Kasus Gus Miftah dan Denormalisasi Guyonan Problematik

Kasus Gus Miftah dan Denormalisasi Guyonan Problematik

Jika blunder Gus Miftah kita tarik lebih jauh, kita akan menyadari bahwa guyonan tersebut merupakan sesuatu yang kerap kita temui, di antaranya di acara tabligh akbar. Jika kita mau bertanya, kenapa sebagian pendakwah ‘senang’ guyon saat mengisi tabligh akbar, setidaknya ada dua skenario edukasional-kultural yang turut membentuk kebiasaan tersebut. Selain, tentu saja, karakter si pendakwah itu sendiri.

Pertama, adanya ekspektasi kultural terhadap tabligh akbar yang selain harus ‘mencerahkan’, tetapi juga harus ‘menghibur’. Maklum, tabligh akbar biasa dilaksanakan larut malam, kalau tidak ger-geran ya jemaah tidur atau pulang. Tidak heran, di kalangan masyarakat (dan pendakwah) tradisional, muncul joke kodian yang ‘dilestarikan’ dari generasi ke generasi. Salah satunya, melalui lembaga pendidikan keislaman seperti pesantren di mana kemampuan menginkorporasi joke di dalam dakwah menjadi bagian dari soft skills yang dikembangkan –disadari maupun tidak, disistemasi maupun tidak.

Kedua, kebiasaan guyon tersebut bisa jadi dibentuk melalui dan oleh ‘kultur’ guyon di pesantren, yang melekat dalam aktivitas pembelajaran di dalam dan di luar ‘kelas’. Pertanyaannya kemudian, apakah kultur guyon ini salah? Tentu tidak. Kita melihat guyon sebagai mekanisme berdamai dengan keadaan dan perwujudan kematangan spiritual dan kualitas tawakal. Misalnya, seperti guyonannya Gus Dur dalam perspektif Greg Barton.

Namun begitu, berangkat dari pengalaman sebagai ‘orang pesantren’, setidaknya ada dua jenis guyon yang sebetulnya problematik, tetapi dinormalisasi dari generasi ke generasi. Apa saja itu? Pertama, guyonan yang sebetulnya adalah bullying, seperti yang dialami Pak Sonhaji ketika di-prank dan diteriaki ‘goblok’ saat berjualan es teh di depan banyak orang. Ia menjadi bullying, yang dibalut dalam ‘guyonan dakwah’, karena ger-geran yang diinginkan mengorbankan orang lain untuk ditertawakan-diinjak-injak kemanusiaannya.

Di pesantren, bullying bertopeng guyonan ini salah satunya sering terjadi saat agenda muhadharah. (Tentu saja ini berangkat dari pengalaman dan observasi pribadi di pesantren-pesantren di dekat saya, dan tidak selalu dapat digeneralisasi). Dari perspektif filsafat pendidikan (Islam), muhadharah adalah pendekatan pembelajaran yang partisipatif, students-centered, dan berorientasi penguatan soft skills yang menunjang santri ketika ’terjun ke masyarakat’.

Namun, kadang ia menjadi ajang ‘uji nyali’ di mana yang bertugas disoraki sedemikian rupa. Seringkali, bullying tersebut dinormalisasi sebagai ’latihan mental’ dan ‘kultur khas santri’. Dan, jika seorang santri protes, akan dianggap baperan. Sayangnya lagi, praktik tersebut kadang (atau sering?) dibiarkan oleh asatiz atau pengurus sehingga semakin terasa sebagai sesuatu yang ‘benar’ dan ‘patut’.

Suatu kali saya sempat mengobrol dengan keponakan yang pengalaman mondoknya jauh lebih panjang dan luas. Dia menyebut salah satu pesantren, yang relatif terkenal di daerah kami, dan mensifatinya sebagai ‘pesantren yang menuntut tahan mental’. Ketika mendengar itu, terus-terang saya merasa tidak nyaman. Bukankah yang dilakukan para existing santri kepada yang baru datang dengan dalih latihan mental tersebut adalah bentuk bullying?

Kedua, guyonan seksis yang cabul. Sayang sekali bahwa dalam beberapa konteks (lagi-lagi, tidak selalu bisa digeneralisasi), pengadopsian perspektif patriarki masih sangat kuat dalam pendidikan keislaman. Sehingga, guyonan-guyonan seksis seperti yang dialami Ibu Yati, sinden yang diguyoni Gus Miftah, seperti dikatai ‘kalau kamu cantik, kamu jadi lonte’ atau ‘susunya kadaluwarsa’ dirasa sebagai sesuatu yang lucu.

Atau, bagaimana perempuan ‘janda’ kerap diguyoni bernuansa cabul-padahal konteksnya sedang ‘ceramah’. Kita lupa bahwa perempuan yang kita guyoni ini bukan benda –mereka manusia, boleh jadi seorang ibu, saudara perempuan, atau istri seseorang. Jika guyonan yang sama ditujukan kepada ibu, istri, atau saudara perempuan kita, apa yang kita rasakan?

Sebagai penutup, tulisan ini tidak menganjurkan untuk menghilangkan kultur guyon, karena belajar terlalu serius juga tidak baik, bukan? Tetapi, mengajak untuk bersikap moderat dalam guyon, tidak berlaku ekstrem sehingga bully dan/atau cabul. Khawatirnya, jika nilai-nilai guyon problematik itu kadung mendarah daging dalam diri dan identitas para pendakwah, maka kecenderungan untuk melewati batas dalam bercanda semakin terbuka lebar.

Salah satu caranya adalah dengan berhenti menormalisasi guyon-guyon bully dan seksis-cabul tadi. Pengurus pesantren, yang mengindikasi terjadinya praktik tersebut, perlu memperketat peraturan dan mendorong transformasi akhlak pelan-pelan. Bilang saja sedang berjihad menuju guyon Nabi yang jangankan menyakiti, mengandung unsur kebohongan pun tidak.

Pemerintah, melalui Kementerian Agama, dan organisasi keislaman dapat berkolaborasi mendorong adanya stimulus eksternal yang memotivasi –jika tidak ‘memaksa’–lembaga pendidikan keislaman melakukan evaluasi terhadap nilai dan pembiasaan pembelajaran guna memotong mata rantai guyon-bully dan guyon-cabul ini. Benar bahwa setiap manusia tempatnya salah, dan bahwa Gus Miftah dan korbannya sudah ‘mendapatkan hikmah’, tetapi yang tidak kalah penting dari itu adalah menjadikan kasus ini sebagai titik-tolak transformasi pengajaran Islam yang lebih berempati, etis, dan ‘moderat’ dalam bercanda.

Irfan L. Sarhindi DPhil Candidate University of Oxford, Director Centre for Interfaith and Multicultural Studies Universitas Satya Terra Bhinneka

Sumber