Kasus Pemerasan di DWP, Lima Polisi Disidang Etik, Tiga di Antaranya Dipecat Tidak Hormat
JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam perkembangan terbaru kasus pemerasan yang terjadi di acara Djakarta Warehouse Project (DWP), tiga anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH).
Pemberhentian ini merupakan hasil dari sidang kode etik profesi Polri yang telah berlangsung sejak akhir tahun lalu.
Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak (DPS) - Mantan Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya.
AKP Yudhy Triananta Syaeful (YTS) - Mantan Panit 1 Unit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya.
AKBP Malvino Edward Yusticia (MEY) - Mantan Kasubdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko mengungkapkan bahwa sidang kode etik profesi Polri (KEPP) terhadap ketiga anggota tersebut dimulai pada 31 Desember 2024. dan masih berlangsung hingga hari ini, Jumat (3/1/2025).
Truno mengatakan, ketiga polisi yang diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) dari Polri imbas kasus pemerasan pengunjung acara DWP.
Mereka pun menyatakan banding atas putusan tersebut.
Sidang etik pertama untuk Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak dilaksanakan mulai 31 Desember 2024 hingga 1 Januari 2025 dini hari, dengan 15 saksi yang hadir.
Dalam sidang tersebut, terungkap bahwa Donald melakukan pembiaran terhadap anggotanya yang mengamankan penonton konser DWP 2024 yang diduga terlibat dalam penyalahgunaan narkoba.
“Telah melakukan pembiaran dan atau tidak melarang anggotanya saat mengamankan penonton konser DWP 2024 yang terdiri dari warga negara asing maupun warga negara Indonesia yang diduga melakukan penyalahgunaan narkoba,” ujar Trunoyudo.
“Namun pada saat pemeriksaan terhadap orang yang diamankan tersebut, telah melakukan permintaan uang sebagai imbalan dalam pembebasan atau pelepasan,” ucap dia.
Mengenai pelanggaran yang dilakukan, Kombes Donald dinyatakan melanggar melakukan perbuatan tercela dan dikenakan sanksi administratif, termasuk penempatan dalam tempat khusus (patsus) selama 5 hari sejak 27 Desember 2024 sampai 1 Januari 2025, serta pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Sidang untuk AKP Yudhy Triananta Syaeful juga berbarengan dengan Kombes Donald, di ruang sidang Div Propam Polri.
Sebanyak 11 orang saksi dihadirkan dalam sidang tersebut, di mana Yudhy diduga berperan sama dengan Kombes Donald dan mendapatkan hukuman yang sama.
Sementara itu, mantan Kasubdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, AKBP Malvino Edward Yusticia, menjalani sidang pada Selasa (31/12/2024) dan Kamis (2/1/2025), dengan 9 saksi hadir.
Dalam sidang tersebut, Malvino dinyatakan bersalah karena melakukan pemerasan terhadap warga negara asing dan Indonesia yang diamankan di konser DWP 2024.
Dia mendapatkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) setelah menjalani sidang kode etik.
“Hasil putusan sidang KKEP pertama adalah sanksi etika, yaitu perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela, dipatsus selama 6 hari terhitung mulai tanggal 27 Desember 2024 sampai dengan 2 Januari 2025, serta PTDH,” ungkap Trunoyudo.
Karo Wabprof Divpropam Polri Brigjen Agus Wijayanto menjelaskan bahwa anggota yang diberhentikan memiliki hak untuk mengajukan banding.
Ketiganya pun menyatakan banding atas hukuman ini.
“Kalau di kode etik itu hak banding, banding waktunya diajukan setelah sidang itu 3 hari. Kemudian memori banding nanti diajukan oleh pelanggar waktunya adalah 21 hari kerja,” terangnya.
Proses banding akan dilakukan oleh komisi banding yang bertanggung jawab untuk mempelajari isi materi hingga mengambil keputusan.
Selain ketiga anggota yang dipecat, seorang polisi mantan kepala unit yang disebut dengan inisial ‘D’ menjalani sidang etik.
DIa mendapatkan sanksi demosi selama 8 tahun akibat keterlibatannya dalam kasus pemerasan di DWP.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Choirul Anam, mengonfirmasi bahwa hukuman tersebut dijatuhkan karena D dianggap melakukan perbuatan tercela.
“Menyidangkan Kanit dengan putusan demosi 8 tahun, patsus 30 hari, dan dinyatakan perbuatannya memang perbuatan yang tercela. Jadi itu yang terakhir,” jelas Anam.
Anam menambahkan, saat ini masih ada satu orang polisi berinisial S yang sedang menjalani sidang etik.
“Yang sekarang sedang mau berjalan, ada satu lagi. Dia, levelnya bukan kanit, tapi di bawahnya. (Sidang etiknya) sedang berlangsung, bahkan baru mulai, jadi memang agak panjang (prosesnya),” kata dia.
Dengan demikian, kasus pemerasan di DWP menyoroti pentingnya pertanggungjawaban dalam institusi kepolisian dan menunjukkan bahwa tindakan tegas diambil terhadap pelanggaran kode etik di kalangan aparat penegak hukum.