak menganggap masalah Palestina sebagai perjuangan kaum nasionalis Arab. Pemimpin Iran itu, menurut Parsi, berusaha mengubah penggaran masalah itu sebagai perjuangan Islam agar Iran tidak hanya bisa mendukung perjuangan Palestina, tetapi juga memimpin perjuangan tersebut.
“Untuk mengatasi perpecahan Arab-Persia dan perpecahan Sunni-Syiah, Iran mengambil posisi yang jauh lebih agresif dalam masalah Palestina demi menunjukkan kredibilitas kepemimpinannya di dunia Islam dan menempatkan rezim Arab yang bersekutu dengan Amerika Serikat dalam posisi defensif," kata Parsi.
Pemimpin Iran saat ini, Ayatollah Ali Khamenei, tetap bersikap antagonis terhadap Israel seperti para pendahulunya. Ali Khamenei menyebut Israel sebagai “tumor kanker” yang “pasti akan dicabut dan dihancurkan”.
Sementara itu Israel menganggap Iran sebagai ancaman nyata sebagaimana dibuktikan oleh retorika Teheran, pembentukan kekuatan proksi di kawasan termasuk kelompok militan Syiah Lebanon Hizbullah yang bersumpah untuk menghancurkan Israel, dan pendanaan serta persenjataannya terhadap kelompok-kelompok Palestina termasuk Hamas.