Jakarta Jadi DKJ, Ini 4 Tantangannya Menurut Fahira Idris
KOMPAS.com - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Daerah Pemilihan (Dapil) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) Fahira Idris mengungkapkan, transformasi Jakarta menjadi DKJ adalah peluang besar untuk menciptakan kota yang tidak hanya menjadi pusat ekonomi, tetapi juga kota yang inklusif, berkelanjutan, dan beridentitas kuat.
Perubahan status Jakarta menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) melalui Undang-Undang (UU) Nomor 151 Tahun 2024 membuka babak baru bagi provinsi yang sudah hampir delapan dekade menjadi ibu kota negara itu.
Dengan mandat untuk bertransformasi menjadi pusat ekonomi nasional dan kota global, DKJ memiliki berbagai peluang dan tantangan yang tidak mudah sehingga memerlukan langkah strategis dan kolaborasi untuk mewujudkan visi besar tersebut.
“Setidaknya, terdapat empat tantangan yang akan dihadapi Jakarta setelah menyandang status sebagai daerah khusus,” ujar Fahira di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (13/12).
Pertama, kompleksitas kawasan aglomerasi Jakarta–Bogor–Depok–Tangerang–Bekasi–Cianjur (Jabodetabekjur).
Senator Jakarta itu mengatakan, pembentukan rencana tata ruang kawasan regional untuk menyelaraskan pembangunan di wilayah aglomerasi Jabodetabekjur.
Pembangunan di wilayah Jakarta, sebagian wilayah Jawa Barat, dan Banten yang akan menghadapi tantangan koordinasi lintas daerah dengan tingkat kepadatan penduduk, aktivitas ekonomi, dan kompleksitas infrastruktur yang tinggi.
Fahira menjelaskan, para pengambil kebijakan bisa menjadikan São Paulo, Brasil, yang menghadapi tantangan serupa sebagai praktik baik.
São Paulo meretas tantangan ini dengan peningkatan transportasi publik, pengurangan kemacetan, dan pengelolaan lingkungan sebagai fokus utama.
“Jabodetabekjur dapat mencontoh langkah-langkah São Paulo dengan mempercepat integrasi transportasi publik, seperti mass rapid transit (MRT), light rail transit (LRT), dan jaringan bus yang lebih luas serta memperbaiki konektivitas antarwilayah,” ujarnya dalam siaran pers.
Kedua, menjaga identitas budaya di tengah visi menjadi kota global dunia. Fahira menilai, sebagai kota global, Jakarta menghadapi tantangan untuk mempertahankan identitas budayanya, terutama kebudayaan Betawi.
UU DKJ memberikan kewenangan khusus untuk memajukan budaya lokal, termasuk pembentukan Dana Abadi Kebudayaan.
Namun, langkah itu tidak cukup tanpa political will yang kuat dan pelibatan aktif masyarakat serta badan usaha.
Dia menegaskan, tradisi lokal tidak boleh terpinggirkan dalam geliat pembangunan kota, tetapi justru harus menjadi kekuatan identitas Jakarta.
Ketiga, ketimpangan sosial-ekonomi dan tekanan sumber daya. Ketimpangan sosial-ekonomi di Jabodetabekjur akan tetap menjadi isu mendesak.
Jakarta sebagai pusat ekonomi nasional menyumbang 18 persen pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia, tetapi distribusi manfaat ekonomi tidak merata.
Tekanan terhadap sumber daya alam, seperti air, energi, dan ruang hijau juga memerlukan perhatian khusus.
Oleh karena itu, pendekatan holistik dalam pembangunan kota yang berkelanjutan adalah solusi yang harus diambil.
Kemudian, pengembangan ruang terbuka hijau, pengelolaan limbah yang lebih baik, dan inovasi dalam penggunaan energi terbarukan perlu diprioritaskan.
Keempat, adaptasi birokrasi dan penyesuaian regulasi. Perubahan nomenklatur dalam jabatan pemerintahan, termasuk gubernur, wakil gubernur, DPRD, DPR, dan DPD yang merupakan bagian dari kepastian hukum sebagaimana diatur UU DKJ juga jadi tantangan.
“Tantangan terletak pada adaptasi birokrasi dan penyesuaian regulasi yang cepat. Pemerintah DKJ harus memastikan transisi ini berjalan mulus tanpa mengganggu pelayanan publik,” katanya.
Fahira menegaskan, semua tantangan itu harus dijawab dengan strategi kolaboratif, political will yang kuat, dan pendekatan berkelanjutan.
Sebagai informasi, Presiden Prabowo Subianto meresmikan UU Nomor 151 Tahun 2024 yang mengatur perubahan nomenklatur jabatan di Provinsi Daerah Khusus Jakarta alias UU DKJ setelah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 serentak.
Perubahan itu dilakukan untuk memberikan kepastian hukum terkait status baru Jakarta, mengingat UU Nomor 2 Tahun 2024 sebelumnya dinilai belum mengatur secara jelas perubahan tersebut.