Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak di Sumbawa Menurun
SUMBAWA, KOMPAS.com - Angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada 2024 mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Selama periode 2024 hingga Oktober, angka kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 15 kasus dan kekerasan terhadap perempuan sebanyak 7 kasus.
Angka ini jauh menurun dibandingkan dengan 2023 yang tercatat sebanyak 45 kasus dan 2022 yang terdapat 52 kasus.
“Iya, ada tren penurunan kasus pada 2024 ini jika dibandingkan pada 2023 dan 2022 lalu,” kata Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2KBP3A), Tati Hariati saat ditemui, Kamis (7/11/2024).
Tati mengatakan, kasus tahun ini didominasi pencabulan pada anak dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada perempuan. Begitu juga dengan tahun 2023.
Menurutnya, kebanyakan pelaku dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah orang terdekat korban. Bahkan, ada yang masih memiliki hubungan darah dengan korban.
Anak dan perempuan yang menjadi korban ini seringkali dari keluarga prasejahtera sehingga diperlukan penguatan peran dan fungsi keluarga.
Dengan begitu, perda ketahanan keluarga diharapkan bisa berperan lebih masif ke depan.
“Kita bisa kolaborasi dengan semua sektor dan stakeholder untuk sama-sama melakukan upaya-upaya pemenuhan dan perlindungan anak dan perempuan,” ujarnya.
Tati mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan berbagai pihak dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Seperti dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) dalam hal litigasi, rumah sakit dalam hal visum et rivertum, psikolog untuk pemulihan trauma.
“Untuk rumah aman kita sudah ada di UPTD PPA. Sedangkan rehabilitasi dan pemulihan trauma dilakukan di Sentra Paramitha Mataram. Kabar gembira lagi karena sedang dibangun kantor Yayasan Peduli Anak Indonesia (YPAI) Pulau Sumbawa di Kecamatan Moyo Utara, tepatnya di Desa Penyaring,” ucap Tati.
Untuk pencegahan, pihaknya lebih banyak melakukan edukasi dan sosialisasi maupun kampanye anti-kekerasan melalui beragam cara. Salah satunya melalui penguatan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).
PATBM merupakan program nasional dari inisiatif masyarakat sebagai ujung tombak untuk melakukan upaya- upaya pencegahan dengan membangun kesadaran masyarakat agar terbangun pemahaman, sikap dan perilaku yang memberikan perlindungan kepada anak.
Ia mengatakan, di tingkat desa sudah mulai ada upaya untuk pencegahan dan penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“PATBM itu ada anggotanya dari kader posyandu keluarga, PKK, perangkat desa dan masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya memiliki program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak. Program ini diluncurkan tahun 2021. Program ini untuk membangun jejaring pencegahan dan penanganan kasus-kasus kekerasan.
Pihaknya mendapatkan suntikan dana dari pusat untuk pencegahan dan penanganan kekerasan pada anak dan perempuan mealui Dana Alokasi Khusus (DAK) non-fisik. Pada 2021 dana itu sebesar Rp 500 juta, pada 2022 Rp 450 juta, 2023 Rp 430 juta, dan 2024 Rp 406 juta.
Tati mengakui terjadi penurunan pagu anggaran yang didapatkan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak.
“Semua daerah mengalami dana alokasi khusus yang menurun di seluruh Indonesia. Tahun 2025, kita akan dapat lagi. Pada akhir tahun baru dilakukan pencairan DAK termin dua dari pemerintah pusat,” ungkapnya.
Dia mengajak semua pihak, terutama keluarga untuk membangun langkah bersama mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak dan perempuan.
“Mari kita jaga komunikasi dengan baik dengan anak. Karena kasus-kasus kekerasan sekarang ada beragam modus-modusnya. Ayo sama-sama saling jaga," pungkas Tati.