Kasus Keracunan MBG Jadi Kekhawatiran Emak-emak

Kasus Keracunan MBG Jadi Kekhawatiran Emak-emak

NUNUKAN, KOMPAS.com – Kasus keracunan makanan yang terjadi di program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Nunukan, Kalimantan Utara, memicu perhatian dan kekhawatiran di kalangan masyarakat, terutama para orang tua.

Banyak emak-emak di Nunukan melaporkan bahwa anak-anak mereka mengalami sakit perut dan diare setelah mengonsumsi makanan dari program tersebut.

Menanggapi keluhan tersebut, Ketua Komisi 2 DPRD Nunukan, Andi Fajrul Syam, melakukan inspeksi mendadak ke SD 003 Nunukan Selatan pada Senin (20/1/2025).

Dari hasil sidak tersebut, Andi Fajrul mencatat sejumlah masalah yang perlu diperhatikan.

Ia menyoroti kurangnya koordinasi antara program MBG dengan Pemerintah Daerah (Pemda) Nunukan.

"Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan Anggota DPRD Nunukan bahkan tahu MBG dimulai dari pemberitaan media. Masalah koordinasi dan komunikasi ini perlu diperbaiki," jelas Andi.

Andi Fajrul juga menekankan perlunya Badan Gizi Nasional (BGN) membuat Surat Keputusan (SK) untuk pendampingan ahli gizi dan melibatkan semua pihak secara serius, mengingat MBG adalah program nasional.

"Yang terjadi, di Nunukan kan BGN seakan jalan sendiri. Pemda tidak punya kewenangan apapun," ungkapnya.

"Seharusnya SPPG ini mengantongi sertifikat kesehatan dan higienis. Itu juga menjadi catatan," tuturnya menambahkan. 

Dia meminta agar pihak dapur memisahkan tempat memasak, penyimpanan bahan baku, dan tempat cuci piring untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.

Perwakilan BGN untuk Nunukan Selatan, Aji Sanjaya, mengakui adanya keteledoran dalam pengawasan bahan baku yang berujung pada keracunan puluhan anak dan guru.

"Saya mengakui itu kesalahan. Saya sudah laporkan kasusnya ke BGN pusat, mengirim data-data anak-anak yang keracunan ke BPOM, dan sudah ada teguran untuk evaluasi dari pusat," jelas Aji.

Sebelumnya, puluhan murid SDN 03 Nunukan Selatan dan sejumlah guru mengalami mual dan diare, diduga akibat menu ayam kecap yang disajikan pada pekan kedua program MBG.

"Memang benar ada kejadian yang sama di sekolah lain. Tapi yang melapor ke kami hanya SDN 03. Jadi konsen kami saat itu, SDN 03," ujar Aji saat dikonfirmasi.

Investigasi lebih lanjut menunjukkan bahwa bahan baku daging ayam yang digunakan dibeli dalam bentuk beku dari penjual ayam pinggir jalan.

Selain itu, terjadi penambahan jumlah penerima MBG yang tidak terencana, dari 2.500 anak menjadi 3.200 anak. "Perkiraan pihak dapur meleset. Mereka pikir 300 Kg daging ayam cukup. Tapi ternyata tidak, dan menambah belanja 20 Kg daging ayam lagi," jelas Aji.

Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi pihak terkait untuk meningkatkan kinerja dan pengawasan agar kejadian keracunan makanan tidak terulang di masa mendatang.

Sumber