Kasus Serangan Brutal Anggota TNI ke Warga di Deli Serdang, Ada yang Diseret, Dihajar hingga Ditodong Pistol
KOMPAS.com - Sejumlah lembaga masyarakat sipil mengecam tindakan “arogan dan sewenang-wenang” puluhan anggota TNI yang menyerang warga sipil di Desa Selamat, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara pada Jumat (08/11).
TNI diminta menindak tegas semua pihak yang terlibat dan tak melanggengkan impunitas terhadap anggotanya yang terbukti bersalah agar kasus serupa tak terulang mengingat ada puluhan kasus kekerasan militer terhadap sipil pada 2024 saja, menurut lembaga pegiat HAM.
“Kami tidak minta nyawa diganti nyawa, tapi kami hanya minta harus sesuailah hukuman buat mereka, karena kami manusia yang masih punya iman,” kata Salamta Tarigan dengan lantang ketika ditemui pada Senin (11/11).
Keponakannya, Raden Barus, tewas pada malam penyerangan itu. Laki-laki berusia 61 tahun itu ditemukan tergeletak di pinggir jalan dalam kondisi sekarat.
Warga sempat membawa tetua adat mereka itu ke klinik terdekat, namun nyawanya tak tertolong.
Menurut laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Raden tewas dengan luka bacok di punggung, kepala retak, dan mata tertusuk benda tajam.
Selain itu, ada delapan warga yang dirawat di rumah sakit karena luka berat. Beberapa orang lainnya mengalami luka ringan.
TNI menyebut ada 33 prajurit dari Batalyon Artileri Medan (Armed) 2/105 Kilap Sumagan yang diduga terlibat dalam penyerangan itu. Sedangkan warga mengeklaim ada ratusan orang yang datang dalam tiga gelombang.
Serangan itu, menurut warga, terjadi secara “brutal, membabi buta, dan tidak pandang bulu”.
KOMPAS.com/GOKLAS WISELY Panglima Kodam I Bukit Barisan Letjen Mochammad Hasan saat memeluk keluarga Raden Barus (61) di Desa Selamat, Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang pada Minggu (10/11/2024). Panglima Kodam I Bukit Barisan, Letjen Mochammad Hasan, kemudian meminta maaf atas tindakan anak buahnya itu. Hasan menyatakan bahwa dia bersedia bertukar nyawa dengan korban yang tewas.
"Saya, bersama keluarga besar Bukit Barisan, memohon maaf sebesar-besarnya. Kalaupun saya harus menggantikan almarhum, saya siap melakukan itu sekarang. Saya ikhlas," kata Hasan ketika menghadiri pemakaman Raden Barus.
Dia juga berjanji bahwa kasus ini tak akan terulang lagi. Janji senada juga diutarakan oleh Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Hariyanto juga berjanji bahwa kasus ini akan diusut tuntas.
“Semua akan terjawab sejauh mana keterlibatan anggota dan motifnya. Tunggu sampai pengusutan tuntas. Mabes TNI akan terus mengawal proses anggota TNI tersebut,” kata Hariyanto.
Pegiat HAM dari Imparsial dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Pidana Kekerasan (Kontras) mendesak TNI menepati janji itu dengan mengevaluasi secara menyeluruh mengapa kasus kekerasan terhadap sipil terus berulang dilakukan oleh prajurit mereka.
Sepanjang Januari hingga Oktober 2024 saja, Imparsial mencatat telah terjadi 24 kasus kekerasan militer terhadap sipil.
Data lainnya dari Kontras menunjukkan ada 64 kasus sejak Oktober 2023 – September 2024 dengan 75 korban luka dan 18 korban meninggal.
Menurut Ardi, kasus yang memakan nyawa di Desa Selamat sekali lagi membuktikan bahwa tak ada upaya serius dari TNI untuk menghentikan siklus kekerasan terhadap masyarakat sipil.
KOMPAS.com/GOKLAS WISELY Suasana Batalyon Artileri Medan (Armed) 2/105 Kilap Sumagan di Desa Selamat, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara pada Senin (11/11/2024). Pada Jumat malam itu, Toni Senoaji sedang duduk-duduk di warung ketika segerombolan orang berbadan tegap dan berambut cepak datang ke Dusun IV Desa Selamat.
"Ada ratusan. Mereka datang pakai sepeda motor dan ada juga yang berjalan. Mereka bawa macam-macam, celurit, parang, senpi [senjata api]," kata Toni ketika ditemui di tempat kejadian pada Senin (11/11).
Suasana di warung yang semula santai seketika berubah jadi mencekam.
Orang-orang itu masuk ke gang-gang rumah warga sambil berteriak menyebut-nyebut nama seseorang.
“’Ginting mana? Ginting mana?’ Entah Ginting itu kawannya atau bukan, waktu itu kami tidak tahu,” ujar Toni, menirukan ucapan orang-orang yang masuk kampungnya.
Gerombolan itu, menurutnya, kemudian mengintimidasi dan menganiaya warga secara “membabi buta”. Bahkan beberapa orang yang sekadar bertanya “ada apa?” turut dianiaya, kata Toni.
“Beberapa [warga] diseret, dihajar. Di warung sini, dipukul meja, pecah beberapa gelas dan piring kecil, orang-orang masuk ke dalam semua," tuturnya.
Toni dan warga lainnya berhamburan menyelamatkan diri ke bagian dalam warung.
“Di sini ada tinggal beberapa orang, enggak sempat ke dalam, itulah ditodong pistol. Sampai sekarang dia masih panas dingin, gemetaran sampai sekarang,” paparnya.
Toni mengatakan gerombolan tersebut mendatangi Desa Selamat sebanyak tiga kali.
Mulanya ada puluhan orang yang datang, namun karena warga marah dan melawan, mereka kembali ke markas yang jaraknya sekitar 1,5 kilometer dari desa ini.
Dok warga Warga Desa Selamat, Kabupaten Deli Serdang sempat membawa jenazah Raden Barus nenggunakan ambulans menuju markas dari prajurit yang menyerang, Artileri Medan (Armed) 2/105 Kilap Sumagan pada Sabtu (9/11/2024). Menurut Toni, saat itu ada beberapa teman mereka yang belum kembali ke markas. Gerombolan itu pun datang lagi ke desa membawa lebih banyak massa.
Saat inilah peristiwa yang digambarkan Toni di warung itu terjadi.
Suasana mencekam tak berhenti di situ. Gerombolan tersebut kemudian datang lagi dan menyisir kampung, bahkan sampai ke desa tetangga. Mereka, kata Toni, menghajar siapa saja yang melintas di jalan.
Toni juga mengaku mendengar teriakan dan ancaman bahwa mereka akan membakar desa.
"Dengan tindakan brutal saja kami sudah trauma, apalagi ada kata-kata ‘dibakar’. Kami di sini merasa mencekam, tidak seorang pun berani tidur karena ada kata-kata itu," ujar Toni.
Warga lainnya, Friska Perangin-angin, 35, juga menyebut penyerangan itu begitu brutal.
"Kami sembunyi ke dalam karena disuruh, ‘Masuk-masuk ke dalam rumah, nanti jadi sasaran’. Masuklah kami ke rumah tetangga itu, dua kali kami sembunyi di sana," kata Friska.
"Waktu itu mati lampu, dimatikan semua lampunya," kata dia.
Friska sempat terjatuh saat menyelamatkan diri sehingga jari-jari tangannya terluka. Menurut warga, banyak yang tak tahu apa-apa turut menjadi korban penyerangan.
Rofika Sanjaya Tarigan, 18, juga menjadi korban walau tak tahu apa-apa. Dia sedang membeli rokok ketika melihat gerombolan itu datang.
Saat lari ke rumah neneknya, dia justru dikejar.
“Terus didobrak rumah nenek. Mereka mencari orang bernama Andre Ginting. Setelah itu, saya buka pintu dan diseret ke luar rumah. Saya dipukuli,” kata Rofika.
Karena tidak mengetahui nama itu, Rofika mengatakan dia diseret ke luar rumah dan dipukuli. Puluhan prajurit TNI kemudian membawa Rofika ke markas Armed 2/105. Dia lalu disuruh pergi.
Akibat kejadian itu, Rofika mengalami sejumlah luka, termasuk luka di bagian kepala serta memar di tangan dan punggung.
KOMPAS.com/GOKLAS WISELY Panglima Kodam I Bukit Barisan Letjen Mochammad Hasan saat memberi hormat ke jenazah Raden Barus (61) di Desa Selamat, Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang pada Minggu (10/11/2024). Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengatakan ini bermula ketika prajurit menegur seorang anggota geng motor.
Dia menyebut keberadaan geng motor itu “sering kali meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban di jalan”.
“Jadi memang diawali anak-anak muda kebut-kebutan pakai motor ditegur sama anggota, karena mengganggu masyarakat, meresahkan masyarakat, mengganggu ketertiban di jalan,” kata Agus.
Adu mulut dan perkelahian massal pun terjadi setelah teguran itu, klaim Agus.
"Kita harus sepakat ya geng-geng motor, ya semacam itu harus ditertibkan, karena meresahkan masyarakat, mengganggu jalan-jalan umum. Kebanyakan juga motornya bodong," ucap Agus.
Namun Toni mengatakan semestinya anggota TNI tak menggunakan cara “sebrutal” itu.
"Warga sini yang kena kan enggak ada di sana [saat cekcok], warga enggak ada yang tahu persoalan itu," tutur Toni.
“Kalau dia datang baik-baik pakai pakaian dinas, ‘Permisi pak, kami tadi sore ada berselisih paham sama anak kampung sini’. Enggak akan kami bela kalau betul salah."
“Itu enggak ada seperti itu, [pakai] pakaian preman. Kami enggak tahu mereka alat negara. Semua dibawa, samurai, pentungan lah," ujarnya.
Peristiwa itu menyisakan trauma bagi warga. Sampai tiga hari setelah kejadian, sebagian warga memilih meliburkan anak-anaknya dari sekolah untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan.
Personel TNI juga terlihat berjaga di desa ini.
TOTO SIHONO Ilustrasi kekerasanKoordinator Kontras, Dimas Bagus Arya, mengatakan prajurit yang terlibat dalam penyerangan itu telah melanggar kewajiban dasar mereka untuk melindungi masyarakat.
“Dalam konteks ini, kewajiban [melindungi] itu sudah pasti dilanggar. Anggota TNI justru menjadi ‘eksekutor’ masyarakat,” kata Dimas ketika dihubungi.
Tindakan penyerangan itu dinilai mempertontonkan arogansi dan kesewenang-wenangan anggota TNI, kata Direktur Imparsial, Ardi Marto.
Para anggota TNI itu bertindak seolah mereka berada di atas hukum. Menurut Ardi, kecenderungan itu bukan hanya terjadi kali ini, namun juga pada beberapa kasus sebelumnya.
Misalnya dalam kasus penyerangan dan pembakaran Polsek Ciracas, Jakarta Timur pada 2018 dan penyerangan Lapas Cebongan pada 2013.
“Harusnya anggota TNI sadar hukum. Kalau ada perselisihan dan menganggap warga sipil ini salah, tetap diproses menurut aturan hukum yang berlaku. Bukan sewenang-wenang melakukan tindakan main hukum sendiri,” kata Ardi.
Selain itu, dia juga menyoroti pemaknaan yang “salah kaprah” soal jiwa korsa terhadap satuannya.
“Mereka menganggap ini adalah bentuk pembelaan terhadap korps, terhadap nama baik kesatuan, institusi mereka. Itu salah dan keliru,” tuturnya.
Sejumlah lembaga pemantau HAM seperti Imparsial, Kontras, dan Amnesty International mendesak agar semua pihak yang terlibat diadili di pengadilan sipil, bukan pengadilan militer.
Ardi Marto dari Imparsial dan Dimas Bagus Arya dari Kontras khawatir tak akan ada efek jera kalau pelaku diadili di peradilan militer.
Peradilan militer selama ini disebut menjadi salah satu faktor langgengnya impunitas di tubuh TNI karena mekanismenya tidak dapat menjamin prinsip keadilan.
Gelagat yang muncul dalam penanganan kasus di Desa Selamat pun juga memperlihatkan arah yang sama, kata Dimas. Itu karena kasusnya sejauh ini ditangani oleh polisi militer.
Belum lagi pernyataan para petinggi TNI yang dinilai terkesan “melindungi”.
Contohnya pernyataan bahwa cekcok terjadi dengan geng motor yang “meresahkan”. Lalu perbedaan keterangan TNI dengan kesaksian warga soal jumlah anggota yang diduga terlibat penyerangan.
“Kami masih menunggu apakah kasus ini akan diteruskan dalam penyelidikan pidana umum. Kami berharap TNI bisa belajar dari kesalahan sebelumnya,” ujar Dimas.
“Dari kasus-kasus yang kami catat, hampir semuanya [diselesaikan] lewat mekanisme internal. Jarang sekali kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh prajurit TNI akan bermuara para peradilan umum,” kata dia.
Hasil pemantauan Kontras sepanjang Oktober 2023 hingga September 2024 menunjukkan bahwa terdapat 131 vonis terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana.
Akan tetapi, hukuman yang diberikan sangat ringan, dengan rentang tiga sampai 10 bulan penjara.
Padahal kasus-kasus yang mereka lakukan bukan tergolong ringan. Mayoritas adalah kasus penganiayaan, dua kasus pembunuhan, dan enam kasus pembunuhan berencana.
Senada, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan upaya lewat peradilan sipil penting untuk memberikan keadilan bagi korban dan keluarganya.
“Proses hukum yang terbuka dan adil akan sangat berperan dalam mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan,” kata Usman.
Wartawan di Medan, Sumatra Utara, Nanda Fahriza Batubara berkontribusi dalam liputan ini