Jelang Hari Jalan 20 Desember, Menapak Sejarah Ruas dan Jembatan Penyatu Nusantara dengan Teknologi Nasional Paten Internasional

Jelang Hari Jalan 20 Desember, Menapak Sejarah Ruas dan Jembatan Penyatu Nusantara dengan Teknologi Nasional Paten Internasional

KOMPAS.com - Jalan raya dan jembatan adalah infrastruktur yang menjadi saksi pertumbuhan bangsa Indonesia. Selain menjadi urat nadi perekonomian, jalan dan jembatan juga memberikan andil dalam pembangunan ke seluruh pelosok Nusantara.

Sederet ruas jalan dan jembatan di Tanah Air menjadi ikon kebanggaan bangsa. Contohnya Jembatan Semanggi, di Daerah Khusus Jakarta. 

Pembangunan jalan itu diinisiasi Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik Ir Sutami dan diresmikan Gubernur Jakarta Soemarno Sosroatmodjo pada 19 Juli 1962. 

Jembatan Semanggi pun menjadi jembatan nasional pertama yang menerapkan teknologi beton pratekan dan dibangun khusus saat Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV (24 Agustus 4 September 1962). 

DOK. Kementerian PU Erianto, Juara Favorit Lomba Foto Bina Marga dalam Rangka Hari Jalan 2024

Selain Jembatan Semanggi, banyak jembatan dan jalan raya di Indonesia bernilai historis, sarat teknologi, serta menjadi bagian dari perjalanan bangsa.

Salah satunya adalah Jalan Tol Jagorawi yang menjadi cikal bakal perkembangan jalan tol di Indonesia.

Pada saat itu, Ir Sutami mengusulkan pembangunan Djakarta by Pass dari Cililitan ke Ciawi sepanjang 50 kilometer (km) kepada Presiden Soeharto pada 9 Januari 1970. 

Gagasan itu direalisasikan tiga tahun kemudian melalui kerja sama Pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat (AS). 

Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dalam siaran persnya, Senin (16/12/2024), menyatakan bahwa dana pembangunan Tol Jagorawi mencapai 10.371.648 dollar AS dari Indonesia dan 22.835.329 dollar AS dari Negeri Paman Sam.

Inisiatif pembangunan jalan dari Jakarta ke Bogor dan Ciawi itu sejatinya mengemuka pada 1955 dari Wali Kota Jakarta Raden Sudiro. 

Namun, berkaitan dengan kemampuan keuangan pemerintah, gagasan itu belum ditanggapi serius dari pemerintah provinsi maupun pusat.  

Kemudian, pembangunan berhasil dilakukan dan Soeharto meresmikan Jalan Tol Jagorawi pada 9 Maret 1978, sebagai jalan tol pertama di Indonesia.

Indonesia juga memiliki jalan nasional pertama yang menggunakan pondasi konstruksi cakar ayam, yaitu Jalan Tol Prof Dr Sedyatmo yang menghubungkan Pluit–Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng dan diresmikan Soeharto pada 28 Maret 1985. 

Konstruksi cakar ayam adalah hasil penemuan Sedyatmo pada 1962 saat memimpin proyek pembangunan tujuh menara listrik di daerah berawa kawasan Ancol. 

Karya itu mendapatkan pengakuan secara global dan telah memperoleh hak paten internasional dari beberapa negara, seperti Indonesia, Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Belgia, Kanada, AS, Belanda, sampai Denmark.

Selanjutnya, Jalan Tol Layang Wiyoto Wiyono, yang dinamai sebagai bentuk penghargaan kepada mantan Kepala Sub Direktorat Perencanaan Jalan Kota Direktorat Jenderal Bina Marga.

Dia merupakan teknisi pembangunan jalan yang meninggal saat menjalankan tugas.  

Kemudian, Jalan Tol Layang Cawang–Tanjung Priok atau jalan yang disebut sebagai Cawang Interchange ini dibangun pada 1987 dan diresmikan Soeharto pada 9 Maret 1990. 

Pembangunan jalan layang sepanjang 15,66 km yang menghubungkan Cawang-Tanjung Priok-Ancol Timur-Jembatan Tiga/Pluit itu dijalankan PT Citra Marga Nusaphala Persada, sebuah konsorsium dari tujuh perusahaan swasta nasional.  

Tujuh perusahaan swasta itu terdiri dari PT Lamtorogung Persada, PT (persero) Hutama Karya, PT Pembangunan Jaya, PT Indocement, PT Yala Perkasa Internasional, PT Krakatau Steel, dan Yayasan Bank Dagang Negara

Jalan layang itu menyandang reputasi sebagai jalan layang terpanjang di Asia pada masanya, dengan mengusung teknologi baru sistem Landasan Putar Bebas Hambatan (LPBH) yang kondang disebut konstruksi Sosrobahu. 

Teknologi itu diciptakan Tjokorda Raka Sukawati, alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) kelahiran Ubud, Bali. 

Berdasarkan hitungan eksak, teknologi konstruksi Sosrobahu mampu bertahan sampai satu abad atau 100 tahun.

Konstruksi Sosrobahu asal Indonesia itu diterapkan di banyak negara, seperti AS, China, Singapura, Filipina, Malaysia, dan Thailand. 

Kemudian, Jepang memberikan hak paten pada 1992. Sementara itu, dari dalam negeri Direktorat Jenderal Hak Cipta Paten dan Merek memberikan paten pada 1995.

Selain aplikasi teknologi tinggi dari ruas-ruas jalan tadi, lebih dari setengah abad Indonesia memiliki jembatan ikonik yang menjadi destinasi wisatawan domestik dan mancanegara, yaitu Jembatan Ampera.

Ide pembuatan Jembatan Ampera mengemuka awal 1950-an dan Soekarno melakukan pemancangan tiang pertama pada 10 April 1962, dengan pendanaan dari  pampasan perang zaman Jepang. 

Dalam pengerjaan tiga tahun, jembatan sepanjang 1.177 meter, lebar 22 meter serta tinggi 11,50 meter di atas permukaan Sungai Musi itu diresmikan Gubernur Sumatera Selatan Abujazid Bastomi pada 10 November 1965. 

DOK. Humas Kementerian PU Jalan tol di Indonesia, karya Yogie Imail Bathin, Juara 2 Lomba Foto Bina Marga dalam Rangka Hari Jalan 2024.

Selain jembatan, jalan, sampai ruas tol kebanggaan bangsa Indonesia, pembangunan infrastruktur memiliki periodisasi panjang yang meliputi berbagai area di Tanah Air.

Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, pembangunan jalan Batavia-Kebajoran, Jembatan Bandjir Kanal, dan jalur kereta api direalisasikan pada 1 April 1949.  

Lantas, pada 17 Juli 1957 dimulai pembangunan jalan darat dari pusat Kota Palangkaraya ke Sampit atas kerja sama Pemerintah Indonesia dan Uni Soviet. 

Pada 1961, pelaksanaan proyek pembangunan jalan Balikpapan-Samarinda (Balsam) dimulai. 

Pengerjaan berlanjut pelebaran Jalan MH Thamrin di Jakarta menjadi 49 meter yang terinspirasi dari jalan-jalan lebar di kota-kota modern dunia. 

Pada 17 Desember 1962, pembangunan fondasi Jalan Rusia di Kalimantan Tengah yang dikenal sebagai Jalan Palangkaraya – Tangkiling dilangsungkan, kemudian diteruskan sampai Pangkalan Bun dan Sampit.

Selanjutnya, kurun 1969-1974, berlangsung proyek khusus Jalan Raya Sumatera, sedangkan 1974-1979 digarap proyek Jalan Kalimantan, dan proyek Jalan Lintas Sulawesi. 

Pada masa 1989-1994 pembangunan Jalan Banjarmasin–Batas Kalteng serta Jembatan Barito direalisasikan.

Teknologi canggih juga mewarnai perjalanan pembuatan jembatan di Indonesia setelah era konstruksi cakar ayam dan Sosrobahu, yaitu teknologi antigempa pertama yang diterapkan atas Jembatan Pasupati di Bandung, Jawa Barat pada 2005.

Selanjutnya, menyusul pembangunan Jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur dengan Bangkalan, Madura dan Jembatan Mahakam Ulu, Kalimantan Timur.

Pada 2013, pembangunan Jembatan Kelok 9 di Sumatera Barat dituntaskan. Lalu, Underpass Dewa Ruci, Bali rampung pada 2018. 

Masih di tahun yang sama, pembangunan jalan baru dilangsungkan di perbatasan Kalimantan 734 km, Trans Papua Barat, sampai perbatasan Timor Leste dengan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pembangunan Underpass New Yogyakarta International Airport (NYIA), Jembatan Musi IV (Sumatera Selatan), serta JembatanYoutefa (Papua) rampung pada 2019.

Adapun deretan jalan tol di Nusantara juga terus dilaksanakan setelah perdana Jalan Tol Jagorawi 9 Maret 1978, yakni Jalan Tol Ciujung dan Serang pada 28 Januari 1984, dab Jalan Tol Prof Dr Sedyatmo pada 1 April 1985.

Kemudian, Jalan Tol Makassar pada 26 September 2008 sebagai jalan tol pertama di Sulawesi, Jalan Tol Bali Mandara pada 23 September 2013 pada sebagai jalan tol pertama di Bali, Jalan Tol Balsam atau Balikpapan-Samarinda pada 17 Desember 2019 sebagai jalan tol pertama di Kalimantan, sampai Tol Trans Jawa tersambung dari Merak hingga Pasuruan pada 20 Desember 2018.

Pembuatan ruas jalan sampai jembatan digarap Departemen Pekerjaan Umum (DPU) yang berdiri pada 19 Agustus 1945, dengan Jawatan Jalan-Jalan dan Lalu-Lintas. 

Kemudian, pada 20 Desember 1949, nama departemen ini berubah menjadi Departemen Perhubungan, Tenaga dan Pekerjaan Umum. 

Mulai 25 Mei 1965, pelaksana realisasi infrastruktur jalan dan jembatan di Republik Indonesia bernama Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga,Direktorat Jenderal Bina Marga.

Pada kurun 1966–1968 menjadi Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Bina Marga. Kemudian, periode 1970-1975 disebut Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, Direktorat Jenderal Bina Marga.

Pada 1982-1988 juga periode 1989-1999, nama ini dipertahankan sebagai Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga.

Mulai 2000-2001, nama lembaga ini memperoleh nama baru, yakni Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah, dengan Direktorat Jenderal Pengembangan Prasarana Wilayah. 

Akan tetapi, pada periode 2004-2006, namanya kembali menjadi Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga.

Pada 2006-2009, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga memiliki 7 Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) sebagai bagian dari Direktorat Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Kemudian, ada tiga Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) sebagai perpanjangan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di daerah yang membidangi infrastruktur jalan.

Periode 2010-2014, Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga memiliki delapan BBPJN dan dua BPJN.  

Selanjutnya, kurun 2015-2018 namanya menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Direktorat Jenderal Bina Marga dengan 8 BBPJN dan 10 BPJN.

Pada 2019, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Direktorat Jenderal Bina Marga memiliki 8 BBPJN dan 14 BPJN. 

Lalu, mulai 2020, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Direktorat Jenderal Bina Marga memiliki 7 BBPJN serta 26 BPJN.

Pada masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bersama Kabinet Merah Putih, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dijadikan dua bagian terpisah, yaitu Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP). 

Menteri PUPR periode 2014–2024 Basuki Hadimuljono secara resmi menyerahkan jabatan kepada Menteri PU Dody Hanggodo dan Menteri PKP Maruarar Sirait di Jakarta, Senin (21/10/2024).

Berangkat dari momentum peresmian tiga ruas tol Trans Jawa oleh Presiden Joko Widodo pada 20 Desember 2018, telah terbit Surat Keputusan Menteri PUPR Nomor 1511 Tahun 2021 tentang Hari Jalan untuk diperingati setiap 20 Desember.  

Tujuannya adalah memberikan motivasi bagi penyelenggara jalan agar selalu bekerja lebih baik serta berinovasi dalam membangun dan mengelola jalan di Indonesia. 

Hari itu juga menjadi tonggak monumen atau pengingat tentang eksistensi jalan di Tanah Air.

Berdasarkan hasil penjajakan terhadap Jalan Nasional dan Jembatan Nasional, khususnya Jalan Nasional dan Jembatan Nasional yang dibangun semasa kemerdekaan bisa direkomendasikan beberapa jalan nasional dan jembatan nasional sebagai dasar penetapan Hari Jalan. 

Berikut ini adalah kriteria singkat yang dikedepankan dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Pertama, jalan yang akan ditetapkan sebagai hari jalan adalah jalan dengan status jalan nasional atau jembatan dengan status jembatan nasional. 

Jalan itu berupa jalan arteri primer yang menghubungkan antaribukota provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol. 

Kedua, jalan nasional atau jembatan nasional yang akan ditetapkan sebagai hari jalan adalah jalan yang beridentitas. 

Identitas jalan bisa mencakup tanggal, bulan, dan tahun serta berkaitan dengan waktu pertama dibuat, dimulainya pembangunan, peresmian, sampai perdana digunakan. 

Tanpa identitas, tertutup peluang direkomendasikan sebagai dasar penetapan hari jalan.

Ketiga, jalan nasional atau jembatan nasional yang akan ditetapkan sebagai hari jalan adalah jalan dan jembatan beridentitas yang dibangun atau diinisiasi bangsa Indonesia. 

Keempat, jalan nasional dan jembatan nasional yang akan ditetapkan sebagai hari jalan memiliki makna penting bagi bangsa dan negara Indonesia. 

Salah satunya adalah teknologi penemuan baru pembuatan jalan dan pendapat pengakuan internasional, sampai melayani kepentingan perbatasan antarnegara, untuk fungsi pertahanan dan keamanan negara.

Sumber