Kasus George Halim dan Stigma No Viral No Justice
JAKARTA, KOMPAS.com - Stigma "no viral, no justice" kembali mencuat setelah video penganiayaan yang melibatkan anak pemilik toko roti, George Sugama Halim, viral di media sosial pada Minggu (15/12/2024).
Video merekam kejadian kekerasan terhadap pegawai toko roti berinisial D di Cakung, Jakarta Timur, yang terjadi pada 17 Oktober 2024.
Insiden ini menjadi perhatian publik karena dugaan lambatnya penanganan oleh pihak kepolisian hingga video itu viral dengan tagar "No Viral No Justice."
Cuitan akun X, sebelumnya Twitter, @joe_pride888 mempertegas kekecewaan publik terhadap kinerja kepolisian di Indonesia.
“Berani Naikin ga drpd rebahan NO VIRAL NO JUSTICE Pelaku George Sugama Halim Anak bos bakery di Cakung Jaktim keturunan Cina Korban Kasir DA luka berdarah Polisi baru selesai LIDIK & gelar perkara Siang ini naik SIDIK tp blm ditetapkan TERSANGKA APAKAH MEMANG KEBAL HUKUM?” tulis akun tersebut.
Cuitan ini menarik perhatian hingga mencapai 1,4 juta penayangan.
Kapolres Metro Jakarta Timur Kombes Pol Nicolas Ary Lilipaly menegaskan bahwa penyidik telah mulai menindaklanjuti laporan sejak November 2024.
Namun, ia membantah anggapan bahwa polisi baru bekerja setelah kasus ini viral.
“Kan ada tahapan-tahapan, ada SOP yang harus dilakukan oleh penyidik. SOP dalam tahap penyelidikan itu apa? Tahap penyidikan itu apa? Itu kan harus dilalui,” ujar Lilipaly pada Senin (16/12/2024).
Laporan awal yang dibuat korban pada 18 Oktober 2024 di Polsek Cakung diklasifikasikan sebagai pidana umum biasa tanpa dilengkapi video yang viral belakangan.
Hal ini memengaruhi langkah penyidik yang harus mengikuti prosedur sesuai Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
“Karena laporannya ke kami bukan karena kasus viral, laporannya seperti pidana umum biasa. Jadi karena laporan ke kami itu pidana umum biasa, maka tindakan penyidik adalah melakukan langkah-langkah sesuai yang diatur SOP,” jelas Lilipaly.
Pada pemeriksaan awal saat George masih berstatus saksi, Lilipaly menekankan, D tidak menyertakan video penganiayaan pelaku seperti yang belakangan viral di media sosial.
“Nah penyidik tahu viral ini baru, ‘oh ini ternyata ada video, kenapa dia tidak mau sampaikan kepada kami?’” ungkapnya.
Lilipaly juga mengingatkan pentingnya asas praduga tak bersalah dan kehati-hatian polisi agar tidak melanggar hukum.
Setelah video penganiayaan viral, polisi bergerak lebih cepat. George akhirnya ditangkap di Anugrah Hotel Sukabumi, Jawa Barat, pada Senin (16/12/2024) dini hari.
George beralasan bahwa dirinya pergi ke luar kota bersama keluarga untuk menenangkan diri. Namun, keberadaannya diketahui polisi berkat informasi dari orangtuanya.
Kini, George telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Ia dijerat Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penganiayaan dan terancam hukuman penjara hingga lima tahun.
Kasus serupa sebelumnya juga pernah terjadi. Polisi disebut menolak laporan warga, Lachlan Gibson, yang mengalami kecelakaan di kawasan Jakarta Selatan pada Januari 2023.
Terkait itu, Direktur Lalu Lintas (Dirlantas) Polda Metro Jaya Kombes Pol Latif Usman meminta maaf dan bertindak setelah Lachlan Gibson meluapkan kekecewaannya di media sosial dan diunggah akun Instagram @lbj_jakarta.
Polisi beralasan, kala itu pihaknya tidak menerima laporan Lachlan karena rekaman kamera E-TLE yang menyorot tempat kejadian perkara (TKP), yakni di depan Polda Metro Jaya, diperbarui setiap enam jam sekali.
Sementara, Lachlan baru membuat laporan dua bulan setelah insiden kecelakaan. Sebab, pasca-peristiwa tersebut, Lachlan harus menjalani perawatan di rumah sakit.
Meski pada akhirnya polisi menerima laporan Lachlan, pelapor memutuskan tidak melanjutkan kasus ini karena minimnya bukti dan ada perubahan tempat kejadian perkara (TKP) mengingat insiden itu sudah berlalu 1 tahun 10 bulan.
Kasus Lachlan Gibson ini pun dianggap memperkuat stigma “no viral no justice” terhadap kepolisian. Pasalnya, polisi baru turun tangan setelah kasus ini jadi perbincangan masyarakat.
Respons kepolisian yang dinilai lamban sebelum kasus viral menciptakan kritik tajam terhadap sistem hukum.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi), Edi Hasibuan, menyoroti fenomena ini sebagai momen refleksi bagi kepolisian.
Ia menilai pentingnya evaluasi terhadap perilaku aparat di tingkat bawah.
“Ini menjadi koreksi buat seluruh jajaran Polri. Kita minta kepada Kapolri harus tegas terhadap kapolres dan kasat. Agar atau kemudian dievaluasi, boleh sebagus yang mengajukan laporan masyarakat ya,” ujar Edi kepada Kompas.com, Selasa (17/12/2024).
Respons lamban kerap terjadi pada tingkat aparat bawah yang menganggap laporan kasus yang dialami oleh masyarakat tidak penting.
“Kadang-kadang yang jadi masalah itu di bawah, pada tataran bawah. Kadang kerap mengacuhkan, dianggap berita (kasus) yang tidak penting ya,” imbuhnya.
Edi menegaskan, setiap laporan masyarakat harus segera direspons tanpa menunggu kasus viral di media sosial. Artinya polisi harus respons cepat setiap laporan masyarakat.
"Lakukan pemeriksaan, panggil banyak pihak, termasuk korbannya, termasuk misalnya pihak-pihak yang dilaporkan. Jangan karena misalnya viral baru direspons, saya kira ini salah,” tegas Edi.
Dalam konteks ini, media sosial sekali lagi menunjukkan kekuatannya dalam menggerakkan opini publik dan mendorong tindakan hukum yang lebih cepat.
Namun, fenomena ini juga menjadi pengingat bahwa sistem penegakan hukum harus memastikan keadilan tanpa harus menunggu sorotan.