Jadi Tahanan Rumah, Pria Difabel di Mataram Diperiksa Polisi dengan Status Tersangka, Korban Ada 15 Orang
KOMPAS.com - Penyandang disabilitas tunadaksa berinisial IWAS alias Agus menjalani pemeriksaan dengan status tersangka di hadapan penyidik Bidang Remaja, Anak dan Wanita Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat, Senin (09/12).
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB, Komisaris Besar Polisi Syarif Hidayat, membenarkan pemeriksaan IWAS dengan status tersangka kasus dugaan pelecehan seksual.
"Iya, hari ini memang kami agendakan melakukan pemeriksaan tambahan terhadap tersangka atas nama Agus (IWAS)," kata Syarif sebagaimana dikutip kantor berita Antara.
Syarif mengatakan bahwa pihaknya belum ada rencana menempatkan IWAS alias Agus menjadi tahanan rutan. Pria difabel itu masih dalam status tahanan rumah.
"Sebenarnya penetapan tahanan rumah ini merupakan bagian dari perhatian kami terhadap hak tersangka karena secara fasilitas tahanan untuk penyandang disabilitas itu kami belum memenuhi, makanya status tahanan rumahnya sudah kami perpanjang dalam masa 40 hari," ucap Syarif.
Berdasarkan informasi dari Komisi Disabilitas Daerah (KDD) Provinsi NTB, jumlah korban IWAS alias Agus bertambah menjadi 15 orang.
"Saat ini, fokus kami terkait berkas perkara yang sudah kami limpahkan ke jaksa peneliti, memang ada dua [korban tambahan] yang sudah kami mintai BAI [berita acara investigasi]. Salah satunya memang ada anak. Tetapi, fokus kami dalam pemeriksaan laporan pertama ini ada lima [korban], termasuk korban itu sendiri [pelapor]," kata Syarif.
IWAS sebagai tersangka dalam kasus ini dikenakan sangkaan Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan Agus sempat menimbulkan keraguan di masyarakat.
Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat, mengatakan hal itu disebabkan pemahaman publik soal kekerasan seksual termasuk pelecehan seksual terlalu sempit dan kerap memakai "kacamata nondisabilitas".
Padahal kekerasan seksual juga bisa dilakukan dengan menggunakan benda-benda atau "anggota tubuh lainnya seperti kaki," tegasnya.
Ketua Komisi Disabilitas (KDD) NTB, Joko Jumadi, meminta masyarakat untuk memandang disabilitas secara adil sebagai kelompok yang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.
"Termasuk bahwa disabilitas punya potensi, punya peluang menjadi pelaku tindak pidana, itu tidak bisa dipungkiri," katanya.
By Andysaleh22 - Own work via commons.wikimedia.org Ilustrasi kekerasan seksual. gambaran perempuan kekerasan seksual bisa bangkit dari trauma dan menemukan kembali jati diri mereka. Perjalananya mungkin tidak mudah, tetapi dengan tekad dan keberanian, setiap perempuan bisa mencapai pemulihan dan menemukan kebahagiaan.Terungkapnya kasus ini bermula dari laporan seorang mahasiswi berinisial MA.
Menurut pendamping korban, Ade Latifa, peristiwa dugaan kekerasan seksual yang dialami kliennya semula dilaporkan pada teman korban.
Dari situ baru timbul keberanian untuk bicara.
"Korban merasa kalau tidak dilaporkan, pelaku terus berkeliaran dan dia merasa tidak aman kalau keluar rumah karena bisa saja akan ketemu pelaku," tutur Latifa.
Latifa menceritakan peristiwa yang dialami korban MA berlangsung pada 7 Oktober lalu sekitar pukul 10 00 WITA.
Saat itu korban sedang ingin membuat konten Instagram di Taman Udayana.
Ia lalu dihampiri oleh terduga pelaku—yang tak dikenal olehnya—dan bertanya apakah dirinya seorang mahasiswi.
Korban menjawab iya dan terduga pelaku membuat klaim sebagai mahasiswa di kampus yang sama dengan korban.
Percakapan keduanya kemudian membicarakan soal keluarga dan terkait kuliah.
"Tapi korban tidak begitu fokus dan merasa tidak nyaman karena pelaku menanyakan hal yang sangat pribadi mengarah ke seksualitas," ungkap Latifa.
"Namun tak ada rasa curiga sama sekali kalau pelaku akan melakukan hal buruk."
Terduga pelaku, sambung Latifa, lantas mengajak korban pindah ke belakang Taman Teras dan dengan nada tegas mengancam korban agar diam.
"Seolah-olah pelaku tahu semua keburukan korban dan akan melaporkannya bahkan akan mendatangi orang tua korban."
Ancaman itu, katanya, dilakukan secara berulang-ulang oleh terduga pelaku dan korban hanya bisa diam, sedih, dan merasa bersalah.
Setelahnya korban ditawari agar melakukan ritual "mandi suci" bersama pelaku di hotel. Tapi, korban berkali-kali menolak, ucap Latifa.
"Namun pelaku ini mengancam kalau korban tidak patuh maka hidupnya bakal hancur dan seluruh keburukan korban akan dibongkar ke orang tuanya."
Korban, sambung Latifa, akhirnya menuruti terduga pelaku dan memboncengnya ke arah penginapan. Korban dipaksa turun dan disuruh membayar biaya kamar.
Dengan perasaan takut, korban mengikuti perintah terduga pelaku masuk ke sebuah kamar karena lagi-lagi di bawah ancaman, klaimnya.
Di situlah korban mengalami peristiwa kekerasan seksual.
"Pelaku membuka pakaian korban menggunakan kaki."
Setelah itu, korban kembali membonceng pelaku ke Taman Udayana dan secara diam-diam mencoba menghubungi teman kuliahnya berinisial SA untuk minta dijemput di suatu lokasi.
Kepada SA, korban menceritakan semua kejadian kekerasan seksual yang dialaminya.
By Njepkuchiang - Own work Ilustrasi kekerasan seksualLatifa mengatakan keberanian korban MA melaporkan kasusnya, rupanya memunculkan keberanian korban-korban lain untuk bersuara.
Hingga saat ini, total ada 13 korban yang mengadu ke lembaganya. Dari belasan itu, sepuluh korban berusia dewasa dan tiga lainnya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Modus yang diperbuat terduga pelaku terhadap para korban, klaimnya, relatif sama.
"Korban biasanya duduk sendiri, dihampiri pelaku, diajak berkenalan, dan diambil simpatinya dengan cerita-cerita sedih sambil menunjukkan video-video dia yang bisa bermain alat musik dan lain-lain."
"Sehingga korban simpati ke pelaku dan korban tidak curiga kalau pelaku akan berbuat macam-macam."
"Baru setelah itu pelaku mulai mengulik kehidupan pribadi korban sampai akhirnya itu dijadikan ancaman untuk korban."
Terduga pelaku, klaimnya, juga mengajak para korban untuk melakukan ritual "mandi suci" dengan dalih untuk membersihkan dosa-dosa masa lalu mereka.
Latifa menuturkan kesamaan para korban ini adalah mereka berada dalam situasi rentan.
Misalnya, dalam kondisi lelah memikirkan perkuliahan, ada juga yang sedang bermasalah dengan keluarga.
Belasan korban itu bahkan mengalami beragam bentuk kekerasan seksual mulai dari pelecehan seksual fisik hingga pemerkosaan.
"Tapi ada juga korban yang tak sampai di bawa ke penginapan, tapi dia diikuti sampai ke indekosnya dan sempat terjadi upaya pelecehan oleh pelaku."
Dan meskipun terduga pelaku memiliki keterbatasan fisik, dia bisa mendorong korban dengan tubuhnya.
"Meskipun tidak punya tangan, tapi cukup punya tenaga," ungkap Latifa.
"Jadi pelaku sudah terbiasa dengan kondisinya, pelaku juga bukan orang yang tidak produktif, kita bisa lihat aktivitas pelaku di media sosial," sambungnya.
Itu mengapa, kata Latifa, para korban merasa tertekan ketika publik tidak memercayai apa yang terjadi pada diri mereka.
"Untuk apa para korban berbohong seperti yang disampaikan pelaku?"
By Ario.nasis - Own work Ilustrasi kekerasan seksualBBC News Indonesia sudah berupaya menghubungi pelaku, I Wayan Agus Suartama, dan meminta tanggapan atas tuduhan tersebut, akan tetapi yang bersangkutan menolak memberi respons.
Sebelumnya, pelaku sempat mengeklaim dirinya difitnah oleh korban MA dengan dalih keterbatasan fisik.
"Yang saya bingung bagaimana saya memerkosa? Sementara saya enggak bisa buka celana sendiri, enggak bisa buka baju sendiri. Jadi bagaimana saya melakukan kekerasan seksual?" kata Agus.
Terpisah, Ketua Komisi Disabilitas (KDD) Nusa Tenggara Barat, Joko Jumadi, meminta masyarakat untuk memandang disabilitas secara adil sebagai kelompok yang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.
"Termasuk bahwa disabilitas punya potensi, punya peluang menjadi pelaku tindak pidana, itu tidak bisa dipungkiri," katanya.
Dalam perkara yang melibatkan pelaku, Joko hanya ingin memastikan tindakan polisi terhadap disabilitas berjalan sesuai dengan aturan yakni Undang-Undang Disabilitas dan Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2020 tentang akomodasi yang layak bagi penyandang Disabilitas.
"Sejauh ini KDD dilibatkan sejak awal, sejak diterimanya laporan. Kepolisian berkoordinasi dengan KDD terkait penangannannya."
Joko menambahkan lembaganya juga telah menyediakan pendamping hukum bagi terduga pelaku.
By Ario.nasis - Own work Ilustrasi kekerasan seksualKasus dugaan pelecehan seksual oleh tersangka I Wayan Agus Suartama sempat membuat ragu publik lantaran pria 21 tahun itu merupakan penyandang disabilitas tunadaksa.
Namun, Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat, mengatakan pemahaman publik soal kekerasan seksual termasuk pelecehan seksual terlalu sempit dan kerap memakai "kacamata nondisabilitas".
Kekerasan seksual seperti perkosaan, menurutnya, tidak sebatas adanya penetrasi penis ke vagina dan keluarnya air mani, melainkan bisa melalui anal atau oral.
"Perkosaan termasuk kekerasan seksual juga bisa dilakukan dengan menggunakan benda-benda atau "anggota tubuh lainnya seperti kaki," jelasnya kepada BBC News Indonesia, Kamis (05/12).
"Bahkan kekerasan seksual dapat terjadi ketika pelaku memaksa korban menyaksikan video atau foto intim," sambungnya.
"Atau ada perbuatan meraba, menyentuh, mengusap, menggosokkan bagian tubuh pada tubuh korban tanpa persetujuan korban, itu semua bisa dikatakan pelecehan seksual."
"Dan yang terpenting dalam kekerasan seksual adalah tanpa persetujuan korban."
Rainy kemudian menjelaskan dalam kasus kekerasan seksual yang pelakunya memiliki hambatan fisik tanpa kedua lengan, modus yang kemungkinan diperbuat adalah dengan ancaman seperti membuka "aib masa lalu" atau foto intim korban.
Pelaku, klaimnya, bisa saja menjadikan aib atau foto intim tersebut sebagai alat untuk menguasai korban.
Korban pun pada akhirnya terpaksa mengikuti kemauan pelaku.
"Sehingga kalau ada hubungan seksual, maka itu terjadi tanpa persetujuannya, karena korban dalam penguasaan pelaku," kata Rainy.
"Dalam hal inilah relasi kuasa antara pelaku penyandang disabilitas dengan korban, timpang.
"Baca juga Pendamping Sebut Korban Pelecehan Seksual Pria Disabilitas di Mataram Diintimidasi dan Ketakutan
By Ario.nasis - Own work Ilustrasi kekerasan seksualModus lainnya adalah dengan tipu daya atau janji-janji.
Pelaku, sambungnya, dapat menggunakan tipu daya atau janji sehingga korban menuruti permintaannya untuk melakukan hubungan seksual bersifat transaksional.
Tapi sesudahnya janji itu tidak ditepati.
Di sisi lain, untuk korban berani bersuara bukan hal yang gampang. Sebab korban akan merasa malu lantaran itu sama saja seperti membuka aibnya sendiri.
"Korban akan disalahkan dengan pertanyaan kenapa mau disogok dengan janji-janji?"
"Akibatnya korban diam saja. Kondisi seperti ini bisa dimanfaatkan pelaku untuk mengulangi kekerasan seksual dengan ancaman membuka aib korban."
"Intinya ada berbagai macam modus operandi pelaku untuk menjerat korban agar mengikuti kemauannya."
"Tapi dalam hal korban adalah anak, terdapat relasi kuasa berdasarkan usia. Pelaku dengan hambatan fisik bisa merayu dan menyogok korban dengan uang, mainan, makanan, agar menuruti ajakan pelaku."
Rainy juga menegaskan meskipun terduga pelaku merupakan penyandang disabilitas, namun penyelesaian kasusnya tidak bisa dilakukan melalui mekanisme sosial seperti ganti rugi atau cara-cara damai lainnya.
Penuntasan kasus tersebut tetap harus berpegang pada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Kondisi terduga pelaku yang memiliki hambatan fisik, sambungnya, tidak bisa dijadikan alasan untuk memberikan impunitas atau memaafkan terduga pelaku.
"Sanksi pidana berlaku bagi pelaku penyandang disabilitas."
"Meski di sisi lain pelaku berhak atas kebutuhan pendampingan khusus seturut kondisi disabilitasnya dan rehabilitasi untuk memutus keberulangan."
By Dianiapsari - Own work via commons.wikimedia.org Ilustrasi kekerasan seksualKriminolog dari Universitas Indonesia, Josias Simon, juga bilang munculnya keraguan publik atas perkara tersebut terjadi karena keterbatasan polisi menjelaskan peristiwa ini secara rinci.
Ditambah lagi belakangan muncul kasus-kasus anggota polisi justru merakayasa kasus terhadap warga sipil.
Untuk menguatkan penyelidikan dan penyidikan, katanya, polisi harus bisa membuktikan adanya tindakan ancaman, kekerasan, dan pemaksaan yang dilakukan terduga pelaku terhadap korban.
Sebab tiga unsur itu menjadi penentu ada tidaknya kekerasan seksual.
"Polisi harus kuat pembuktiannya dalam hal kekerasan, ancaman, dan pemaksaan. Itu terbukti atau tidak nanti di pengadilan?" jelasnya.
Sementara itu Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Sri Nurherwati, meminta masyarakat menghormati proses hukum tanpa memberikan stigma atau asumsi yang dapat merugikan para pihak.
Ia juga bilang bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk oleh penyandang disabilitas.
Berdasarkan data LPSK, korban MA telah mengajukan permohonan perlindungan kepada lembaga ini pada 2 Desember lalu melalui kuasa hukumnya.
Dalam permohonannya, MA meminta bantuan ahli kepada Ketua LPSK dengan alasan dirinya adalah korban dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh terlapor bernama I Wayan Agus Suartama alias Agus.
MA juga mengajukan restitusi atau ganti rugi kepada pelaku atas kasus tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukannya.
By Bayunknown - Own work Ilustrasi kekerasan seksualPolda Nusa Tenggara Barat (NTB) resmi menetapkan terduga pelaku I Wayan Agus Suartama sebagai tersangka pelecehan seksual terhadap tiga korban pada Senin (02/12).
Kepala Subdirektorat Remaja, Anak dan Wanita (Renakta) IV Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda NTB, AKBP Ni Made Pujewati, menyebut penetapan status tersangka itu sudah melalui tahapan yang cukup panjang dan telah sesuai prosedur yang berlaku.
Yakni merujuk pada dua alat bukti dan keterangan lima saksi termasuk dua saksi ahli.
Dua alat bukti yang disebut itu di antaranya pakaian korban dan hasil visum korban berinsial MA.
Kemudian keterangan saksi antara lain AA yang merupakan teman korban, IWK adalah pria penjaga penginapan, serta JBI yang merupakan saksi sekaligus korban peristiwa yang sama.
Ada pula saksi LA, perempuan yang juga hampir mengalami kejadian serupa dan Y seorang pria rekan korban.
Tersangka dijerat Pasal 6 (c) UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan ancaman 12 tahun penjara atau denda Rp300 juta.
Pasal itu menyebutkan ancaman pidana ini berlaku bagi pelaku yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawaan untuk memaksa atau menyesatkan seseorang melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul.
Dalam perkembangan terbaru, bekas penyidikan kasus ini sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi NTB untuk diteliti kelengkapan formil dan material.
Di berkas itu, ada dua korban yang sudah memberikan keterangan.
Sembari menunggu hasil penelitian jaksa, penyidik kepolisian memperpanjang masa penahanan tersangka dalam status tahanan rumah dalam jangka waktu 40 hari ke depan terhitung sejak Selasa (02/12).
Wartawan Abdul Latif di Nusa Tenggara Barat berkontribusi untuk laporan ini.