Jerman Akan Legalkan UU Hak Transgender, Apa Pengaruhnya?
Mulai Jumat (01/11), individu berusia 18 tahun ke atas sudah bisa mengubah mengubah nama dan jenis kelamin (gender) mereka atau menghapus penanda jenis kelamin pada dokumen resmi, di bawah Undang-Undang Penentuan Nasib Sendiri yang baru disahkan di Jerman.
Ada masa tunggu tiga bulan dari saat mengajukan permohonan dan membuat pernyataan pribadi. Namun, persyaratan untuk dua kali pemeriksaan kejiwaan dan sidang di pengadilan, telah resmi dihapuskan.
Anak di bawah umur, yakni anak berusia di atas 14 tahun, juga dapat mengubah nama dan jenis kelaminnya dengan persetujuan orang tua, atau mencari bantuan hukum. Orang tua dapat mewakili anak- anak mereka yang masih di bawah umur, tetapi anak itu harus hadir di kantor catatan sipil untuk memberikan persetujuan.
Ini adalah prosedur birokrasi murni tanpa implikasi medis.
Kalle Hümpfner, petugas kebijakan untuk Asosiasi Trans Jerman (BVT), menyambut baik kenyataan bahwa pengakuan gender kini akan jauh lebih mudah diakses dan lebih murah.
Hümpfner juga menekankan bahwa undang-undang yang baru ini juga membuat prosesnya tidak terlalu rumit. "Dalam proses pemeriksaan, masyarakat dipaksa untuk membocorkan banyak informasi yang sangat pribadi - informasi itu dibagikan ke pengadilan. Ada banyak laporan buruk mengenai banyaknya masyarakat yang harus berbicara tentang preferensi seksual mereka, tentang praktik masturbasi mereka, atau pilihan pakaian dalam mereka."
Kini, sekitar 1.200 warga ibu kota Berlin dengan komunitas LGBTQI+ yang berkembang begitu pesat di sana, telah mengajukan permohonan pada aturan baru ini, menurut kantor berita Jerman, dpa. Kantor berita Katolik KNA juga melaporkan bahwa ada tingkat ketertarikan yang sama di kota-kota besar lainnya.
Anggota parlemen Jerman dan seorang transpuan Nyke Slawik, yang turut membantu merundingkan rancangan undang-undang tersebut untuk Partai Hijau, memuji aturan ini sebagai reformasi bersejarah yang memiliki makna penting secara internasional. "Saya kira, ini merupakan sebuah harapan, di tengah suara-suara populis sayap kanan yang semakin lantang dan sayangnya justru terjadi banyak kemunduran di beberapa negara dalam hal hak-hak kelompok homoseksual," katanya kepada DW.
Richard Köhler adalah penasihat ahli untuk Transgender Eropa dan Asia Tengah (TGEU), sebuah kelompok advokasi nonpemerintah untuk kelompok trans dan nonbiner. Ia mengatakan bahwa undang-undang ini akan membawa Jerman kembali sejalan dengan hukum hak asasi manusia internasional dan perkembangan Eropa dalam sepuluh tahun terakhir.
Jerman kini menjadi negara ke-12 di Eropa yang memperkenalkan undang-undang penentuan nasib sendiri secara legal.
"Jujur saja, ini adalah masalah yang hanya memengaruhi sejumlah kecil individu secara personal dan menghormati pilihan mereka tidak akan merugikan orang lain, tetapi justru menjunjung tinggi nilai-nilai martabat dan kebebasan yang kita miliki," katanya kepada DW. Köhler memperingatkan bahwa di banyak negara lain di kawasan ini, larangan transisi hukum dan medis ini sudah diberlakukan beberapa, termasuk di Georgia dan Rusia.
Perubahan ini akan membuat kehidupan praktis sehari-hari kaum transgender, interseks, dan nonbiner menjadi lebih mudah, karena tidak ada lagi potensi ketidaksesuaian antara penampilan dan dokumen resmi, yang dapat membuat perjalanan ke luar negeri menjadi mahal. Bahkan, sekadar membayar dengan kartu kredit bisa jadi sangat memusingkan untuk mereka.
Setelah seseorang mengajukan permohonan untuk mengubah jenis kelamin dan nama depan mereka, tidak ada lagi permohonan yang bisa diajukan kembali selama minimal 12 bulan. Para populis sayap kanan berpendapat bahwa hal ini akan membuat orang mengubah gender mereka setiap tahunnya.
Mengubah akta kelahiran saja sudah bisa menimbulkan banyak sekali birokrasi lanjutan dalam proses dokumen resmi, mulai dari surat izin mengemudi hingga sertifikat ujian sekolah. "Ini adalah pekerjaan yang sangat besar untuk membuat dokumen Anda sesuai dan smeoga tidak ada yang melakukannya hanya untuk bersenang-senang," kata Kalle Hümpfner dari BVT.
Inklusivitas dan politik gender telah menjadi topik hangat di Jerman. Pemerintahan haluan kiri-tengah di Jerman, yang terdiri dari Partai Sosial Demokrat (SPD), Partai Hijau, dan Partai Demokrat Bebas (FDP) yang berhaluan neoliberal, telah mengambil alih pemerintahan pada akhir 2021 lalu, dengan janjinya dalam hal kemajuan dan modernisasi, termasuk usulan perubahan undang-undang tersebut dalam perjanjian koalisi partai-partai mereka.
Hal itu ditentang oleh blok oposisi terbesar, Demokrat Kristen konservatif (CDU) dan Serikat Sosial Kristen Bayern (CSU) dan juga partai Alternative for Germany (AfD) yang berhaluan populis sayap kanan.
Undang-undang Penentuan Nasib Sendiri ini baru disahkan pada April 2024, setelah melewati perdebatan sengit di mana sejumlah pembatasan juga ditambahkan.
Hümpfner menyatakan penyesalannya bahwa kecemasan dan ketakutan terhadap aksi pelecehan telah membingkai perdebatan, dengan kaum transgender yang berulang kali berperan sebagai pelaku potensial. "Berkali-kali selama proses legislasi, banyak terlupakan bahwa ini adalah tentang hak-hak dasar kelompok yang terpinggirkan yang masih sangat dirugikan."
Perubahan yang dilakukan ini termasuk memberikan hak kepada pemilik untuk memutuskan apakah akan menolak seseorang masuk ke tempat mereka atau tidak, atas dasar jenis kelamin. "Ada banyak diskusi terjadi di tempat sauna perempuan. Pengalaman kami, banyak transpuan yang jarang atau bahkan tidak pernah masuk ke sauna, karena saat berada di tempat itu, mereka banyak ditatap orang atas fisik mereka yang dianggap tidak menyenangkan," kata Hümpfner.
Kekhawatiran lain yang muncul selama diskusi seputar pengesahan RUU itu adalah tentang kemungkinan transpuan mendapatkan akses ke tempat perlindungan perempuan. Asosiasi Tempat Perlindungan Perempuan (FHK) mengatakan kepada surat kabar Jerman, Tagesspiegel, bahwa hal itu tidak berdasar "Kami tidak mengetahui satu kasus apa pun dari keanggotaan kami mengenai transgender yang menyalahgunakan rumah aman atau justru mengalami kekerasan di sana, meski transgender secara teratur menggunakan rumah aman itu selama bertahun-tahun dan mendapatkan perlindungan di dalamnya, tanpa basa-basi.
Richard Köhler juga berpendapat bahwa perdebatan diskusi itu diarahkan untuk meracuni wacana publik dan membuat masyarakat terpecah-belah. Dia mengatakan bahwa komunitas trans mengalami peningkatan permusuhan dan pelecehan, sebagai akibatnya.
"Kami melihat serangan yang terorganisir terhadap demokrasi, terhadap kesetaraan, terhadap keragaman dalam masyarakat kita. Dan ini disengaja juga diatur serta dibiayai dengan sangat besar." Ia mengatakan bahwa kaum trans menjadi sasaran empuk karena mereka adalah kelompok minoritas kecil yang berjumlah sangat sedikit.
Beate von Miquel, ketua Dewan Nasional Organisasi Perempuan Jerman (DF) dan seorang peneliti gender, mengatakan kepada DW bahwa masalah ini telah diperalat secara politis dan telah menjadi bagian dari perang budaya oleh kelompok-kelompok sayap kanan yang terkenal melawan dukungan terhadap hak-hak perempuan. "Sungguh menyakitkan bagi aktivis perempuan bahwa hal ini telah menjadi isu yang sangat memecah belah. Kita tidak boleh membiarkan diri sendiri mudah dipecah belah," tambahnya.
Von Miquel, mewakili 60 asosiasi dan kelompok perempuan lainnya, memperingatkan bahwa komunitas trans dan organisasi perempuan tidak boleh dipermainkan satu sama lain."
"Ada kekhawatiran bahwa kategori perempuan akan hilang dan tidak lagi tentang perempuan," tambah Miquel. "Kami akan tetap menjadi Dewan Perempuan Jerman. Namun harus ada lebih banyak kebebasan dan keragaman serta individualitas, ada lebih dari satu cara untuk menjalani gender dan menjadi seorang perempuan."
Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris