Kasus Cap Merek Antam Ilegal, Jaksa Sebut Kerja Sama Tak Dilengkapi Studi Kelayakan
JAKARTA, KOMPAS.com - Jasa lebur cap emas dan jasa pemurnian emas di Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM) PT Antam disebut tidak dilengkapi studi kelayakan (feasibility study).
Informasi ini diungkapkan jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung (Kejagung) ketika membacakan surat dakwaan dugaan korupsi cap merek “LM” (logam mulia) yang menjerat tujuh mantan pejabat UBPP LM PT Antam.
“(Para terdakwa) tidak melakukan studi kelayakan atau kajian tentang risiko bisnis atas kegiatan jasa lebur cap emas dan jasa pemurnian emas (dengan pelanggan yang juga menjadi terdakwa),” kata jaksa, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (13/1/2025).
Adapun ketujuh pejabat itu adalah Vice President UBPP LM periode 5 September 2008 sampai 31 Januari 2011, Tutik Kustiningsih; Vice President UBPP LM periode 1 Februari 2011 sampai 28 Februari 2013, Herman.
Kemudian, Vice President, Business Unit Head atau General Manager UBPP Logam Mulia periode 1 Maret 2013 sampai dengan 14 Mei 2013, Tri Hartono; Senior Executive Vice President Logam Mulia Business Unit Head (UBPP LM), dan General Manager (SVP) UBPP LM Antam, Abdul Hadi Aviciena periode 1 Agustus 2017 sampai 5 Maret 2019.
Lalu, General Manager (SVP) Logam Mulia Business Unit periode 6 Maret 2019 sampai 31 Desember 2020, dan General Manager (SVP) Logam Mulia Business Unit periode 1 Januari 2021 sampai 30 April 2022, Iwan Dahlan.
Jaksa mengatakan, jasa lebur cap emas dan jasa pemurnian emas bukan merupakan bisnis utama UBPP LM PT Antam.
Namun, para terdakwa itu dari tahun ke tahun menjalankan kerja sama tersebut meski tidak dilengkapi kajian bisnis intelijen dan kajian informasi potensi peluang secara akurat.
Tidak hanya itu, kegiatan tersebut juga dilakukan tanpa pemberian kewenangan dari atasan.
“Pembuatan emas batangan tanpa ada pendelegasian kewenangan dari Direksi PT Antam Tbk,” tutur jaksa.
Selain itu, kegiatan itu dilakukan tanpa memperhitungkan nilai ekonomis atas merek logam “LM” milik PT Antam sebagai salah satu komponen dalam penetapan tarif jasa peleburan dan pemurnian emas.
Para terdakwa juga disebut mematok tarif jasa yang lebih murah dari ketentuan yang berlaku.
“Lebih rendah dari tarif yang telah ditetapkan dalam Surat Keputusan dan Nota Dinas Perihal Pedoman Pemasaran Produk dan Jasa,” tutur jaksa.
Dalam perkara ini, perbuatan para terdakwa disebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp 3.308.079.265.127,04 (Rp 3,3 triliun).
Adapun pihak swasta yang menikmati cap merek LM PT Antam ilegal itu adalah Lindawati Effendi, Suryadi Lukmantara, James Tamponawas, Djudju Tanuwidjaja, Ho Kioen Tjay, Gluria Asih Rahayu, dan pelanggan pemurnian lainnya.
Karena perbuatannya, Tutik dan pejabat UBPP LM PT Antam lainnya serta Lindawati dan pelanggan lainnya didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Total, terdapat 13 terdakwa dalam perkara ini. Namun, persidangan terdakwa mantan pejabat Antam dan pihak swasta itu digelar secara terpisah.