Isu PPN 12 Persen, Sikap Aji Mumpung Pelaku Usaha Mesti Diwaspadai

Isu PPN 12 Persen, Sikap Aji Mumpung Pelaku Usaha Mesti Diwaspadai

JAKARTA, KOMPAS.com - Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengingatkan pemerintah agar mewaspadai praktik tidak sehat dari oknum pelaku usaha yang memanfaatkan isu kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.

Praktik "aji mumpung" ini berpotensi merugikan konsumen di tengah situasi daya beli yang masih melemah.

Wijayanto menyoroti potensi pelaku usaha menaikkan harga secara berlebihan dengan dalih penyesuaian tarif PPN. Situasi serupa pernah terjadi ketika harga bahan bakar minyak (BBM) naik.

“Pemerintah harus aware terhadap oknum aji mumpung, yaitu para pelaku usaha yang menaikkan harga barang jauh di atas yang sesungguhnya, memanfaatkan isu kenaikan PPN ini. Hal seperti ini umum terjadi saat kenaikan BBM. Jadi, pemerintah perlu memantau, memonitor, dan mengawasi praktik di lapangan,” kata Wijayanto di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Kamis (19/12/2024).

Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen mulai berlaku 1 Januari 2025. Pemerintah berencana meluncurkan beberapa paket kebijakan insentif untuk meredam dampak kenaikan pajak, seperti bantuan pangan 10 kilogram dan diskon tarif listrik 50 persen selama Januari-Februari 2025.

Akan tetapi, menurut Wijayanto, insentif ini perlu disesuaikan dengan kondisi daya beli masyarakat. Jika dampak kenaikan PPN memengaruhi daya beli, pemerintah diharapkan memperpanjang program insentif.

Dampak inflasi akibat kenaikan PPN diperkirakan tidak terlalu besar. Namun, kondisi daya beli masyarakat saat ini masih memprihatinkan. Menurut Wijayanto, isu daya beli lebih penting dibandingkan risiko inflasi.

“Berbagai insentif tersebut cukup efektif menahan laju inflasi, asalkan diterapkan sesuai rencana. Apalagi saat ini daya beli masyarakat kita masih belum recover, masih terseok-seok. Saya justru lebih khawatir impact terhadap daya beli dari pada impact inflasi,” ucap Wijayanto.

Selain itu, kebijakan ini juga diperkirakan berdampak pada sektor-sektor rentan seperti ritel, manufaktur, barang konsumsi cepat (FMCG), dan pariwisata. Wijayanto menilai pelaku usaha, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), membutuhkan dukungan lebih besar agar tetap bertahan dan berkembang.

“Kini saatnya pemerintah mengeluarkan kebijakan pro dunia usaha termasuk UMKM, sehingga mereka yang sudah cukup lama mengalami stagnasi, bisa terus bertahan dan bahkan bertumbuh, serta terus menyerap tenaga kerja. Sektor seperti retail, manufaktur, FMCG, dan pariwisata akan menerima dampak, walaupun menurut saya tidak akan sangat luar biasa,” papar Wijayanto.

Sumber