Jaksa Ungkap BAP Pegawai Basarnas soal Penunjukan Pemenang Lelang Proyek Truk

Jaksa Ungkap BAP Pegawai Basarnas soal Penunjukan Pemenang Lelang Proyek Truk

Jaksa menghadirkan pegawai Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Mahmud Fandi, sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan truk pengangkut personel dan rescue carrier vehicle (RSV). Mahmud mengungkap rekayasa pengaturan pemenang lelang proyek pengadaan di Basarnas.

Terdakwa dalam sidang ini adalah mantan Sekretaris Utama (Sestama) Basarnas Max Ruland Boseke, mantan Kasubdit Pengawakan & Perbekalan Direktorat Sarana dan Prasarana Badan SAR sekaligus pejabat pembuat komitmen (PPK) Basarnas tahun anggaran 2014 Anjar Sulistiyono, serta Direktur CV Delima Mandiri sekaligus penerima manfaat PT Trikarya Abadi Prima, William Widarta. Mulanya, jaksa membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Mahmud soal usul perencanaan anggaran sudah diatur dari top to down.

"Di sini dalam BAP Saudara nomor 24 poin 5, ‘bahwa kondisi tersebut terjadi dari tahun ke tahun, yaitu setiap usul perencanaan anggaran ada arahan dari top to down, yang seharusnya usulan tersebut berasal dari keutuhan setiap unit kerja, down to up, sehingga sesuai yang saya jelaskan bahwa usulan anggaran untuk tahun anggaran berikutnya yang saya ketahui berasal dari biro perencanaan yang saat ini dijabat oleh Dadang Arkuni’. Berarti ini top to down? menurut keterangan Saudara ya?" tanya jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (5/12/2024).

"Kurang lebih seperti itu. Iya," jawab Mahmud.

Jaksa lalu menanyakan soal koordinasi yang melibatkan Riki Hansyah Yudi Muharam selaku staf marketing CV Delima Mandiri. Diketahui, CV Delima Mandiri merupakan pemenang lelang proyek pengadaan truk pengangkut personel dan RSV ini.

"Kemudian yang Saudara pahami Pak Kamil (Ketua Unit Layanan Pengadaan Basarnas) dan Pak Anjar ini setiap membuat untuk Saudara melakukan kegiatan pengadaan selalu berkoordinasi dengan Riki Hansyah. Yang Saudara pahami itu gimana? Kenapa Riki Hansyah ada terus?" tanya jaksa.

"Saya tidak begitu mengerti yang jelas ada perintah kami laksanakan," jawab Mahmud.

Jaksa kemudian membacakan BAP Mahmud soal keterlibatan Riki dalam penyusunan dokumen lelang, pembuatan spesifikasi teknis serta harga pada pengadaan truk ini. BAP itu juga menerangkan bahwa dokumen lelang itu dibuat dengan menyadur dari data yang diberikan oleh Riki.

"Dalam BAP saudara ya, ini berbeda saudara jawab ya. Dalam BAP saudara nomor 17 di sini disebutkan, ‘bahwa menurut saya walaupun tidak ada pemberitahuan langsung maksud dan tujuannya, namun kehadiran Saudara Riki Hansyah yang adalah staf CV Delima Mandiri untuk terlibat langsung dalam penyusunan dokumen lelang maupun pembuatan spesifikasi teknis dan harga yang hanya menyadur dari apa yang diberikan oleh Saudara Riki Hansyah menggambarkan bahwa pemenang dari dua paket pekerjaan tersebut adalah orang yang terafiliasi dengan Saudara Riki Hansyah maupun CV Delima Mandiri. Buktinya pihak yang mewakili PT Trikarya Abadi Prima selalu hadir bersama-sama dengan Saudara Riki Hansyah saat pembuktian kualifikasi serta, PT Trikarya Abadi Prima adalah CV Delima Mandiri’. Betul Saudara jawab itu?" tanya jaksa.

"Betul," jawab Mahmud.

Sebelumnya, Max Ruland Boseke, Anjar Sulistiyono, dan William Widarta didakwa merugikan keuangan negara Rp 20,4 miliar. Max dkk didakwa melakukan korupsi terkait pengadaan truk pengangkut personel dan rescue carrier vehicle pada 2014 di Basarnas.

"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, secara melawan hukum," kata jaksa KPK Richard Marpaung di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (14/11).

Perbuatan ini dilakukan pada Maret 2013 hingga 2014. Jaksa mengatakan kasus ini memperkaya Max Ruland sebesar Rp 2,5 miliar dan William sebesar Rp 17,9 miliar.

"Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya William Widarta sebesar Rp 17.944.580.000,00 (Rp 17,9 miliar) dan memperkaya Terdakwa Max Ruland Boseke sebesar Rp 2.500.000.000,00 (Rp 2,5 miliar), yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian," ujarnya.

Sumber