Jejak Pahlawan di Langit Nusantara, Makna di Balik Nama Bandara Internasional Indonesia
KOMPAS.com - Bandar udara (bandara) merupakan gerbang utama bagi para pelancong. Tidak hanya menjadi saksi bisu lalu lalang manusia dari berbagai penjuru dunia, bandara juga menjadi etalase untuk mengenalkan identitas bangsa, termasuk dari sejarahnya.
Beberapa bandara internasional di Indonesia, khususnya di bawah naungan PT Angkasa Pura Indonesia atau Injourney Airports, turut mengekalkan nama-nama besar pahlawan nasional untuk menghormati perjuangan mereka.
Di balik setiap nama bandara tersebut, tersimpan kisah perjuangan dan pengorbanan yang menginspirasi sehingga patut untuk dikenang dan dipelajari.
Dalam rangka memperingati hari Pahlawan yang jatuh setiap 10 November, Kompas.com mencoba menelusuri lebih jauh lima bandara internasional di Indonesia di bawah naungan Injourney Airports yang mengabadikan sosok-sosok pahlawan nasional menjadi nama bandaranya.
Berikut bandara berstatus internasional sesuai Surat Keputusan (SK) Menteri Perhubungan Nomor KM 31/2024, yang mengabadikan nama pahlawan
DOK. Humas Angkasa Pura Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang mengambil nama pahlawan proklamator Soekarno dan Mohammad Hatta.
Bandara Internasional Soekarno-Hatta awalnya bernama Bandara Cengkareng karena berdekatan dengan daerah Cengkareng, Jakarta Barat. Namun, secara geografis, bandara ini terletak di Tangerang, Banten.
Bandara ini dibangun pada 1975 dengan rancangan arsitek Perancis, Paul Andreu, dengan desain menyerupai limas joglo pada terminal 1 dan 2. Meskipun pembangunan secara fisik selesai pada 1984, Bandara Internasional Soekarno Hatta resmi beroperasi pada 1985.
Nama bandara ini mengambil pahlawan proklamator kemerdekaan Indonesia, Soekarno dan Mohammad Hatta. Tokoh dwitunggal itu dikenal memiliki peran penting dalam merumuskan konsep negara Indonesia, menyiapkan teks proklamasi, hingga menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pertama pada 1945.
Bandara Soekarno-Hatta beberapa kali mengalami renovasi dan pembangunan untuk menambah fasilitas serta daya tampung penumpang.
Menyandang status peringkat ke-28 bandara terbaik dunia versi Skytrax, bandara ini menyediakan berbagai fasilitas modern, seperti area tunggu yang nyaman dengan akses wifi di seluruh terminal, berbagai toko ritel, dan restoran. Ada juga fasilitas bisnis, ruang konferensi, loker penitipan barang, hingga arena bermain.
DOK. Humas Angkasa Pura Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda yang mengambil nama pahlawan nasional Sultan Hasanuddin Tumenanga Sultan Iskandar Muda.
Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda awalnya bernama Blangbintang, nama sebuah kecamatan di Kabupaten Aceh Besar. Bandara ini dibangun Pemerintah Jepang pada 1943 dengan landasan pacu sepanjang 1.400 meter (m) dan lebar 30 m menyerupai huruf T.
Pada 1995, nama Bandara Blang Bintang diubah menjadi Bandara Sultan Iskandar Muda, yakni raja Aceh yang dikenal menyejahterakan rakyatnya dan gigih melawan Portugis.
Dalam masa pemerintahannya, Iskandar Muda mampu mengembangkan perekonomian Aceh di bidang perdagangan, pertambangan, hingga pertanian. Hal ini menjadi ancaman bagi Portugis yang telah menguasai Malaka sejak 1511.
Raja yang dikenal pintar ini pun berani melawan Portugis yang berupaya merebut wilayahnya. Salah satu momen bersejarahnya adalah saat menyerang Portugis dengan 263 kapal dan 20.000 prajurit di Malaka pada 1629.
Kini, Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda berdiri gagah dengan fasilitas modern, seperti restoran, toko retail, pengembalian VAT, toko bebas bea, hingga penukaran valas.
Bandara ini juga pernah mendapatkan predikat Bandara Terbaik Dunia untuk Wisatawan Halal di Dunia Halal Tourism Awards Faris 2016.
DOK. Humas Angkasa Pura Bandara Internasional Sultan Hasanuddin yang mengambil nama pahlawan nasional Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana.
Bandara Internasional Sultan Hasanuddin diresmikan pada 1937 dan dioperasikan perusahaan Belanda dengan memanfaatkan landasan pacu jenis rumput sepanjang 1.600 meter x 45 meter (m).
Bandara yang awalnya bernama Bandara Kadieng itu berganti nama menjadi Mandai pada masa pendudukan Jepang serta mengganti landasan pacu dengan beton.
Setelah kembali ke pelukan Ibu Pertiwi pada 1950, panjang landasan pacu ditambah menjadi 2.345 m x 45 m oleh Jawatan penerbangan Sipil. Pada 1980, Bandara Mandai berganti nama menjadi Sultan Hasanuddin dengan panjang bertambah menjadi 2.400 m x 45 m.
Pahlawan nasional yang dikenal dengan julukan “Ayam Jantan dari Timur” itu merupakan seorang pemimpin yang berani, cerdas, dan gigih dalam mempertahankan kedaulatan Kerajaan Gowa-Tallo melawan persekutuan dagang Belanda, VOC.
Salah satu kecerdasan Hasanuddin sebagai pemimpin militer ditunjukkan dengan membangun Benteng Barombong untuk melawan VOC yang berupaya memonopoli perdagangan di Asia.
Kini, namanya pun harum sebagai bandara di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan itu.
Bandara Internasional Sultan Hasanuddin saat ini menyongsong tema airport city yang dilengkapi area rumah sakit di sekitar bandara serta hotel bujet bagi para wisatawan yang dapat transit tanpa harus keluar bandara. Ada pula pusat makanan, toko retail, self check-in machine, wrap baggage, hingga bus shuttle.
Pada 2022, Bandara Sultan Hasanuddin Makassar meraih penghargaan ASQ Awards sebagai "Cleanest Airport in Asia-Pacific 2022", "Airport with the Most Dedicated Staff in Asia-Pacific 2022", "Easiest Airport Journey in Asia-Pacific 2022", dan "Most Enjoyable Airport in Asia-Pacific 2022".
DOK. Humas Angkasa Pura Bandara Internasional Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai yang mengambil nama pahlawan nasional I Gusti Ngurah Rai.
Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai dibangun pemerintah Belanda pada 1930 dengan landasan pacu airstrip sepanjang 700 m dari rumput di Desa Tuban sehingga dikenal sebagai Pelabuhan Udara atau Bandara Tuban atau South Bali Airstrip.
Pada 1947, Bandara Tuban bertambah panjang menjadi 1.200 m dan dalam rangka proyek Pemerintah Indonesia, landasan pacu bandara ini bertambah panjang kembali menjadi 2.700 m untuk meningkatkan kepariwisataan Bali.
Setelah mengalami berbagai pengembangan, Bandara Tuban berganti nama menjadi Bandara Internasional Ngurah Rai pada 1969. Nama ini diambil dari pahlawan nasional dari Bali yang gugur dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada 1946.
I Gusti Ngurah Rai merupakan pendiri dan panglima pertama satuan angkatan bersenjata Indonesia di Kepulauan Sunda Kecil yang memimpin perlawanan puputan (perlawanan habis-habisan hingga tewas).
Meskipun gugur, aksi I Ngurah Rai berdampak besar bagi gerakan pembebasan nasional dan peningkatan sentimen anti-Belanda.
Namanya pun abadi sebagai bandara tersibuk kedua di Indonesia setelah Bandara Soekarno Hatta dengan rata-rata 15-25 juta penumpang per tahun. Tak hanya ramai, bandara ini mendapatkan predikat sebagai bandara terbaik versi Indeks Kepuasan Pelanggan CSI 2023.
Sebagai pintu bagi wisatawan yang datang ke Bali, bandara ini dilengkapi dengan teknologi modern, seperti x-ray smartlane yang bisa mempercepat screening bagasi, autogate keimigrasian, flap barrier untuk memindai boarding pass otomatis, hingga orientation zone untuk penghilang stres.
DOK. Humas Angkasa Pura Bandara Internasional Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II yang mengambil nama pahlawan nasional Sultan Syarif Kasim II.
Pada mulanya, Bandar Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II di Pekanbaru merupakan bandara perintis dengan landasan pacu dari tanah yang dikeraskan sepanjang 800 m untuk keperluan militer pada masa kemerdekaan untuk melawan Belanda dan Jepang. Pada 1950, landasan pacunya bertambah panjang menjadi 1.500 m.
Pemerintah mengoperasikan bandara perintis ini dengan mengubah namanya menjadi Pelabuhan udara Simpang Tiga karena terletak di persimpangan jalan menuju Kota Madya Pekanbaru, Kabupaten Kampar, dan Kabupaten Indragiri Hulu.
Pada 1998, bandara ini berubah nama menjadi Sultan Syarif Kasim II untuk menghormati pahlawan yang berpengaruh dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya di wilayah Riau.
Meskipun menjadi penguasa dari Kesultanan Siak Sri Indrapura, Syarif Kasim II mendukung pergerakan nasional untuk merebut kemerdekaan Indonesia, termasuk dengan mengorbankan harta bendanya untuk membiayai perjuangan melawan penjajah.
Tak hanya antikolonial, Said Kasim II juga dikenal peduli dengan kesejahteraan rakyatnya, terutama di bidang pendidikan. Dia membangun sekolah dasar, sekolah Islam khusus perempuan, serta internat, yakni sekolah pondokan gratis yang menyediakan makanan asal masyarakat bersedia belajar. Bahkan, dia mendatangkan guru dari Mesir, Aceh, dan Langkat.
Atas jasa-jasanya bagi rakyat, namanya diabadikan menjadi bandara internasional yang menjadi home-base bagi Skuadron Udara 12 Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara (AU) tersebut.
Bandara ini dilengkapi berbagai fasilitas modern, seperti e-kiosk, remote customer service, kidzone, internet gratis, penukaran valas, hingga pengembalian VAT.
Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II turut mendapatkan penghargaan Zero Accident Award dari Menteri Ketenagakerjaan pada 2023.
Di samping bandara-bandara tersebut, bandara lain yang dikelola InJourney Airports juga terdapat bandara berstatus internasional lainnya yang mengabadikan nama pahlawan, yakni Bandara Internasional Juanda (Surabaya), Bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan (Balikpapan), Bandara Internasional Sam Ratulangi (Manado), dan Bandara Internasional Halim Perdana Kusuma (Jakarta).
Bandara Internasional Juanda di Surabaya menggunakan sosok penting dalam sejarah kedaulatan Indonesia, yakni Djoeanda Kartawidjaja. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah Deklarasi Djuanda yang menyatakan bahwa semua laut yang berada di antara pulau-pulau di Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah NKRI.
Ada pula Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid yang mengambil nama pahlawan asal Lombok tersebut. Zainuddin berjasa dalam menyebarkan agama Islam di Nusa Tenggara Barat (NTB) sekaligus mengembangkan masyarakat lewat pendidikan. Atas jasanya, Lombok kini dijuluki sebagai Pulau Seribu Masjid.
Bandara Internasional Sam Ratulangi di Manado mengabadikan nama seorang politikus, jurnalis, dan guru dari Sulawesi Utara, Sam Ratulangi. Ia dikenal dengan filsafatnya "si tou timou tumou tou" yang artinya manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia.
Ratulangi turut menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang menghasilkan Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia dan merupakan Gubernur Sulawesi pertama.
Sementara itu, Bandara Internasional Halim Perdanakusuma mengambil nama pahlawan yang berperan dalam membina serta merintis perkembangan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), Abdul Halim Perdanakusuma.
Dia bertanggung jawab atas pelaksanaan operasi udara sebagai Perwira Operasi Udara pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Atas jasanya, namanya diabadikan sebagai markas Komando Operasi Angkatan Udara I.
Selain nama-nama bandara di atas, sebagian besar bandara domestik di bawah baungan Injourney Airports juga menggunakan nama pahlawan, seperti Bandara Sisingamangaraja XII (Tapanuli Utara, Sumatera Utara), Bandara Udara Raja Haji Fisabilillah (Tanjung Pinang, Riau), Bandara Sultan Thaha (Jambi), Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II (Palembang, Sumatera Selatan), Bandara Depati Amir (Pangkal Pinang, Babel), Bandara Frans Kaisiepo (Biak, Papua), dan Bandara Pattimura (Ambon, Maluku).
Pengabadian nama pahlawan di ruang-ruang publik diharapkan mampu membuat generasi muda lebih mengenal dan menghargai jasa-jasa para pahlawan.
Setiap kali singgah di bandara-bandara tersebut, generasi muda dapat diajak untuk merenung dan mengambil inspirasi dari perjuangan para pahlawan nasional.
Dalam semangat Hari Pahlawan, mari renungkan kembali jasa-jasa para pahlawan dan melanjutkan perjuangan mereka dalam membangun bangsa yang lebih baik.