Jadi Lembaga Paling Banyak Diadukan Warga, MA: Karena Produk Hukum Kita soal Kalah-Menang
JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Agung (MA) buka suara menanggapi banyaknya aduan warga ke lembaganya.
Tercatat, MA menjadi lembaga yang paling banyak diadukan, dengan total 469 laporan sepanjang tahun 2024.
Juru Bicara MA, Yanto beralasan bahwa banyaknya aduan bisa jadi karena produk hukum yang dikeluarkannya adalah putusan kalah dan menang.
Pihak yang kalah akan merasa kecewa sehingga mengadukan permasalahan tersebut ke berbagai pihak.
"Pertama, kalau paling banyak diadukan produk MA itu kan kalah menang, iya toh? Yang kalah mesti ya bereaksi, kalau yang menang ya (akan menyatakan), ‘Oh, bagus kan gitu’," kata Yanto dalam konferensi pers di Gedung MA, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
Menurut Yanto, hal ini berbeda dengan produk hukum lembaga maupun institusi lain yang putusan finalnya tidak berbentuk status kalah dan menang.
"Karena kalau produk penegak hukum lain kan enggak kalah menang, ya. MA ini memutus, putusannya hasilnya kalah dan menang, kan gitu. Jadi ya karena putusannya kalah menang, bagi yang kalah mesti kecewa, kan begitu kan," tutur Yanto.
Lebih lanjut, ia pun merespons kritik Komisi III DPR RI yang menilai lembaganya sulit dihubungi.
Dia bilang, konteks ini perlu dilihat secara lebih luas.
Jika pihak yang dihubungi adalah hakim yang tengah menangani perkara, komunikasi memang akan terbatas.
"Ya siapa dulu (yang) dihubungi. Kalau yang dihubungi hakimnya yang menangani perkara tentu enggak bisa kan. Tapi kalau kedinasan, saya pikir enggak juga (sulit dihubungi). Kalau kedinasan saya yakin enggak, karena kan mitra kerja ya Komisi III itu," kata dia.
Sebelumnya diberitakan, Komisi III DPR RI mencatatkan ada 469 aduan masyarakat terkait dengan proses penanganan hukum sepanjang tahun 2024.
Aduan terbanyak mengenai perkara di Mahkamah Agung (MA).
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menjelaskan, aduan terbanyak terkait dengan proses hukum di pengadilan.
Pihaknya mengkategorikannya sebagai aduan terkait penanganan perkara di MA.
"Kami kategorikan sebagai pengaduan ke Mahkamah Agung, jumlah aduannya 149, presentasinya hampir sepertiga dari aduan yang masuk, itu 31,7 persen,” ujar Habiburokhman, Jumat (27/12/2024).
Pengaduan terkait MA didominasi oleh isu penanganan perkara, mafia peradilan, mafia pertanahan, serta profesionalisme pelayanan publik.
Tak cuma itu, ia mengkritik MA menjadi mitra kerja Komisi III yang paling kurang responsif dibandingkan lembaga lain.
Sebab, MA kerap tak merespons saat dikonfirmasi soal temuan permasalahan ataupun aduan masyarakat yang diterima Komisi III DPR RI.
“Kalau respons, ya terus terang memang paling susah respons. Saya sendiri hampir tidak pernah mendapatkan respons dari institusi di Mahkamah Agung,” kata Habiburokhman.
“Kadang-kadang kita mau cari informasi saja, kita sebagai penerima aspirasi masyarakat ingin nanya ke ketua pengadilan, kebetulan kita ada nomor HP-nya, ditolak,” ujar dia.
Politikus Gerindra itu menduga bahwa para hakim di pengadilan ataupun di MA mencoba untuk menjaga independensi.
Namun, Habiburokhman merasa sikap tersebut tidak tepat diterapkan kepada Komisi III DPR RI.
Sebab, dia dan jajarannya di Komisi III hanya berupaya meneruskan aspirasi masyarakat atas keluhan yang disampaikan.
“Karena kami ini kan menyalurkan aspirasi rakyat. Bukan perkara pribadi kami, bukan kami ingin intervensi, tapi apa yang kami dapat di sini kami sampaikan. Mungkin belum ada pemahaman yang sama,” kata Habiburokhman.