Islamisasi Budaya dan Pembudayaan Islam
Refleksi agama dan kebudayaan ini terbatas pada sebagian aspek kebudayaan yang kita bisa amati dan kita alami, khususnya pada masa kontemporer. Saya ingin menyoroti fakta dan menganalisis strategi Islamisasi Budaya sekaligus Pembudayaan Islam dari tinjauan baik teologis dan fenomena kebudayaan itu sendiri, dengan mengambil contoh kasus di Indonesia.
Bahwa sebagai bangsa Indonesia, kita tidak dapat memungkiri fakta bahwa mayoritas mutlak penduduk negeri ini adalah muslim, dan nilai-nilai Islam sudah sedemikian kuat mendarah daging dalam seluruh aspek kebudayaan nasional. Tentu saja dengan tidak memungkiri adanya unsur-unsur kebudayaan lain yang bersifat asli dan lokal yang memengaruhi pemahaman dan praktik pengamalan ajaran Islam.
Argumen Teologis
Dalam QS Al-Maidah ayat 3, Allah SWT berfirman
الْيَ وْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتَْْمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِِ وَرَضِيتُ لَكُمُ الِْْسْلََمَ دِينًا ]المائدة 3 ]"…Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku telah ridhai Islam sebagai agama kalian…"
Di antara konsekwensi dari kesempurnaan Islam adalah meniscayakan adanya Aspek Keluasan dan aspek keluwesan. Dengan keluasan maka seluruh dimensi kehidupan manusia tidak ada yang kosong dari aturan ajaran Islam. Dengan keluwesan maka segala situasi dan kondisi, sepanjang zaman dan tempat dapat diatasi dengan ajaran Islam. Dalam keluwesan Islam itulah terkandung sifat adaptif dan fleksibilitas Islam dalam menerima kebaikan dan kearifan lokal yang sejalan dengan prinsip-prinsip syariah.
Demikian juga dengan argument Ushul Fiqih. Karena dalam Islam ada konsep "al-urf" dan ada kaidah "al adat muhakkamah", yang menjadi dasar bagaimana mengadaptasi dan meresepsi budaya dan kearifan lokal yang baik dan sejalan dengan prinsip ajaran Islam yang bersendikan akidah tauhid dan misi kemaslahatan umum. Maka Islamisasi di Indonesia bukan hanya satu arah dengan cara memaksakan nilai-nilai Islam menjadi budaya baru bagi masyarakat setempat, tetapi juga bagaimana mengadopsi budaya lokal menjadi bernilai dan bernuansa Islami. Sehingga dengan demikian seluruh unsur sistem religi masyarakat Indonesia, sistem sosial, hingga hukum, ekonomi, dan politik telah didominasi dengan bahasa dan simbol-simbol Islami.
Esensi dakwah Islam adalah perubahan, yakni mengubah Masyarakat dari kondisi buruk menjadi kondisi yang baik, dari kondisi baik menjadi lebih baik. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Ibrahim ayat 1
كِتَابٌ أَنْ زَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلََ النُّورِ بِِِذْنِ رَبِِِّمْ إِلََٰ صِرَاطِ الْعَ زِيزِ الَْْمِي د"Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji."
Dalam konteks perubahan sosial inilah, kita bisa memahami dan merefleksi bagaimana wahyu Ilahi didakwahkan oleh para Rasul dengan proses komunikasi bahasa kaumnya masing-masing. Sehingga Islam dipahami dengan centang-perenang, tanpa disalahpahami. Karena itulah penjelasan lebih lanjut pada QS Ibrahim yang ayat pertamanya terkait misi perubahan Masyarakat, maka pada ayat ke-14 dinyatakan bahwa
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلََّّ بِلِسَانِ قَ وْمِهِ لِيُ بَيَِِّ لََ م"…Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka…"
Kita bisa berefleksi pada hari ini. Dalam konteks pembudayaan Islam, kita bisa lihat transformasi budaya masyarakat ketika mereka menerima syariat Islam. Yakni, dari system ritualisti menjelma menjadi sistem bahasa, sistem seni, system etika, hingga sistem sosial. Misalnya, perintah menegakkan Shalat lima waktu. Maka perintah itu dikomunikasikan melalui bahasa kaumnya masing-masing, hingga dialek yang bermacam-macam variasinya. Umat yang memahaminya menjalankan shalat itu dengan karakteristiknya masing-masing. Tumbuhlah seni arsitektur pada masjid, bermula dikarenakan perintah ritual Shalat. Dari shalat juga muncul etika berpakaian, hingga model interaksi sosial pada jama’ah-jama’ah shalat tersebut.
Islam datang ke tengah masyarakat-di manapun mereka berada-sebagai proses Islamisasi budaya maupun pembudayaan Islam, dengan tiga prinsip. Pertama, Islam datang dengan melegitimasi dan mendukung budaya-budaya yang telah ada, karena ia bersifat positif. Kedua, Islam dating untuk mengoreksi budaya-budaya masyarakat yang negatif. Ketiga, Islam datang untuk menumbuhkan budaya baru di tengah masyarakat. Dari sini kitab isa merumuskan natijah Islam mengadopsi budaya lokal sebagai sarana dakwah, secara sekaligus Islam juga menumbuhkan pembudayaan baru pada masyarakat.
Bingkai Paradigma
Keislaman dan keindonesiaan bagi kita merupakan sesuatu yang menyatu. Islam adalah agama yang kita anut sebagai jalan hidup yang sejati dan abadi, dan Indonesia adalah belahan bumi Allah yang dipilihkan bagi kita untuk hidup dan melaksanakan ajaran Islam di dalamnya sehingga dapat melahirkan kebudayaan dan peradaban yang Islami sekaligus yang Indonesiawi. Sebab itu idealisme dan cita-cita kebudayaan nasional, juga harus menjadi bagian dari cita-cita kebudayaan Islam kita, dan idealisme pembangunan kebudayaan dan peradaban Islam kita juga sekaligus pembangunan kebudayaan nasional kita. Sehingga tidak lagi ada upaya-upaya mendikotomikan apalagi membenturkan kebudayaan nasional dengan kebudayaan umat Islam dan demikian juga sebaliknya.
Untuk memajukan kebudayaan yang harmonis antara keislaman dan keindonesiaan itu maka kita harus menyeleraskan bingkai paradigma kebudayaan kita. Bingkai paradigm itu menurut hemat saya adalah dua sumber acuan dan pedoman. Yaitu bingkai filosofis kebudayaan yang bersumber dari wahyu Al-Quran dan Hadits, serta bingkai yuridis konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Islam sebagai agama yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi dasar dan sumber inspirasi dalam pembangunan kebudayaan dan peradaban masyarakat muslim telah terbukti bukan sekedar cita-cita utopia atau sekedar angan-angan idelaisme, tetapi telah menjelma dalam bangunan kehidupan nyata di sepanjang sejarah manusia. Bahkan telah terbukti mampu menjadi mercusuar yang menerangi dan memimpin kebudayaan dan peradaban dunia berabad-abad lamanya. Alangkah naifnya jika masih ada pihak yang berpikir sinis bahwa menjadikan Islam sebagai basis inspirasi peradaban hanyalah memutar arah jarum jam ke belakang dan menarik diri dari kemajuan. Padahal Islam tempo dulu itulah yang justru telah berhasil menyalakan obor peradaban yang menerangi kegelapan peradaban dunia. Yaitu peradaban Islam pada masa Khulafaur Rasyidin, kejayaan Daulah Umawiyah, Daulah Abasiyah, hingga Turki Usmani.
Islam sebagai agama wahyu yang sempurna dan komplit, mengandung ajaran tentang sistem keyakinan yang sangat jelas dengan berbasis kepada keimanan atas kemahaesaan Allah (Tauhidulah). Kalimat Tauhid digambarkan oleh Al-Quran Surat Ibrahim ayat 24-25 sebagai sebutir biji bibit pohon yang amat agung, yang disebut sebagai syajarah thayyibah. Dari butir Tauhid itulah keluar akar tunggang yang menghunjam dalam ke dasar jiwa menjadi prinsip-prinsip keimanan. Kemudian tumbuhlah tunas yang indah lalu membesar menjadi batang yang kokoh dengan dahan dan cabang rindang menjulang hingga menggapai langit. Dari pohon Islam yang akarnya terhunjam di jiwa dan cabangnya memancar ke segala arah itulah mengalir buahnya sepanjang musim tiada henti.
Dari akar iman dan batang Islam itulah masyarakat muslim membangun tatanan budaya hukum, pendidikan, ekonomi, politik, seni, sastra, dan etika dengan semangat amal saleh sebagai wujud pengabdian sejati kepada yang Maha Esa. Karena itu sejatinya kebudayaan dan peradaban yang dibangun di atas Islam memiliki jangkar yang kuat yang menjadi fondasi bagi pengembangan budaya modern sekaligus menjadi daya tahan atau daya imunitas kebudayaan nasional dari berbagai gelombang serbuan budaya asing.
Fenomena Kebudayaan Kontemporer Peluang dan Tantangan
Namun di tengah kebanggaan atas keagungan perilaku kebudayaan masyarakat bangsa Indonesia yang sangat mulia itu, kita justru merasa miris dengan terjadinya berbagai fakta dari perilaku sebagian masyarakat serta oknum para pemimpin dan pejabat Negara yang merendahkan dan menjatuhkan martabat kebudayaan bangsanya sendiri Seperti merajalelanya hoax, hate speech, provokasi, hingga fitnah dalam dunia media sosial masyarakat kita. Munculnya oknum-oknum penghina dan penista agama yang semakin lancing berbicara semena-mena di media sosial. Merebaknya kasus-kasus korupsi dengan rakyat jelata yang jadi korban.
Di sisi lain kemaksiatan, pelanggaran hukum, kriminalitas, pembunuhan sadis, tawuran, hingga kekerasan seksual dan pemerkosaan kepada anak-anak di bawah umur yang dilakukan justru oleh oknum para guru pendidik dan oknum tokoh agama semakin meningkat. Lebih menyedihkannya lagi adalah lemahnya penegakan hukum, dan para penegak hukum yang justru melanggar hukum. Hukum terkesan diskriminatif dan tebang pilih. Banyak kasus pelanggaran hukum yang masyarakat menyaksikan dan menilainya sebagai pelanggaran yang sama tetapi diperlakukan berbeda di depan hukum hanya karena perbedaan pelakunya. Semua perilaku buruk yang tidak berbudaya itu jelas-jelas mengalahkan dan menutup pemberitaan pemberitaan nilai-nilai baik dan positif yang dilakukan banyak masyarakat. Disebabkan keburukannya dari kejahatan-kejahatan kemanusiaan itu berdampak luas dan serius dalam menggerus nilai-nilai kemuian kebudayaan dan peradaban bangsa. Belum lagi selesai berbagai kasus penyelewengan kebudayaan bangsa itu, telah disusul pula dengan musibah bencana alam yang menimpa rakyat kita dari mulai banjir Sintang, Kalbar; Banjir Kota Makasar, Banjir Batu Malang, Banjir NTT, Gempa bumi di Bali, Erupsi gunung merapi, dan Erupsi Gunung Semeru yang menelan korban jiwa dan harta benda tidak ternilai banyaknya.
Dari sedikit fakta dan permasalahan yang dikemukakan di atas, saya kira kita semua patut merenung, apa permasalahan mendasar dari terjadinya kasus-kasus centang perenang dan karut marut kehidupan kebudayaan berbangsa kita ini. Saya berpendapat salah satu masalah yang mendasar yaitu lemahnya komitmen penegakan hukum dari aparat dan lemahnya budaya ketaatan hukum dari warga negara. Kedua hal tersebut bermuara pada hilangnya budaya malu yang menjadi dasar bagi tegaknya marwah dalam menjaga kewibawaan hidup.
Kenapa demikian? Karena sebagai Negara yang berdasar Pancasila dimana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sebagai Negara yang menyatakan sebagai Negara hukum. Maka basis pembangunan kebudayaan dan peradabannya tidak mungkin terlepas dari kesadaran religius dan ketaatan pada hukum. Upaya pemajuan dan pengembangan kebudayaan nasional memang bukanlah perkara yang sederhana tetapi merupakan pekerjaan yang memerlukan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu diperlukan strategi yang tepat bagi upaya pemajuan kebudayaan. Strategi pengembangan kebudayaan nasional diarahkan terutama untuk meningkatkan ketahanan budaya dan membentuk watak dan jatidiri bangsa.
Kita mengetahui bahwa dasar falsafah pembangunan dan pengembangan karakter serta jati diri bangsa Indonesia itu tiada lain adalah ajaran agama yang dianut bangsa Indonesia dan telah terumuskan dalam kesepakatan pendiri bangsa menjadi falsafah dasar Negara serta konstitusi NKRI. Saya juga sepakat bahwa dengan ketahanan budaya yang tangguh maka bangsa Indonesia tidak perlu khawatir akan serbuan arus budaya asing, karena filter yang dimiliki dapat menyaring ekses-ekses budaya asing yang negatif, selain itu dengan watak dan jatidiri bangsa yang kuat kita juga dapat mengembangkan kebudayaan nasional sehingga kita bahkan mampu untuk melakukan ekspansi budaya ke bangsa lain dalam hubungan kesetaraan.
Wallahu a’lam.
Dr. KH. Jeje Zaenudin Ketua Umum PP PERSIS