Ironi Ketiadaan Anggaran Tunjangan Dosen

Ironi Ketiadaan Anggaran Tunjangan Dosen

Informasi tidak adanya alokasi anggaran dalam pagu Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek) untuk tunjangan profesi dan tunjangan kinerja (tukin) dosen pada 2025 menjadi sebuah ironi. Kondisi ini dinilai sebagai bentuk lemahnya komitmen pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto, dalam memuliakan profesi dosen dan membangun pendidikan tinggi yang berkualitas.

Apabila pemerintah menyebutkan kondisi anggaran negara menjadi alasan utama tidak dianggarkannya tunjangan tersebut, tentu saja alasan ini dinilai tidak cukup bijak, mengingat dosen merupakan garda terdepan dalam mencetak sumber daya manusia unggul yang menjadi fondasi utama pembangunan bangsa. Ketiadaan tunjangan tersebut dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap motivasi dan profesionalisme dosen dalam menjalankan tugasnya.

Perlu dicatat bahwa tunjangan profesi dosen merupakan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, terutama Pasal 51 yang menyatakan bahwa pemerintah wajib memberikan penghargaan dalam bentuk tunjangan kepada dosen yang telah memiliki sertifikasi. Hal ini juga dikuatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 40, yang mengatur hak tenaga pendidik untuk memperoleh penghasilan yang memadai serta jaminan kesejahteraan. Keputusan untuk tidak menganggarkan tunjangan ini secara langsung bertentangan dengan semangat dan amanat hukum tersebut.

Menurut teori Hierarki Kebutuhan Maslow (Motivation and Personality, 1954), kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri merupakan faktor penting dalam memotivasi individu. Tidak dipenuhinya tunjangan profesi dan tukin yang tidak dianggarkan pada APBN 2025 merupakan bentuk keniscayaan bagi dosen sebagai bentuk kurang dihargainya sebagai profesi yang terhormat, sehingga potensi mereka untuk mencapai aktualisasi diri dalam pekerjaan menjadi terhambat. Hal ini sejalan dengan teori Human Capital oleh Gary Becker (Human Capital A Theoretical and Empirical Analysis, with Special Reference to Education, 1964), yang menekankan bahwa investasi pada tenaga kerja, termasuk melalui kesejahteraan finansial, adalah kunci untuk meningkatkan produktivitas dan inovasi dalam sebuah sistem.

Selain itu, teori Equity Theory oleh J. Stacy Adams (Toward an Understanding of Inequity, 1963) juga relevan untuk menjelaskan dampak keputusan ini. Adams berpendapat bahwa ketidakadilan dalam penghargaan dapat menyebabkan penurunan motivasi dan kinerja individu. Dalam konteks ini, ketiadaan tunjangan profesi dosen yang sesuai dapat menciptakan ketidakpuasan yang berdampak negatif pada kinerja dosen dan kualitas pendidikan tinggi.

Keputusan ini juga mencerminkan lemahnya kesungguhan pemerintah dalam memenuhi janji-janji kampanye Presiden Prabowo yang sebelumnya menegaskan pentingnya kesejahteraan tenaga pendidik. Tidak dianggarkannya tunjangan profesi dan tukin bagi dosen menunjukkan bahwa upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi belum menjadi prioritas utama. Hal ini berpotensi menghambat upaya reformasi pendidikan yang selama ini didengungkan.

Sebagai tulang punggung sistem pendidikan tinggi, dosen memiliki tanggung jawab besar dalam mencetak generasi muda yang berdaya saing global. Tanpa dukungan finansial yang memadai, sulit bagi para dosen untuk meningkatkan kapasitasnya, baik dalam pengajaran maupun penelitian. Situasi ini dapat memperburuk kesenjangan antara visi pendidikan tinggi yang ideal dengan realitas di lapangan.

Minimnya penghargaan terhadap profesi dosen juga memperlihatkan ketidakseriusan pemerintah dalam menjadikan pendidikan sebagai prioritas pembangunan nasional. Di banyak negara maju, dosen diposisikan sebagai salah satu profesi yang paling dihormati dan diberi insentif yang memadai. Pemerintah seharusnya belajar dari negara-negara tersebut untuk menjadikan kesejahteraan dosen sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan pendidikan.

Kondisi ini juga mengundang pertanyaan mengenai pengelolaan anggaran pendidikan secara keseluruhan. Sebab, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sektor pendidikan mendapat alokasi 20 persen sesuai amanat konstitusi. Namun, apakah alokasi tersebut benar-benar dimanfaatkan secara optimal? Apakah ada prioritas yang keliru dalam pengalokasian dana? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dijawab demi memastikan bahwa anggaran negara digunakan untuk mendukung sektor-sektor strategis seperti pendidikan.

Lebih jauh, ketiadaan tunjangan ini dapat berdampak pada penurunan kualitas pendidikan tinggi secara keseluruhan. Dosen yang merasa tidak dihargai secara finansial dan moral kemungkinan besar akan kehilangan motivasi untuk melakukan inovasi dalam pengajaran dan penelitian. Hal ini pada akhirnya akan merugikan mahasiswa dan masyarakat luas yang menjadi penerima manfaat utama dari pendidikan tinggi.

Dalam konteks global, persaingan antarnegara semakin ketat, terutama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa dukungan maksimal terhadap tenaga pendidik, Indonesia berisiko tertinggal lebih jauh dibandingkan negara-negara lain yang lebih serius dalam mengelola sektor pendidikannya. Pemerintah harus menyadari bahwa investasi pada dosen adalah investasi pada masa depan bangsa.

Oleh karena itu, Presiden Prabowo dan jajaran Kemendiktisaintek perlu segera mengambil langkah korektif untuk mengatasi persoalan ini. Pemerintah harus menunjukkan keseriusan dalam mendukung kesejahteraan dosen, baik melalui revisi anggaran maupun kebijakan afirmatif lainnya. Tanpa langkah nyata, visi besar membangun pendidikan tinggi yang unggul hanya akan menjadi sekadar retorika tanpa realisasi.

Kalangan sivitas akademika menyesalkan kondisi ini, sebab tidak dianggarkannya tunjangan profesi dan tukin dosen pada 2025 harus menjadi momentum bagi semua pihak untuk mengevaluasi kembali prioritas pembangunan nasional, khususnya di bidang pendidikan. Pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya perlu bersinergi untuk memastikan bahwa dosen mendapatkan hak-haknya sesuai amanat undang-undang. Hanya dengan cara ini, pendidikan tinggi Indonesia dapat berkembang dan memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa.

Janudin dosen Teknik Industri Universitas Indraprasta PGRI Jakarta

Sumber