Kaleidoskop 2024: Kontroversi Sejumlah RUU, dari RUU Pilkada hingga RUU Penyiaran
![Kaleidoskop 2024: Kontroversi Sejumlah RUU, dari RUU Pilkada hingga RUU Penyiaran](https://asset.kompas.com/crops/FM5W8xzQfESN2dsFAZVItT06dDA=/0x46:1024x729/1200x800/data/photo/2022/01/14/61e1552a88494.jpg)
JAKARTA, KOMPAS.com – Sepanjang 2024 diwarnai dengan sejumlah kontroversi terkait undang-undang (UU) yang disahkan maupun sedang dibahas oleh DPR RI.
Beberapa aturan memicu pro dan kontra di masyarakat, baik mulai dari pembahasannya hingga implementasinya.
Berikut adalah beberapa undang-undang yang menjadi sorotan sepanjang 2024
Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada menjadi pembahasan kontroversial pada 2024.
Pembahasan ini mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan, termasuk politisi, aktivis, akademisi, dan masyarakat umum.
Penolakan terhadap RUU Pilkada memicu aksi unjuk rasa "Peringatan Darurat" dan #KawalPutusanMK di berbagai daerah dan media sosial.
Aksi ini merespons DPR RI yang menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat calon kepala daerah untuk Pilkada 2024.
Penolakan ini bermula saat Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada Baleg DPR RI pada Rabu (21/8/2024) menyatakan menolak menjalankan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024.
Dalam putusannya, pada Selasa (20/8/2024), MK menegaskan bahwa titik hitung usia minimum calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon oleh KPU.
Namun, Baleg DPR memilih mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan bahwa titik hitung usia minimum dihitung sejak tanggal pelantikan.
Keputusan ini memberikan peluang bagi Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, untuk maju dalam Pilkada 2024.
Jika menggunakan putusan MK, Kaesang tidak memenuhi syarat karena usianya 29 tahun saat penetapan calon.
Namun, dengan putusan MA, ia bisa maju karena pelantikan kepala daerah terpilih dilakukan setelah ia berulang tahun ke-30 pada 24 Desember.
Banyak pihak menolak keputusan ini. Mereka menilai DPR berupaya menyiasati putusan MK dengan melakukan RUU Pilkada.
Padahal, MK adalah lembaga yang berwenang mengadili sengketa pilkada, sehingga calon kepala daerah yang diproses menggunakan undang-undang yang inkonstitusional berpotensi didiskualifikasi.
"Konsekuensi politik yang penting, ingat semua sengketa hasil pilkada akan diputus oleh MK dan MK bisa memutuskan pemungutan suara ulang (PSU) buat pemilu yang melanggar Putusan MK," tegas pakar hukum tata negara Bivitri Susanti kepada Kompas.com, Rabu (21/8/2024).
DPR bahkan menjadwalkan rapat paripurna pengesahan UU Pilkada yang di dalamnya berisi syarat calon kepala daerah pada Kamis (22/8/2024).
Di saat yang sama, massa di berbagai daerah menggelar aksi unjuk rasa untuk menolak aturan ini.
DPR RI pun membatalkan pengesahan RUU Pilkada 2024 setelah aksi unjuk rasa yang mulai rusuh.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa putusan MK yang berlaku untuk pendaftaran Pilkada pada 27 Agustus 2024.
"Dengan tidak jadinya disahkan revisi UU Pilkada pada tanggal 22 Agustus hari ini, maka yang berlaku pada saat pendaftaran pada tanggal 27 Agustus adalah hasil keputusan JR MK yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora. Sudah selesai dong," ujar Dasco kepada Kompas.com, Kamis 22 Agustus.
Revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran juga menjadi polemik.
Draf yang beredar dinilai mengancam kebebasan pers.
Dilihat dalam draft RUU Penyiaran versi 27 Maret 2024 yang beredar, ada sejumlah pasal dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya dan berpotensi menjadi pasal karet.
Dewan Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menolak RUU ini.
Dewan Pers khawatir Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan memiliki wewenang baru untuk menyelesaikan sengketa kerja jurnalistik.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menegaskan bahwa tugas menyelesaikan sengketa pers seharusnya menjadi wewenang Dewan Pers, sesuai dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
"Oleh karena itu, penolakan ini didasarkan pada ketika penyusunan peraturan perundang-undangan perlu juga dilakukan harmonisasi agar antara satu undang-undang dengan yang lain tidak tumpang tindih,” katanya dikutip dari Kompas.com, Selasa 14 Mei.
Selain itu, Dewan Pers mengkritisi revisi UU Penyiaran karena adanya pasal yang melarang penayangan hasil karya jurnalistik investigasi.
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) juga mengingatkan bahwa RUU ini melanggar Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 1999 yang mengatur bahwa pers nasional tidak dikenakan larangan penyiaran.
PWI mengingatkan, memberi wewenang KPI atas sengketa pers justru menjadikan lembaga itu semakin super power.
Pengurus AJI Nasional Bayu Wardhana menilai revisi ini tidak melibatkan Dewan Pers dalam penyelesaian sengketa pers.
Seharusnya, sengketa pers menjadi ranah Dewan Pers. Ia juga menilai, adanya RUU Penyiaran bisa memicu dualisme antara Dewan Pers dan KPI, jika sama-sama mendapat aduan mengenai sengketa pers yang sama.
“Nah RUU ini akan memotong itu, jadi semua KPI, Dewan Pers tidak dilibatkan. Itu yang terjadi,” kata Bayu dikutip dari Kompas.com, 24 April.
Hingga saat ini, RUU Penyiaran masih belum disahkan. Namun, kajian itu masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025 sebagai usulan Komisi I DPR.
Dalam aturan yang disahkan DPR pada 20 September ini, tidak lagi membatasi jumlah kementerian yang akan dibentuk presiden.
Aturan sebelumnya, membatasi presiden paling banyak membentuk 34 kementerian. Namun, dalam revisi tidak lagi diatur hal itu.
Saat belum disahkan, RUU ini sempat menjadi diskursus publik.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona menilai, DPR RI mengabaikan partisipasi publik dalam pembentukan RUU ini.
Menurutnya, partisipasi publik yang diklaim telah dilakukan oleh setiap fraksi bukanlah prosedur yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2022.
Oleh karena itu, hal tersebut tidak bisa dianggap sebagai partisipasi publik dalam perumusan hingga pengesahan UU tersebut.
"Saya menilai DPR memang sengaja mengabaikan partisipasi publik dalam proses pembentukan Undang-Undang," kata Yance kepada Kompas.com, 21 September 2024.
Apalagi aturan ini dibahas dan disahkan di akhir masa jabatan Presiden ke7 RI Joko Widodo (Jokowi).
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin (kini telah menjadi Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan) menilai, RUU ini dibahas cepat untuk menyusun formasi kabinet ke depan.
"Saya melihat soal RUU Kementerian Negara akan dibahas singkat dan cepat, karena kebutuhan sebagai payung hukum presiden dalam menyusun formasi kabinet ke depan," kata Ujang saat dikonfirmasi, 4 September.
Tak jauh berbeda dari RUU Kementerian Negara, RUU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) juga dibahas di akhir masa jabatan Presiden ke-7 Joko Widodo, dan disahkan DPR pada 19 September.
Selama proses pembahasannya, RUU Wantimpres menjadi sorotan lantaran sempat ada usulan perubahan nomenklatur menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Pasal yang disorot lainnya Pasal 2 yang menyebutkan bahwa DPA yang semula berkedudukan di bawah presiden menjadi sejajar dengan lembaga negara lain.
Kemudian, di Pasal 7, anggota DPA yang semula berjumlah delapan orang, tidak lagi dibatasi. Presiden berwenang penuh menentukan jumlah anggotanya.
Selanjutnya, Pasal 9 ayat (4) yang merupakan pasal tambahan yang mengatur bahwa anggota DPA berstatus pejabat negara.
Lalu, Pasal 12 ayat (1) mengenai organisasi masyarakat dan partai politik bisa merangkap jabatan sebagai anggota DPA.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti menilai, tidak ada batasan anggota Wantimpres melanggar prinsip-prinsip konstitusionalisme dan negara hukum yang mengharuskan adanya pembatasan kekuasaan.
"Indonesia menganut prinsip negara hukum dan konstitusionalisme, yang mengharuskan pembatasan kekuasaan," kata Susi kepada Kompas.com, Jumat 20 September.
"Ketika jumlah anggota Wantimpres tidak diatur dengan jelas dan sepenuhnya diserahkan kepada presiden, ini membuka ruang diskresi yang sangat luas," lanjutnya.
Pengamat politik Adi Prayitno sempat mengingatkan sebelum UU ini disahkan, agar aturan tersebut tidak sekadar untuk bagi-bagi kekuasaan.
“Jangan sampai ada kesan bahwa DPA ini justru ingin mengakomodasi kelompok politik yang jauh lebih besar. Kan itu yang mestinya harus dhindari,” kata Adi kepada Kompas.com, Rabu 10 Juli 2024.
Meski demikian, DPR RI akhirnya sepakat untuk tidak mengubah nomenklatur Wantimpres menjadi DPA.
"(Bukan Dewan Pertimbingan Agung) Jadi Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia," kata Wakil Ketua Baleg DPR RI, yang saat itu dijabat Achmad Baidowi (Awiek) dalam rapat di DPR RI, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa 10 September 2024.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada 2021, menjadi sorotan di akhir 2024 lantaran akan diterapkan pada 2025.
Pasal mengenai kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen memicu penolakan publik.
Dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, berbunyi bahwa tarif PPN sebesar 12 persen (dua belas persen) mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
Ketentuan ini dapat penolakan publik karena dikhawatirkan membuat harga sejumlah barang dan jasa naik, menambah jumlah pengeluaran, dan menurunkan daya beli masyarakat yang saat ini sedang merosot.
Protes terhadap kenaikan PPN ini muncul di media sosial dengan tagar #TolakKenaikanPPN dan #PajakMencekik.
Wargamet juga mengumpulkan tanda tangan untuk petisi untuk menolak kenaikan PPN tersebut.
Petisi dibuat sejak Kamis 19 Desember dan hingga Sabtu 21 Desember siang, telah ditanda tangani lebih dari 160.000 orang.
Fraksi PDI-P juga menolak kenaikan PPN meski mereka ikut mengesahkan UU HPP.
Ketua DPP PDIP Deddy Sitorus Ketua DPP PDIP Deddy Sitorus menyampaikan, partainya tidak menolak penerapan PPN 12 persen yang telah menjadi amanah undang-undang.
Fraksi PDIP hanya meminta pemerintah mengkaji ulang karena kondisi ekonomi masyarakat sedang tidak baik.
"Kita minta mengkaji ulang, apakah tahun depan itu sudah pantas kita berlakukan pada saat kondisi ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Kita minta itu mengkaji," ujar Deddy dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, dikutip Senin 23 Desember.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum PKB Faisol Riza menyarankan masyarakat mengajukan uji materi (judicial review) UU HPP ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kalau memang keberatan dengan pemberlakuan PPN 12 persen sesuai dengan UU HPP, masyarakat sebaiknya menguji melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi,” ujar Riza dalam keterangannya, Senin 23 Desember.
Riza pun menyinggung sikap PDIP yang turut menyuarakan kritik soal kenaikan PPN.
Ia meminta para kader Partai Banteng untuk ikut menyampaikan argumentasi dalam sidang judicial review di MK terhadap aturan dalam beleid tersebut.
Dia juga berharap agar masyarakat memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk menjalankan perintah UU HPP.
Hal itu dianggap perlu demi menjaga kebijakan fiskal nasional, dan memastikan keberlangsungan berbagai jenis subsidi yang disiapkan untuk rakyat.
"Berilah kesempatan pemerintah untuk menjalankannya. Toh, kalau pajak kembalinya juga tetap kepada rakyat melalui belanja pemerintah, seperti bansos atau subsidi listrik, elpiji dan BBM. Masa PDIP sekarang lebih setuju pencabutan subsidi untuk rakyat?" kata Riza.