Kala Pekerja Jakarta Memilih Slow Living di Tengah Impitan Ekonomi
JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah pekerja di Jakarta memilih jalan hidup slow living demi menjaga kesehatan mental mereka di tengah impitan ekonomi yang kian sulit.
Slow living merupakan konsep gaya hidup yang lebih sederhana, santai, tetapi berkualitas.
Konsep inilah yang diterapkan Gisesya Ranggawari (30), pria asal Kota Bogor yang bekerja di sebuah perusahaan swasta di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
"Saya menerapkan slow living supaya hidup enggak stres, enggak terbebani oleh persoalan ekonomi yang enggak pernah pasti," ujar pria yang akrab disapa Agis ini kepada Kompas.com, Selasa (10/12/2024).
Dalam menerapkan konsep slow living, Agis sangat memperhatikan pentingnya mengedepankan gaya hidup minimalis untuk menjaga perputaran uang.
Upah Rp 6 juta tiap bulannya belum sepenuhnya membuat dapur keluarganya aman. Tak ayal, ia pun memutar otak dengan menjual sejumlah barang-barang kesukaannya yang tak lagi terpakai, di antaranya baju dan celana.
Sebaliknya, Agis juga enggan membeli barang-barang yang sedang ngetren di kalangan masyarakat. Ia memilih menyingkirkan egonya semata-mata agar uangnya tak terbuang sia-sia.
"Kendaraan dan handphone pun jarang ganti. Motor saya baru ganti tahun lalu setelah terakhir beli 2010. Sedangkan handphone masih dipakai sejak beli tahun 2019," ujar Agis.
Agis menyadari bahwa impitan ekonomi membuat kesehatan mental dapat terganggu. Oleh karena itu, Agis dan istrinya selalu meluang waktu bersama setiap akhir pekan, sekalipun sekadar nongkrong di kafe.
Jika tabungan dirasa aman, Agis dan sang istri bisa berlibur ke luar kota agar kesehatan mental tetap terjaga.
"Kalau liburan memang ada waktu yang sengaja cuti 3-4 hari. Biasanya Bandung, Jogja, atau sekadar menonton konser dan staycation sama istri," pungkas dia.
Warga lain, Dwi Aditya Putra (29), mengaku sempat menghadapi titik jenuh karena persoalan perekonomian yang tak menentu.
Karena keadaan tersebut, pekerja swasta di daerah Cilandak, Jakarta Selatan, ini akhirnya menerapkan hidup minimalis, tetapi berkualitas dengan cara menahan pos-pos pengeluaran.
"Misalnya mulai rutin untuk identifikasi barang-barang dan aktivitas yang benar-benar memenuhi kebutuhan dan memberikan nilai tambah, bukan sekadar pada keinginan semata," ungkap pria asal Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, itu.
Adit juga kini mengurangi membeli makan di luar rumah, di restoran dan kafe misalnya, sekalipun acap kali muncul hasrat tersebut.
Di tengah laju ekonomi yang tak pasti, Adit kini mengambil jalan alternatif dengan berinvestasi emas meskipun belakangan nilai pasarannya cukup tinggi.
"Tapi ke depan tren harga emas terus alami peningkatan. Jadi pos-pos pengeluaran sebelumnya digunakan untuk konsumsi barang-barang, konsumsi makan di luar, dialihkan untuk membeli emas," ungkap dia.
Adit menilai, konsep slow living dengan menjalani kehidupan yang sederhana dan minimalis bisa menjadi alternatif di tengah impitan ekonomi.
"Definisi slow living kan hidup santai dan minimalis. Jadi ya enggak mau terbebani oleh keadaan ekonomi," pungkas dia.