Kabinet Gemoy dan Terbukanya Aspirasi Rakyat

Kabinet Gemoy dan Terbukanya Aspirasi Rakyat

Sah. Presiden baru sudah dilantik. Kabinet juga dilantik, bahkan jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya. Ditambah lagi ada staf khusus, utusan khusus, penasihat khusus maupun badan-badan setara kementerian. Ada yang bilang Kabinet Merah Putih merupakan kabinet gemoy alias gemuk, karena sejumlah kementerian dipecah. Ada satu kementerian dipecah menjadi tiga kementerian.

Kita ambil sisi positifnya; makin banyak perangkat pemerintahan pusat, kian banyak pintu-pintu bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Manakala bosan jadi orang miskin, silakan masuk lewat pintu Badan Pengentasan Kemiskinan untuk menyampaikan aspirasinya. Gagal jadi seniman, jangan khawatir, bisa menemui Utusan Khusus Presiden yang mengurusi pekerja seni. Saat ketemu, bisa langsung menyampaikan aspirasi. Ketika ada tetangga tidak toleran dalam urusan keagamaan, ada pula utusan khusus yang fokus mengurusi keberagaman agama.

Menyerap Aspirasi

Presiden Prabowo Subianto dalam pidato pertamanya mengingatkan perangkat pemerintahan ini diharapkan mau menyerap aspirasi rakyat sebanyak-banyaknya. Presiden menyatakan kekuasaan yang diraihnya semata-mata untuk kepentingan rakyat. Di sinilah aspirasi masyarakat menjadi penting.

Sejatinya, dalam pandangan filsafat politik, apa yang dinyatakan Presiden Prabowo adalah dalam rangka mempraktikkan kekuasaan komunikatif. Benang merah "pemerintah" dan "aspirasi masyarakat sipil" itulah yang mengerucut kepada teori kekuasaan komunikatif. Filsuf Hannah Arendt mengenalkan istilah kekuasaan komunikatif tersebut. Maksudnya, satu kekuasaan itu idealnya terkonstruksi dari jaringan-jaringan komunikasi masyarakat sipil.

Jaringan itu bisa dilihat lewat media, wakil rakyat, maupun LSM. Artinya, masyarakat diajak berkomunikasi. Pemerintah menawarkan draft kebijakan, masyarakat memberi masukan entah lewat media, wakil rakyat maupun "pintu-pintu" tadi untuk menemukan kebijakan yang tidak membebani rakyat.

Kita tak menutup mata bahwa selama ini jaringan komunikasi yang dimaksud nyaris lumpuh. Banyak masyarakat yang masuk kategori pakar memberikan masukan di media, entah lewat pemberitaan atau kolom opini, tetapi tak pernah terakomodasi secara proporsional. Ada masyarakat menyatakan pendapat di media sosial, namun dibungkam buzzer dengan dalih-dalihnya. Mau menyampaikan aspirasi ke wakil rakyat, tampaknya tidak lagi mudah.

Lewat pintu-pintu perangkat pemerintahan, juga acap menghadapi kendala. Maka tak mengherankan dalam kondisi seperti itu acap dikejutkan kebijakan publik yang terkesan sepihak. Tiba-tiba saja ada kebijakan yang menaikkan pajak tertentu. Tiba-tiba ada kebijakan yang bikin ribet masyarakat.

Alhasil rakyat cuma bisa sambat sembari mengelus dada, "Oalah, kok ada saja tambahan beban hidup!" Beban? Bisa jadi anggapan ini muncul karena negara lebih satu arah dalam menetapkan kebijakan. Ada kesan masyarakat tidak terlibat (baca dilibatkan) dalam menentukan kebijakan yang pada dasarnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Manakala kebijakan sepihak muncul, publik pun dibuat terkejut dan aturan yang ditelurkan dianggap lebih membebani.

Di sini pemerintah melupakan kekuasaan komunikatif. Andai tidak lumpuh, di mana kekuasaan komunikatif tersebut lebih berperan, tentulah punya kekuatan untuk melahirkan keputusan yang memuaskan kedua pihak tersebut. Orang bilang mengandung win win solution. Kenyataannya ada yang jauh dari win win solution, dan malah memupuk konflik berkelanjutan. Maka, ambruklah kekuasaan komunikatif yang digadang-gadang menuju kebaikan bersama.

Demokrasi Kerakyatan

Alangkah indahnya jika permintaan Presiden Prabowo agar mendengarkan asprasi rakyat sungguh diwujudkan oleh para pembantunya. Dengan demikian, para pembantu Presiden juga ikut membangun kekuasaan komunikatif yang dicanangkan Presiden. Selanjutnya, ketika kekuasaan komunikatif terbangun, maka kokoh pula demokrasi.

Dalam hal demokrasi, Presiden juga meminta untuk mempraktikkan demokrasi kerakyatan. Salah satu demokrasi kerakyatan ini disodorkan oleh Jurgen Habermas melalui konsep demokrasi deliberatif, yakni kondisi di mana keputusan publik tercapai karena terbangun dari diskursus-diskursus dalam masyarakat sipil. Dalam kata lain, jika kebijakan negara lahir karena terpengaruh diskursus-diskursus yang terjadi di masyarakat, terbentuklah demokrasi deliberatif.

Model demokrasi deliberatif memungkinkan draf kebijakan publik diuji terlebih dahulu lewat apa yang diistilahkan Habermas sebagai diskursus publik. Demokrasi deliberatif menghormati peran serta warga negara dalam proses pembentukan opini agar suatu kebijakan pemerintah mendekati harapan orang-orang yang diperintah.

Ada yang bilang bahwa negara yang demokratis membuka pintu selebar-lebarnya bagi upaya menegakkan proses komunikasi deliberatif. Konon deliberatif sangat dekat dengan konsep musyawarah sebagai proses untuk mencapai permufakatan. Musyawarah itu menyediakan ruang untuk mendengarkan dan refleksi secara aktif. Dalam demokrasi deliberatif ada saat mendengar, kemudian diolah rasa secara reflektif, untuk selanjutnya terjadi perubahan karena respons dari apa yang didengar.

Sekali lagi, apa yang dialami belakangan ini menunjukkan bahwa bangsa ini belum mampu sepenuhnya bermusyawarah. Masih ada krisis komunikasi deliberatif. Kita masih saja mengandalkan komunikasi yang kurang memberi ruang hadirnya perbedaan. Malah perbedaan dianggap sebagai "the other" alias liyan. Ujung-ujungnya mudah saja untuk memukul liyan ini karena dianggap sebagai bagian dari pihak lain, bukan "saudara setanah air".

Harapan perbaikan terbuka lebar manakala kita mendengarkan pidato awal Presiden Prabowo. Intinya, aspirasi rakyat patut didengar dan pintu-pintu untuk menyampaikan aspirasi itu lebih banyak seiring menggemuknya kabinet sekarang ini.

Toto TIS Suparto penulis filsafat moral

Sumber