Kaleidoskop 2024: Polemik Kenaikan Upah Minimum hingga Badai PHK

Kaleidoskop 2024: Polemik Kenaikan Upah Minimum hingga Badai PHK

Bisnis.com, JAKARTA - Sepanjang 2024, sektor ketenagakerjaan di Indonesia menghadapi berbagai dinamika yang cukup kompleks. Mulai dari aturan pengupahan yang kembali berubah hingga badai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menerjang sejumlah industri di Tanah Air.

Di satu sisi, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) hasil Sakernas per Agustus 2024 tercatat sebesar 4,91% dengan jumlah pengangguran 7,47 juta orang. Persentase itu turun 0,41% poin dibanding Agustus 2023. TPT sendiri merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja dan menggambarkan kurang termanfaatkannya pasokan tenaga kerja.

TPT Agustus 2024 juga merupakan yang terendah sepanjang Agustus 2021 - Agustus 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, TPT pada Agustus 2021 sebesar 6,49%, lalu turun 0,63% poin atau menjadi 5,86% pada Agustus 2022. Kemudian, TPT pada Agustus 2023 tercatat sebesar 5,32% atau turun 0,54% dibanding Agustus 2022.

Kendati TPT Agustus 2024 menunjukkan penurunan, persentase penduduk bekerja pada kegiatan informal masih jauh lebih besar dibandingkan formal, meski pada periode ini kegiatan formal mengalami peningkatan sebesar 1,16% terhadap Agustus 2023.

BPS mendefinisikan penduduk bekerja pada kegiatan formal mencakup tenaga kerja dengan status berusaha dibantu buruh tetap dan dibayar serta buruh/karyawan/pegawai, sedangkan status pekerjaan lainnya dikategorikan sebagai kegiatan informal (berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/pekerja keluarga/tidak dibayar, pekerja bebas, dan pekerja keluarga/tidak dibayar).

Pada Agustus 2024, penduduk bekerja pada kegiatan informal tercatat sebanyak 83,83 juta orang atau 57,95%, sedangkan yang bekerja pada kegiatan formal sebanyak 60,81 juta orang atau 42,05%.

Hal ini lantas membutuhkan perhatian serius dari pemerintah lantaran fenomena ini dapat menunjukkan daya beli masyarakat yang kurang optimal imbas pendapatan bulanan yang tak tetap hingga minimnya perlindungan sosial terhadap para pekerja informal.

Badai PHK kembali berlanjut di 2024, kondisi ini terjadi pada sejumlah sektor mulai dari industri pengolahan, aktivitas jasa, dan perdagangan eceran. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat, setidaknya 64.751 pekerja di Indonesia menjadi korban PHK hingga per 18 November 2024.

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker Indah Anggoro Putri menyampaikan, provinsi penyumbang PHK terbanyak berasal dari Daerah Khusus Jakarta yakni sebanyak 14.501 pekerja atau 22,4% dari total 64.751 pekerja yang ter-PHK. Diikuti Jawa Tengah dengan sebanyak 12.492 pekerja dan Banten sebanyak 10.992 pekerja.

Menurut sektornya, Indah menyebut bahwa kasus PHK paling banyak terjadi di industri pengolahan, diikuti aktivitas jasa lainnya serta perdagangan besar dan eceran.

“Tiga sektor PHK tertinggi antara lain pengolahan sebanyak 28.336, aktivitas jasa lainnya 15.629 [tenaga kerja], dan perdagangan besar dan eceran sebanyak 8.543 [tenaga kerja],” ungkap Indah kepada Bisnis, Senin (18/11/2024).

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) sebelumnya memperkirakan jumlah pekerja yang terkena PHK di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) kembali bertambah sebanyak 30.000 orang hingga akhir 2024.

Pada Oktober 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Undang-Undang No.6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2/2022 tentang Cipta Kerja yang diajukan oleh kalangan buruh.

Permohonan itu dikabulkan dalam sidang putusan perkara nomor 168/PUU-XXI/2023 itu di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (31/10/2024).

Sebanyak 71 pasal UU Cipta Kerja No.6/2023 tentang Penetapan Perppu Ciptaker sebagai UU yang digugat itu di antaranya terkait dengan pengupahan, hubungan kerja, hingga tenaga kerja asing.

Dalam pertimbangannya, hakim MK menyatakan bahwa gugatan sebagian puluhan pasal itu dikabulkan dinilai mengancam perlindungan hak kerja hingga mengganggu keharmonisan aturan yang berlaku.

“Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo di persidangan seperti dikutip, Kamis (31/10/2024)

Tak hanya itu, dalam putusan berjumlah 687 halaman tersebut, MK meminta pembentuk undang-undang segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU No.6/2023.

Putusan MK tepat 20 hari jelang penetapan upah minimum 2025. Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No.51/2023 tentang Pengupahan, penetapan dan pengumuman upah minimum provinsi (UMP) dilakukan paling lambat pada 21 November, sedangkan pengumuman upah minimum kabupaten/kota (UMK) paling lambat 30 November.

Menyusul putusan tersebut, Presiden Prabowo Subianto meminta Kemenaker untuk merumuskan skema baru pengupahan. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyebut, Kepala Negara memberikan tenggat waktu hingga 7 November 2024 untuk merampungkan regulasi tersebut.

“Ini yang sedang kami coba rumuskan dan kami punya batas waktu sampai 7 November untuk keluar dengan apakah itu surat edaran ataupun itu peraturan Menteri Tenaga Kerja terkait tentang penetapan upah minimum yang itu nanti akan kami sampaikan kepada para gubernur se-Indonesia,” kata Yassierli di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (4/11/2024).

Kendati begitu, Kemenaker tidak dapat memenuhi keinginan Prabowo. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kemenaker Indah Anggoro Putri mengungkap, regulasi terbaru mengenai skema pengupahan belum dapat diterbitkan pada 7 November 2024.

Indah menuturkan, konsep pengupahan perlu dikaji dan dicermati lebih lanjut. Apalagi, masih ada perbedaan pendapat antara serikat pekerja dan pengusaha terkait formula penetapan upah minimum.

Di saat aturan pengupahan masih dalam proses penyusunan, tepatnya pada 29 November 2024, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan bahwa kenaikan rata-rata upah minimum nasional sebesar 6,5% untuk 2025.

Kepala Negara menyampaikan, upah minimum merupakan jaringan pengaman sosial yang sangat penting bagi pekerja yang bekerja di bawah 12 bulan dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup layak.

“Untuk itu penetapan upah minimum bertujuan untuk meningkatkan daya beli pekerja dengan tetap memperhatikan daya saing usaha,” kata Prabowo di Istana Merdeka, Jumat (29/11/2024).

Presiden Prabowo Subianto didampingi jajaran Menteri Kabinet Merah Putih saat mengumumkan kenaikan UMP 2025 di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (29/11/2024). Prabowo menetapkan upah minimum 2025 naik sebesar 6,5% - BISNIS/Dany Saputra.Perbesar

Dia menuturkan, Menaker Yassierli sempat mengusulkan kenaikan upah minimum sebesar 6%. Namun setelah melakukan diskusi mendalam, termasuk pertemuan dengan pimpinan serikat buruh, pemerintah memutuskan kenaikan upah minimum nasional sebesar 6,5%.

Prabowo juga menjelaskan bahwa penetapan upah minimum sektoral akan menjadi kewenangan dewan pengupahan provinsi, kota, dan kabupaten. “Ketentuan lebih rinci terkait upah minimum akan diatur oleh Peraturan Menteri Ketenagakerjaan,” ujarnya.

Kemenaker akhirnya menerbitkan peraturan pengupahan baru. Tepatnya pada 4 Desember 2024, Menaker Yassierli resmi menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No.16/2024 tentang Penetapan Upah Minimum 2025.

Melalui beleid itu, pemerintah menetapkan kenaikan UMP 2025 dan UMK 2025 sebesar 6,5% dari UMP dan UMK tahun lalu. “Nilai kenaikan upah minimum provinsi tahun 2025 sebesar 6,5% dari Upah Minimum provinsi tahun 2024,” demikian bunyi Pasal 2 ayat 3 beleid itu, dikutip Rabu (4/12/2024).

Upah yang telah ditetapkan ini bakal mulai berlaku mulai 1 Januari 2025. Seiring dengan terbitnya regulasi ini, Yassierli meminta kepala daerah untuk menetapkan UMP paling lambat 11 Desember 2024 dan UMK paling lambat 18 Desember 2024.

Sumber