Jokowi Disebut Pernah Hubungi Semua Ketum Partai untuk Sahkan RUU Perampasan Aset, Dijawab Iya Tanpa Tindakan
JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein mengungkapkan, Presiden ke-7 Joko Widodo pernah menghubungi semua ketua umum partai politik untuk mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.
Informasi ini Yunus ungkapkan ketika dihadirkan sebagai ahli tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam sidang dugaan korupsi pada tata niaga komoditas timah dengan terdakwa Harvey Moeis dan kawan-kawan.
Setelah meminta penjelasan terkait hal-hal mendasar dalam pencucian uang termasuk upaya paksa penyitaan, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Eko Aryanto menanyakan perkembangan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.
“Sekarang dikaitkan dengan RUU Perampasan aset, ahli bisa berpendapat? Yang kemarin kan ternyata di dalam ini tidak dibahas mengenai itu di dalam prolegnas,” ujar Hakim Eko di Pengadilan TIpikor Jakarta Pusat, Kamis (31/10/2024).
Menurut Yunus, pemerintah telah mengirim draf RUU Perampasan Aset ke DPR RI. Namun, wakil rakyat itu tak kunjung membahas RUU tersebut.
“Takut jadi boomerang mungkin ya,” kata Yunus.
Menurut Yunus, RUU Perampasan Aset sama sekali belum dibahas oleh DPR RI.
Ia lantas menceritakan pengalamannya ketika masih bertugas di Tim Reformasi Hukum pada masa kepemimpinan Presiden Jokowi.
Saat itu, Tim Reformasi Hukum bertanya kepada Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat.
“Pak, RUU Perampasan Aset bagaimana?” kata Yunus menceritakan pertemuan itu.
Menurut Yunus, Jokowi mengaku telah menghubungi seluruh ketua partai politik. Kepada Jokowi, mereka mengaku sepakat untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset.
“Beliau menjawab ‘saya sudah hubungi seluruh ketua partai, seluruhnya bilang yes tapi ternyata tidak ada action sama sekali Pak,” tutur Yunus menirukan jawaban Jokowi.
“Lalu beliau bilang ‘mungkin Bapak-Bapak bisa bantu untuk mendorong ini’, loh kok terbalik presiden minta tolong kita gitu, seharusnya kita yang minta tolong beliau kan,” kata Yunus.
Ahli perbankan yang merintis pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) itu mengatakan, sebenarnya akan terdapat banyak kemajuan dalam penegakan hukum jika RUU Perampasan Aset disahkan.
“Cuma ya itu politisi pertimbangannya kepentingan bukan kepentingan,” kata Yunus.
Sebagai informasi, ahli yang dihadirkan dalam persidangan tidak boleh dicecar secara langsung terkait pokok perkara.
Pada umumnya, hakim, jaksa, dan pengacara bertanya kepada ahli dengan perumpamaan kasus yang polanya mirip dengan pokok perkara.
Dalam perkara korupsi ini, negara diduga mengalami kerugian hingga Rp 300 triliun.
Terdakwa lain dalam kasus ini, eks Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, eks Direktur Keuangan PT TImah Emil Ermindra, dan kawan-kawannya, didakwa melakukan korupsi bersama dengan crazy rich Helena Lim.