Israel Sembunyikan Identitas Tentaranya Usai Penyelidikan Dugaan Kejahatan Perang di Brasil

Israel Sembunyikan Identitas Tentaranya Usai Penyelidikan Dugaan Kejahatan Perang di Brasil

TEL AVIV, KOMPAS.com - Militer Israel telah mengumumkan sejumlah aturan baru terkait interaksi para anggotanya dengan media. Aturan-aturan itu muncul setelah sebuah pengadilan di Brasil memerintahkan penyelidikan terhadap seorang tentara Israel yang sedang berkunjung ke negara itu terkait dugaan kejahatan perang di Gaza.

Pedoman baru tersebut, yang diumumkan Rabu (8/1/2025), mengharuskan nama dan wajah sebagian besar prajurit Israel – baik yang sedang bertugas aktif maupun sebagai tentara cadangan – untuk disamarkan.

Keputusan itu diambil setelah seorang mantan tentara Israel melarikan diri dari Brasil pekan lalu. Dia lari setelah pengadilan di negara di Amerika Selatan tersebut memerintahkan penyelidikan terhadapnya terkait tuduhan yang diajukan sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pro-Palestina. LSM itu menuduh mantan tentara tersebut terlibat dalam kejahatan perang di Gaza ketika dia masih aktif di militer Israel.

Menurut media afiliasi CNN di Israel, yaitu Kan, tentara itu sudah tiba kembali di Israel hari Rabu kemarin. Media Israel tersebut menerbitkan wawancara audio dengannya. Dalam wawancara itu, dia mengatakan dirinya dituduh telah membunuh “ribuan anak” dalam dokumen setebal 500 halaman yang berisi sebuah foto dirinya mengenakan seragam tentara.

Juru bicara militer Israel, Nadav Shoshani, merujuk kasus itu dalam penjelasannya mengenai aturan-aturan baru militer tersebut. Menurut dia aturan-aturan itu bertujuan untuk memastikan personel militer Israel “terhindar dari insiden semacam ini” yang dilakukan “para aktivis anti-Israel di seluruh dunia.”

Pasukan Pertahanan Israel (Israel Defense Forces/IDF) mengatakan, tentara-tentara berpangkat kolonel ke bawah hanya dapat difilmkan dari belakang, dengan wajah tertutup, dan hanya inisial nama depan yang bisa digunakan.

Personel militer yang memiliki kewarganegaraan asing atau ganda – baik yang bertugas di medan pertempuran maupun non-tempur – harus disamarkan wajahnya dan tidak boleh mengungkapkan nama lengkap mereka dalam berbagai wawancara.

Menurut IDF, protokol-protokol baru itu berlaku untuk semua zona pertempuran, dan tentara yang diwawancarai tidak dapat dikaitkan dengan operasi tempur tertentu.

Seorang mantan perwira senior di departemen Badan Hukum Militer Israel mengatakan kepada CNN pekan lalu bahwa ada semakin banyak upaya di luar negeri untuk mengajukan tuntutan terhadap warga Israel yang bertugas dalam perang. Sejauh ini, tidak ada dari mereka yang berhasil ditangkap atau diadili.

Dia mengatakan para aktivis kini mengincar tentara biasa, bukan hanya perwira tinggi dan para politisi.

 

Aturan-aturan baru itu diumumkan tak lama setelah media afiliasi CNN, yaitu Kan, menyiarkan wawancara radio dengan tentara yang melarikan diri dari Brasil. Dalam wawancara itu dia menceritakan saat pertama kali mengetahui tuduhan terhadap dirinya.

“Saya bangun pagi, membuka telepon dan tiba-tiba melihat delapan panggilan tak terjawab – dari Kementerian Luar Negeri, saudara-saudara saya, ibu saya, para konsul,” katanya dalam wawancara itu. Dia menambahkan, saat berbicara dengan kementerian “kami mulai memahami ada sesuatu yang sedang terjadi dan tampak tidak biasa.”

“Mereka menulis bahwa saya membunuh ribuan anak-anak. Tuduhan itu dituangkan dalam sebuah dokumen setebal 500 halaman,” kata tentara itu tentang kasus yang menjeratnya. "Semua itu hanya berdasarkan sebuah foto saya mengenakan seragam tentara di Gaza.”

Dia juga mengatakan, setelah kasusnya mendapat perhatian, dia kini berharap untuk “menghilang dari radar dan melanjutkan hidup saya”.

Kasus itu muncul setelah pengaduan yang diajukan Hind Rajab Foundation (HRF) – sebuah organisasi yang melacak aktivitas tentara Israel di Gaza dan telah mengajukan serangkaian tuntutan hukum lainnya.

Seorang hakim di Brazil kemudian memerintahkan polisi untuk menyelidiki tentara itu berdasarkan pengaduan HRF, yang menuduhnya telah mengambil bagian dalam “penghancuran rumah-rumah warga sipil di Gaza selama operasi penghancuran sistematis.”

HRF, yang namanya diambil dari nama seorang gadis cilik berusia lima tahun yang terbunuh oleh tembakan tank Israel di Gaza tahun lalu, adalah sebuah LSM pro-Palestina. HRF menyatakan, mereka berdedikasi “untuk memutus siklus impunitas Israel dan sebagai kenangan terhadap Hind Rajab dan semua mereka yang tewas dalam genosida di Gaza.”

Kasus itu memicu kemarahan publik di Israel, mulai dari para pemimpin oposisi seperti Yair Lapid – yang menyebut hal itu sebagai akibat dari “kegagalan politik monumental” pemerintah – hingga Menteri Luar Negeri Gideon Sa’ar – yang menyebut kasus itu sebagai bagian dari “kasus yang sistematis dan anti-Semit” yang bertujuan untuk menyangkal hak Israel untuk membela diri.”

Sebuah kelompok ibu-ibu para tentara Israel menulis surat kepada Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan pimpinan militer Israel. Mereka menyatakan akan meminta pertanggungjawaban para pemimpin itu atas setiap risiko hukum yang dihadapi anak-anak mereka dari “aktor-aktor yang berniat buruk di seluruh dunia.”

HRF, dalam situs webnya, menyatakan bahwa lembaga itu juga telah berupaya untuk menangkap tentara-tentara Israel yang mengunjungi Thailand, Sri Lanka, Cile, dan negara-negara lain.

Sumber